Mohon tunggu...
Badaruddin Amir
Badaruddin Amir Mohon Tunggu... Penulis - Founder Perpustakaan Komunitas Iqra (TAKANITRA) Barru

bergiat di dunia literasi dan sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Petta Pallase-Lase'e

21 Oktober 2024   17:28 Diperbarui: 21 Oktober 2024   17:39 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mungkin tidak banyak yang tahu cara yang tepat menulis nama Petta Pallase-Lase'e. Sebagai seorang raja Bugis dari Kerajaan Tanete, namanya harus dipahami dalam konteks dialek Bugis. Nama ini bukan sekadar nama, melainkan lambang kekuasaan dan posisi seorang penguasa yang berani mengambil langkah besar di zamannya.

Petta Pallase-Lase'e bukanlah orang biasa. Ia adalah raja pertama Tanete yang memeluk Islam dan dengan gigih menyebarkan keyakinan tersebut kepada rakyatnya. Sejarah mencatat, ia mendesak raja-raja Bugis lainnya untuk mengikuti jejaknya. Mereka yang menolak, harus siap menghadapi "musu Asellengeng", atau yang dikenal sebagai Perang Islam. Tekanan yang ia lakukan tidak hanya mengubah keyakinan rakyat di Tanah Barru, tetapi juga mengubah lanskap politik dan budaya Bugis secara menyeluruh di Barru.

Aku mengenal lebih jauh tentang Petta Pallase-Lase'e saat menjalani tugas sebagai tim ahli cagar budaya di Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan Kabupaten Barru. Empat kerajaan yang pernah berdaulat di tanah Barru kini menyatu menjadi Kabupaten Barru. Empat payung yang tertutup sebagai simbol persatuan kerajaan-kerajaan itu, kini berdiri di tengah kota Barru, menjadi saksi bisu perjalanan sejarah panjang daerah ini.

Nama Petta Pallase-Lase'e mungkin terdengar unik dan sedikit menggelitik. Dalam bahasa Indonesia, namanya berarti "raja yang suka mengebiri orang lain." Arti ini bukan sekadar metafora. Ia benar-benar mempraktikkan kebiasaan kuno tersebut. Para pria yang dipilih menjadi penjaga istri-istrinya dikebiri untuk memastikan mereka tidak tergoda oleh para wanita cantik di istananya. Konon, ia memiliki 99 istri, jumlah yang luar biasa, bahkan jika dibandingkan dengan raja-raja besar di dunia.

Mendengar cerita ini, aku membayangkan betapa megahnya kehidupan sang raja. Dengan 99 istri yang setia, ia pasti hidup dalam kemewahan dan kekuasaan yang tak tertandingi. Namun, di balik kemewahan itu, tersimpan kenyataan yang lebih gelap: pria-pria yang dipilih sebagai penjaga istri-istrinya harus rela kehilangan maskulinitas demi kesetiaan kepada sang raja. Sebuah nasib tragis yang mereka jalani demi loyalitas.

Riwayat Petta Pallase-Lase'e tetap hidup hingga kini. Kuburannya berada di kompleks makam para raja Tanete, tempat setiap nisan menyimpan cerita tentang kekuasaan dan kebesaran masa lalu. Di antara nisan-nisan itu, bayangan sosoknya yang gagah---seorang raja yang tidak hanya mengubah keyakinan kerajaan, tetapi juga menebar ketakutan dengan kekuasaan absolutnya---masih menghantui imajinasi saya dan para peziarah yang datang.

Bagi saya, Petta Pallase-Lase'e adalah cerminan dari dualitas kekuasaan: di satu sisi, ia adalah pembawa perubahan yang berani, tetapi di sisi lain, ia adalah simbol kekejaman yang tersembunyi di balik kekuasaan mutlak. Sejarah memang penuh dengan pelajaran, dan dari sosoknya, kita dapat belajar tentang bagaimana kekuasaan dapat membentuk dan sekaligus menghancurkan.

---

Sepulang dari kunjungan bersama teman-teman lain dari Tim Cagar Budaya, aku beristirahat di balai-balai sambil menikmati semilir angin. Pikiranku masih terbawa ke sosok Raja Tanete ini. Tak heran, kompleks pemakaman raja-raja Tanete dinamai sesuai dengan namanya: Kompleks Pemakaman Petta Pallase-Lase'e! Tapi, kenapa nama ini yang kekal sebagai gelar? Bukankah konon raja hebat ini juga punya gelar lain, seperti "Petta To Sogi'e" (Raja yang kaya raya) atau "Petta Pasellengengi To Berue" (Raja yang mengislamkan rakyat Barru)?

Ada nilai yang tersembunyi dan tak terungkap. Aku selalu gemas dengan gelar Petta Pallase-Lase'e. Gemas sekaligus cemas memikirkan kebenaran dari cerita ini. Andai kisah ini hanya beredar dari mulut ke mulut tanpa catatan sejarah tertulis, mungkin aku tak akan mempercayainya.

Coba bayangkan, bagaimana mungkin seseorang, apalagi puluhan orang, yang dikebiri dengan cara tradisional tanpa bantuan dunia medis, bisa selamat? Satu atau dua mungkin ada keajaiban, tetapi 99 orang? Ini terasa tak masuk akal. Terus terang, aku mempertanyakan, bahkan menggugat kebiadaban ini. Kebiadaban menghilangkan maskulinitas bagi laki-laki. Itulah sebabnya siang tadi, saat mengunjungi makamnya di Kompleks Pemakaman Petta Pallase-Lase'e, aku menyempatkan diri berziarah ke kuburnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun