Tetapi kini api yang mulai padam itu mulai ditiup-tiup kembali oleh Porman Wilson yang mendirikan Komunitas Bengkel Monolog bersama beberapa seniman di Medan. Â Sempat juga wadah ini menumbuhkan kembali minat, Â Burhan Polka, Â Buyung Bizard untuk bermonolog. Â Tetapi hasilnya terlihat seperti mobil tua yang sudah lama tak jalan, karatan dan akhirnya mogok lagi.
Kelompok-kelompok teater juga masih terlihat eksis. Mereka subur seperti ilalang dimusim hujan. Â Sebut saja teater Kartupat, Â Teater Nasional, Â Imago, Â Que, Â Patria, Â yang semuanya melakukan pementasan setiap tiga bulan sekali.
Kini zaman sudah berubah. Â Orang sudah malas menonton teater. Â Bahkan seniman teater sendiri sudah malas menonton teater. Kelompok teater menyiasatinya dengan "merayu" anak-anak sekolah. Beberapa teater seperti, Â Teater Blok, Â Medan Teater, Deli Compeny Teater, Â mengandalkan cara ini. Â Sebab personil intinya biasanya merupakan guru-guru teater di sekolah.
Bahkan dari mereka ada juga yang tak peduli kelompok. Â Jika ingin pentas, Â maka mereka melakukan kolaborasi pemain. Â Anak sekolah biasanya "dipaksa" nonton, Â lantaran sekaligus merupakan tugas-tugas sekolah dengan tiket Rp20 ribu.
Cara ini memang ampuh. Â Pengamatan penulis, Â mereka bisa menjaring penonton seribu hingga tiga ribu penonton untuk tiga hari pertunjukan. Â Biasanya nereka memang untung. Tetapi pertunjukan disiasati sebagaimana keinginginan pasar. Â Misalnya cerita-cerita horor, Â tema cinta atau tragedi komedi.
Perkembangan monolog saat ini di Indonesia terutama Jakarta sudah demikian pesatnya. Â Seorang aktor monolog mampu bermain dengan kekuatan tubuh dan dialog. Â Setidaknya, Â Eva Susanti menunjukkan potensi yang luar biasa sebagai seorang monolog. Â Hanya dengan properti sebuah kursi, Â aktris berhizab ini mampu bermain energik dan menjadi sihir di ajang Lomba Monolog Medan itu.
Monolog kata Hidayati lagi, Â mempunyai peran yang sangat penting dalam membentuk karakter dan kepribadian. Monolog juga lanjutnya, Â berfungsi sebagai penegasan keinginan atau harapan tokoh terhadap sesuatu hal.
"Monolog bisa dalam bentuk emosional, Â penyesalan atau berandai andai. Â Monolog juga bidang kesenian yang sangat melekat pada kehidupan manusia yang terkandung ekspresi dan sekaligus resepsi aspek aspek kemanusiaan, " ujar Hidayati.
Dalam konteks ke Indonesiaan, Â lanjut Hidayati, Â monolog memiliki karakter yang dapat dikaitkan dengan nilai kejuangan dan ikon karakter bangsa. Dalam konteks mutahir monolog telah menggenapi entitas kemajemukan dan dinamika budaya Indonesia.