Mohon tunggu...
ayub badrin
ayub badrin Mohon Tunggu... Penulis - Ayub Badrin seorang jurnalis

Selain menggeluti dunia Teater saya juga aktif di media masa lokal.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Melihat Cara Sineas Medan Memperingati Hari Film Nasional

31 Maret 2019   12:22 Diperbarui: 1 April 2019   01:15 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: ayub hamzah fahreza

Memperingati Hari Film Nasional di Medan,  30 Maret 2019 sangat sederhana. Adalah Komunitas Film Taman (Kofita) dan Layar Indie Projeck (LIP). Mereka menggelar nonton bareng film Anak Medan.

Semula ada 3 film yang akan diputar yaitu,  Mauliate, Wonder Kids dan satu film nasional yang bernuansa Sumatra Utara, 3 Nafas Likas. Namun pemutaran,  Film tentang Mayjend Jamin Ginting ini tak dapat izin tayang dari produsernya. Informasinya izin tayang yang dikantongi Taman Budaya Sumut sudah berakhir.

Dokpri
Dokpri
Terhitung sudah 69 Tahun berdasarkan satu karya penting dari tokoh perfilman Indonesia, almarhum Usmar Ismail yang berjudul "Darah dan Doa". Film ini tidak terlalu banyak dikenal oleh penikmat film Indonesia.

Film tersebut menurut Wari Al Kahfi (personil dari Layar Indie Project, LIP) syutingnya dilakukan di Subang, Jawa Barat dan terkait dengan situasi kolonial. Mungkin karena pemutarannya waktu itu diutamakan di Istana Negara, mungkin pengenalan atas film tersebut secara umum hanya memicu sejarah perfilman di Indonesia.

Akhirnya LIP memutar 4 film pendek di depan Sanggar Pameran TBSU, Sabtu (30/3/2019). Dua lagi adalah film seri Komandan Jhon Tor. Film yang disutradari oleh Robby Saputra itu berdurasi sekitar 10 menit dengan dua potongan dalam bentuk episode. Episode pertama dengan judul Laporan Palsu. Sedangkan Episode Kedua dengan titel Cinta Harus Diperjuangkan.

Dokpri
Dokpri
Pemutaran film di TBSU ini dimulai pukul 20.00 Wib. Sayang tak banyak yang hadir. Wari Al Kahfi beralasan, sepinya peminat Nobar ini lantaran acara yang juga didukung Komunitas Film Sumut (Kopi Sumut) ini, gratis.

"Orang Medan sukanya yang bayar. Jadi kalau bayar pasti ramai. Contohnya besok, di acara yang sama, kita jamin besok ramai," kata Wari.

Yang dimaksud Wari adalah pemutaran film yang ditayangkan oleh LIP masih dalam perayaan 69 Tahun Hari Film Nasional, 31 Maret 2019 mulai pukul 14.00 WIB dengan penayangan 4 film secara berbayar di Wesley House Jalan Sei Sirah No. 12 Sei Kambing Medan. Tempat dan ruang itu masih dapat menampung penonton sampai 100 orang, menunggu terwujudnya sebuah "Bioskop Indie" di kota Medan yang dipersiapkan dan dikonsolidasikan dari setidaknya 1.000 followers melalui online LIP.

Dokpri
Dokpri
Empat film yang diputar di TBSU ini diputar dengan menggunakan mobil bioskop keliling milik TBSU. Fasilitas ini merupakan sumbangan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan beberapa tahun yang lalu dan merupakan acara perdana Komunitas Film Taman (Kofita) Medan.

Film Wonder Kids karya sutradara M. Sofiyarno dan "Mauliate" karya sutradara Ghaly B merupakan film yang menjadi 10 besar dalam Festival Film Pendek yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Sumatra Utara (DKSU) baru-baru ini.

Film Wonder Kids merupakan film dokumenter sedangkan film Mauliate film cerita yang berlatar belakang Budaya Batak Toba Samosir.

Kedua film ini sengaja diangkat pada pemutaran film perdana acara Nonton Bareng dan Diskusi yang diselenggarakan Kofita Medan yang digagas, Ayub Badrin, Porman Wilson dan Onny Krisnawan.

Direncanakan terus berlanjut setiap bulannya dan diharapkan menjadi ajang tontonan masyarakat luas guna membangkitkan gairah perfilman di Medan sebagaimana pernah melegenda. Bahwa Medan pernah sempat mempunyai Studio Film di Sunggal di masa Gubernur EWP Tambunan itu bukan isapan jempol semata. Jika sekarang punah, ini sungguh sangat menyakitkan.

Dokpri
Dokpri
Dari acara ini juga kita bisa mengenang betapa sadisnya kota ini mengubur sagala fosil-fosil masa lalu tentang perfilman di kota ini. Padahal anak-anak muda dalam acara ini, begitu penuh bakat dan talenta.

Bayangkan bagaimana Sofi membuat film Wonder Kids yang berkisah tentang kehidupan Meran Antonius Situmorang, seorang pemain bola cilik yang kariernya sudah mendunia lantaran sudah main hingga ke Korea ini hanya dengan HP dan SLR Cannon 1200 D.

Semangat seperti ini mestinya didukung dengan peralatan yang canggih yang mestinya dimiliki Pemerintah di sini, agar potensi besar dari sineas muda di Kota Medan dapat tercover. Sebab kota-kota lain seperti Bandung dan Makasar sudah punya film karya sinessnya sendiri. Sementara Sumatra Utara sering hanya jadi penonton saat orang Jakarta membuat film di sini yang terkadang dananya malah dari pemerintah daerah setempat. Duh!

Film "Wonderkid" sebuah film dokumenter tentang seorang anak yang diajari ayahnya menjadi pesepak bola yang berprestasi di kalangan anak-anak. Meran Situmorang terakhir diundang ASIFA, sebuah lembaga sepak bola di Korea karena kemampuan dan prestasinya. Film tersebut dibuat selama setahun. Gambarnya memang tidak begitu "bersih". Tapi empati yang ingin digambarkan sudah cukup memberikan keberhasilan.

Dokpri
Dokpri
Empati itu dilakukan atas dorongan seorang pemilik pembuatan video klip terbaik di Jakarta, Bandar. Lalu M. Sofiyarno melakukan eksekusinya setelah proses diskusi kepada objek film dokumenternya.

Film "Mauliate" mengekplor beberapa dialog dengan dialek Batak Toba pada bagian-bagian masa lalu seorang adik dengan kakaknya yang diceritakan simpulnya dengan pembacaan satu puisi di sekolah. Si adik dengan mengingat kakaknya yang sudah meninggal karena penyakit tertentu merasa bersyukur dengan kehidupannya yang berbeda.

Syuting film ini menurut pengakuan salah satu pemerannya, Gynee, dilakukan selama lima hari di beberapa lokasi (Holbung, Tele, air terjun Efrata, Bukit Beta Tuktuk dan Medan) dengan teknik eksperimen juga. Namun tim untuk film itu kelihatannya memiliki perhatian terhadap potensi warna lokal dan kultur di Sumatera Utara. Salah satu film mereka yang diikutkan dalam festival mengangkat warna lokal Jawa dan tidak kebetulan disinggung oleh salah satu juri, Dokter Dahnil, yang hadir dalam kesempatan itu sekaligus dengan promosi desain 8 seri film yang mengangkat super-hero seperti Satria Dewa Gatot Kaca, yang baru saja dilaunching di Jakarta.

Dokpri
Dokpri
Dr Daniel juga sempat mempertanyakan bagaimana pengalaman selama pengambilan gambar di Samosir. Gynee bercerita kalau mereka melakukannya dengan prihatin, misalnya tidak menginap di hotel tapi tidur di pelabuhan Tomok, tenda dan sebagainya. Tetapi untuk mengirit biaya mereka juga tak berterusterang kepada masyarakat kalau mereka sedang membuat film.

"Kita tau kalau terus terang kita bisa kenak biaya lagi. Sebab tau sendirilah masyarakat ini, kalau mendengar kita mau buat film, pasti kita kenak biaya besar jadinya," ujar Gynee yang didaulat untuk menjelaskan beberapa konsep dan pengalaman membuat film itu menggantikan sutradara yang tidak dapat hadir.

Ayub Badrin dalam sambutannya mengharapkan insan film di Sumatera Utara dapat terus meningkatkan kerjasama dan jaringan kepada pelaku kesenian lainnya untuk membangkitkan perfilman Sumatera Utara yang pernah menjadi salah satu barometer dalam perfilman nasional.

Dokpri
Dokpri
Sebelumnya, film 3 Nafas Likas yang berlatar biografis Mayjen Jamin Gintings itu dikatakan sudah pernah diputar di bioskop di Medan. Namun kabarnya tidak begitu banyak ditonton oleh orang Medan sendiri.

Tentu saja, satu alasan yang ingin dilihat beberapa penonton yang datang pada pemutaran film di TBSU malam itu. Malahan kedengarannya salah satu pemeran dalam film tersebut sengaja hadir. Namun akhirnya hanya duduk di kursi, menonton dua film pendek atau Indie dan mendengar diskusinya sebelum satu film pengganti berjudul: Komandan Jhon Tor.

Thomson HS yang juga hadir dalam acara ini menilai film yang disutradari oleh Robby Saputra dan berdurasi sekitar 10 menit itu cukup komunikatif.

Setting kerja lapangan kepolisian itu dibuat dengan nuansa humor. Komandan Jhon Tor mengarahkan anak buahnya ke suatu lokasi yang mencurigakan, bekas bangunan yang atap dan semua kosen pintu dan jendela sudah tak ada. Yang terlihat di sana mewarnai pencarian adalah mural-mural di tembok.

"Lokasi itu kalau tak salah ada di sekitar Jalan S. Parman Medan, yang pernah dijadikan sejumlah perupa muda Medan dengan nama grup Skala untuk pameran perdana setelah Galeri Tondi dan pemiliknya ke Inggris," ujar Thomson.

Dokpri
Dokpri
Humor di Episode Pertama "Komandan Jhon Tor" adalah pertanyaan yang tertulis dari seorang lebay di lantai atas bekas bangunan itu. Pertanyaan itu dalam bahasa Inggris: Will You merri Me? Tentu saja itu menghibur sejumlah penonton kemudian dengan cerita Komandan Jhon Tor yang tidak jadi bunuh diri dalam episode kedua karena ditolak pacarnya. Film ini memang betul untuk selera humor saja, di samping mengandung perkembangan informasi atas berita penolakan ojek-online.

"Kalau dimaknai dengan film 'Pohon Terkenal' yang baru-baru ini diputar di sebuah bioskop di Medan, soal kepolisian memang dapat menjadi sesuatu yang menarik untuk diangkat ke dalam film," ujarnya.

Wari Al Kahfi juga menjadi salah satu pemeran dalam film "Komandan Jhon Tor" itu. Begitulah.

Dokpri
Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun