Mohon tunggu...
Badridduja Badridduja
Badridduja Badridduja Mohon Tunggu... -

Wartawan Budaya dan Agama

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Gugatan Prabowo-Hatta Tak Akan Jadi Apa-apa di Mata Publik

26 Juli 2014   13:10 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:11 1382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Jokowi-Jk menang", "Jokowi presiden", "Selamat untuk Pak Jokowi dan Pak JK", adalah serangkaian opini yang telah terbentuk di banyak warga negara Indonesia. Klaim hasil quick kini tak lagi penting setelah KPU mengesahkan hasil pemungutan suara pada 22 juli silam.

Opini publik tak mungkin saja mampu berubah dari "Jokowi presiden" menjadi "Jokowi belum tentu jadi presiden". Butuh setidaknya lebih dari separuh media masa yang tayang di televisi serempak memberitakan bahwa Jokowi belum tentu jadi presiden. Dan bukan hanya serempak, tetapi diulang ulang. Mengapa demikian? karena apa yang dilihat dan didengar dari televisi mampu menghimpun persepsi yang berubah menjadi opini yang sama. Kemudian opini yang sama ini menjadi sebuah konsensus yang bergerak menjadi opini publik.

Bicara mengenai persepi, media sangat lihai sekali untuk membentuk bahkan mengarahkan sebuah persepsi. Apa yang ditampilkan dalam bingkai kamera, angle kamera baik yang bergerak (video) atau tidak (foto,) kemudian kata-kata yang tertulis atau yang diucapkan adalah sesuatu yang membentuk persepsi. Karena sejatinya, persepsi adalah anggapan atau pemberian makna terhadap sesuatu.

Contoh sederhana pembentukan persepsi melalui gambar adalah tokoh dokter di dalam cerita sinetron. Seorang yang berpakaian jas putih dan membawa stetos, pemirsa di rumah sudah pasti mengira (berpersepi) bahwa orang tersebut adalah dokter.

Atau contoh lain bagaimana dengan bingkai kamera persepsi pemirsa dapat diarahkan? 10 orang yang berkumpul memenuhi seluruh bingkai televisi dapat bermakna banyak sekali. Berbeda sekali dengan 10 orang yang dibingkai atau diperlihatkan dari dalam aula yang berkapasitas 100 orang saja.

Belum lagi kata-kata atau pemilihan diksi yang disampaikan, sangat mungkin mengubah makna positif menjadi negatif atau sebaliknya. Seperti kata "berpendapat" akan menjadi beda rasanya jika yang disampaikan adalah kata "berkilah" meskipun esensi maknanya sama. "Prabowo berpendapat bahwa ..." dan "Prabowo berkilah bahwa ..." sangat terasa berbeda sekali, bukan?

Hari ini, karena opini publik adalah Jokowi-Jk menang, Jokowi presiden, atau semacamnya dikhawatirkan Mahkamah Konstitusi tidak mau ambil pusing. Toh publik sudah percaya bahwa Jokowi-Jk adalah pemenang Pilpres 2014. Dan yang lebih sialnya lagi, kalau hari ini publik beropini bahwa Prabowo tidak terima atas kekalahannya.

Prabowo adalah seorang ahli strategi perang yang sempat membebaskan 11 sandera yang ditawan oleh Organisasi Papua Merdeka, yang katakanlah jikalau dia mau bikin kacau proses rekapitulasi hasil pemungutan suara 22 Juli itu, bisa mungkin terjadi. Namun rasanya jiwa nasionalisme dan kecintaannya terhadap perdamaian lebih besar dari keinginannya untuk menjadi presiden.

Lalu mengapa Probowo menyampaikan gugatan kalau dia tidak ingin menang? Apa itu namanya?

Goal setting dari gugatan tersebut bukanlah kemenangan, melainkan menjadi semakin baik dan demokratisnya negeri ini. Punahnya para penguasa yang bisa seenak jidat men-setting dan memainkan pion-pion untuk melanggengkan kenyamanannya.

Prabowo-Hatta dan timnya sadar betul bahwa di beberapa TPS yang sempat diadakan pemilihan ulang membuat perolehan hasil suaranya berkurang sampai pada angka yang sungguh sangat signifikan. Dan jika MK mengabulkan gugatannya untuk diadakannya pemilihan ulang, pasangan capres cawapres nomer urut 1 itu yakin tak akan mengubah banyak angka bahkan cenderung merosot jauh. Karena persepsi publik telah sampai pada sisi negatif tentang Prabowo. Bahkan sampai pada "Prabowo tidak legowo" yang sangat bertolak belakang sekali dengan latar budaya dan nilai nilai yang dianut oleh kebanyakan orang di negeri ini.

Namun, meski demikian proses hukum adalah hal yang wajib diambil karena seorang patriot pantang menyerah untuk selalu melawan ketidakbenaran yang terjadi dalam negeri ini. Satu kata untuk Prabowo, "Salut". Dua kata untuknya, "Maju terus". Dan tiga kata untukmu, Pak Prabowo, "Engkau patriot sejati".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun