Ah, kau ini. Aku tidak berbohong. Andai datang asap dulu baru api, kau pasti akan mengangguk dan sepakat denganku.
Sudahlah, tak percaya tak apa. Tapi aku akan tetap bercerita. Terserah kau saja, aku tak peduli. Entah nanti kau bosan lalu pergi dan memilih putus dengan suaraku di ujung tepi. Aku tak peduli.
Baiklah, maksudku dia bukan tidak jadi menikah. Dengarkan dulu penjelasanku. Kau tau? ketika embun menyapa dan menjelma menjadi tetesan yang seakan dirindukan oleh daun, juga ketika udara menembus pori-pori kulit hingga menohok tulang hidung. Ya, saat itulah kejadiannya.
Sebenarnya pagi itu orang-orang berlagak seperti biasa. Memarut kelapa, memotong daging, bawang, cabai, dan aku rasa semua sibuk dengan apa yang ada di hadapannya. Kepulan asap yang memberontak kabur melewati rongga-rongga genting rumah, berbagai suguhan dikeluarkan bak presiden yang akan datang. Tak lupa hiasan bunga-bunga dan rumbai kertas berselang-seling telah memenuhi sudut kamar gadis berparas menawan yang biasa dipanggil 'Elok' itu. Tentu saja nama aslinya bukan Elok. Elok dalam bahasa jawa berarti cantik.
Kursi-kursi berjajar menunggu Si Tuan datang, suara yang tak asing tentunya sudah saling bersahutan. Ya, itu lagu dari pedangdut Ida Laila, disambung Rita Sugiarto, dan Sang Legenda Roma Irama. Papan kayu yang disusun dan dipadukan dengan kursi raja dan ratu, bunga plastik yang bermekaran kombinasi warna biru dan abu. Betapa bahagia kala itu, seakan semua wajah menugaskan tulang pipi untuk menarik ujung-ujung bibirnya.
Tapi oleh satu hal, Elok yang pastinya kau duga akan menikah itu, tiba-tiba menjadi lumpuh. Banyak orang menduga dia menderita cedera sumsum tulang belakang, stroke, bahkan cedera otak. Tapi bukan.
Sebenarnya, ya. Di penghujung malam yang segera sirna oleh datangnya fajar. ketika kain agak tebal berlukiskan kubah masjid terbentang. Itulah waktu-waktu mustajab untuk menengadahkan kedua tangan. Itulah sebaik-baiknya waktu, selain lailatul qadar dan malam sya'ban. Tetapi, ah... bukankah tidak sedikit orang terbawa buwaian nina bobo setan yang menghanyutkan?
Sepanjang waktu itu, diliputi rasa penasaran juga ketakutan, Elok melihat seorang perempuan tua. Kerutan di mata dan di beberapa bagian wajah menyisakan bagian pipi di bawah letak yang sesungguhnya. Ya, aku yakin kira-kira usianya sudah lebih dari setengah abad. Rambutnya yang diikat dengan kerudung motif berwarna hijau tua, Terlihat duduk termenung di samping sebuah sumur kecil yang berdiameter tidak lebih dari 3 meter. Sumur yang kelihatan sudah lama tidak menjalankan kewajibannya itu dipenuhi dengan daun-daun yang menjalar melewati bibir sumur. Serta tebalnya debu yang aku yakin kau bisa bayangkan. Sambil menampakkan matanya yang sayu, nenek itu terus meminum segelas air yang ada di genggaman tangannya. Menyeringai sambil terlihat jelas bekas daun sirih di bagian gigi dan sudut bibirnya. Tentu saja, itu mimpi buruk baginya.
Kemudian pagi itu Elok melangsungkan pernikahannya. Sepenggal kata keramat telah terucap dari mulut suaminya. Artinya dua insan itu telah menjadi satu. Menjadi kita bukan lagi aku dan kamu. Air mata bahagia sudah tidak lagi dapat terbendung oleh kedua matanya. Dengan sedikit gemetar dia menggapai tangan suminya dan diciumnya. Tak sedikit orang yang memberikan selamat dan mendoakan agar tercurah rahmat serta berkah dunia akhirat.
Namun, malam yang seharusnya menjadi malam terindah seketika menjadi kemalangan bagi keduanya. Tiba-tiba Elok mendapati tubuhnya tidak dapat digerakkan. "Barangkali ini ketindihan", pikirnya. Tetapi tidak. Dia berusaha semampunya untuk menggerakkan kaki juga tangannya. Tapi itu usaha yang sia-sia. Menyadari keadaan yang menimpa, dia berteriak sejadi-jadinya. Sebagai ekspresi luapan rasa takut bercampur kaget yang dirasa. Suami yang tidur di sebelahnya reflek membuka mata dan tak perlu waktu lama ibunya sudah sampai di pintu kamar dan bergegas untuk melihat apa yang terjadi pada putrinya. Miris. Anak gadis satu-satunya kini terbaring tak berdaya. Badannya terlihat mematung. Ibunya, nyaris tersungkur dan tergeletak kala melihat putrinya dengan rasa iba. Apalagi suaminya, sudah barang tentu tak kalah sedihnya. Keesokan hari, berita tersebut telah menyebar kemana-mana.
"Sungguh disayangkan, betapa malang nasib Si Elok," ucap tetangganya. Banyak orang yang bersedih dan tak sedikit yang menerka-nerka apa sebab sesungguhya. Namun, lambat laun orang-orang mulai melupakannya. Urusan rumah tangga, anak, dan pekerjaan di sawah menjadi prioritas utama. Tapi tidak dengan keluarga kecil Elok. Setiap detik menjadi neraka bagi ibu, suami dan dirinya. Badan dan parasnya dahulu begitu disanjung-sanjung para lelaki desa dan tak sedikit pula gadis lain yang iri padanya, bagaimana tidak? Dia memiliki kaki yang jenjang sempurna, panggul yang ramping dan wajah yang memikat siapa saja yang melihatnya. Bulu mata yang lentik, pipi kemerahan, disempurnakan dengan dagu lancip sewajarnya. Kau akan terbelalak tidak percaya.