Mohon tunggu...
ayub badrin
ayub badrin Mohon Tunggu... Penulis - Ayub Badrin seorang jurnalis

Selain menggeluti dunia Teater saya juga aktif di media masa lokal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mencari Bibit Monolog Lewat Lomba

1 Mei 2019   09:40 Diperbarui: 1 Mei 2019   11:42 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tetapi kini api yang mulai padam itu mulai ditiup-tiup kembali oleh Porman Wilson yang mendirikan Komunitas Bengkel Monolog bersama beberapa seniman di Medan.  Sempat juga wadah ini menumbuhkan kembali minat,  Burhan Polka,  Buyung Bizard untuk bermonolog.  Tetapi hasilnya terlihat seperti mobil tua yang sudah lama tak jalan, karatan dan akhirnya mogok lagi.

dokpri
dokpri
Lomba Monolog di Medan juga pernah diadakan di tahun delapan puluhan. Waktu itu diberi judul, "Pesta Monolog". Dari ajang itu lahirlah aktor-aktor Eddy Siswanto,  Ema Matondang,  Sabarto, Tri Yanti dan lain-lain.

Kelompok-kelompok teater juga masih terlihat eksis. Mereka subur seperti ilalang dimusim hujan.  Sebut saja teater Kartupat,  Teater Nasional,  Imago,  Que,  Patria,  yang semuanya melakukan pementasan setiap tiga bulan sekali.

Kini zaman sudah berubah.  Orang sudah malas menonton teater.  Bahkan seniman teater sendiri sudah malas menonton teater. Kelompok teater menyiasatinya dengan "merayu" anak-anak sekolah. Beberapa teater seperti,  Teater Blok,  Medan Teater, Deli Compeny Teater,  mengandalkan cara ini.  Sebab personil intinya biasanya merupakan guru-guru teater di sekolah.

Bahkan dari mereka ada juga yang tak peduli kelompok.  Jika ingin pentas,  maka mereka melakukan kolaborasi pemain.  Anak sekolah biasanya "dipaksa" nonton,  lantaran sekaligus merupakan tugas-tugas sekolah dengan tiket Rp20 ribu.

Cara ini memang ampuh.  Pengamatan penulis,  mereka bisa menjaring penonton seribu hingga tiga ribu penonton untuk tiga hari pertunjukan.  Biasanya nereka memang untung. Tetapi pertunjukan disiasati sebagaimana keinginginan pasar.  Misalnya cerita-cerita horor,  tema cinta atau tragedi komedi.

Perkembangan monolog saat ini di Indonesia terutama Jakarta sudah demikian pesatnya.  Seorang aktor monolog mampu bermain dengan kekuatan tubuh dan dialog.  Setidaknya,  Eva Susanti menunjukkan potensi yang luar biasa sebagai seorang monolog.  Hanya dengan properti sebuah kursi,  aktris berhizab ini mampu bermain energik dan menjadi sihir di ajang Lomba Monolog Medan itu.

dokpri
dokpri
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut, Dr Ir Hj Hidayati M Si,  mengatakan Lomba Monolog ini merupakan pembinaan, pengelolaan,  pelestarian seni budaya daerah.

Monolog kata Hidayati lagi,  mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk karakter dan kepribadian. Monolog juga lanjutnya,  berfungsi sebagai penegasan keinginan atau harapan tokoh terhadap sesuatu hal.

"Monolog bisa dalam bentuk emosional,  penyesalan atau berandai andai.  Monolog juga bidang kesenian yang sangat melekat pada kehidupan manusia yang terkandung ekspresi dan sekaligus resepsi aspek aspek kemanusiaan, " ujar Hidayati.

Dalam konteks ke Indonesiaan,  lanjut Hidayati,  monolog memiliki karakter yang dapat dikaitkan dengan nilai kejuangan dan ikon karakter bangsa. Dalam konteks mutahir monolog telah menggenapi entitas kemajemukan dan dinamika budaya Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun