Mohon tunggu...
Moses Badai
Moses Badai Mohon Tunggu... Seniman - menulis untuk berbagi

Buruh Harian Lepas & Distrupsi Suara

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kultur Gelas Plastik Selama Pandemi

14 Mei 2021   16:00 Diperbarui: 14 Mei 2021   16:04 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak dipungkiri memang masa pandemi cukup mempengaruhi hampir semua aspek sosial, ekonomi, dan kultur budaya pada masyarakat khususnya di Indonesia. Hampir semua aspek dan bidang mengalami kelumpuhan berkepanjangan, salah satunya bisnis F&B yang sedang dalam masa emasnya. Kopi, pizza, hingga wajah baru dalam bisnis alkohol yang sedang menikmati fase panen dipaksa vakum dengan derasnya kebijakan baru saat pandemi menyelimuti atmosfir Indonesia.

Tidak sedikit yang memilih gulung tikar tapi tidak sedikit juga yang beradaptasi pada pada new normal ini. Berbagai jenis adaptasi dan merubah #CaraMain strategi bertahan, salah satunya ialah penggantian wadah penyajian dengan gelas plastik maupun gelas kertas di kebanyakan gerai F&B yang sedang menjamur. Dari segi kesehatan, langkah yang diambil sebagian besar pelaku usaha cukup sukses dalam mencegah proses penyebaran virus tersebut. Dari segi ekonomi, hal tersebut dianggap cukup menguntungkan karena membantu beberapa produsen gelas pastik maupun gelas kertas selama kebijakan pembatasan dan #WFH diberlakukan oleh pemerintah pusat. Tapi alternatif tersebut justru merugikan masyarakat di masa mendatang karena produksi sampah justru naik drastis karena penggunaan wadah tersebut.

Menurut data statistik persampahan domestik di Indonesia, jenis sampah plastik mencapai angka 5,4 juta ton per tahunnya. Hal ini sekiranya belum termasuk jumlah sampah plastik dari penggunaan gelas plastik selama pandemi sebagai wujud pencegahan dan masker sekali pakai. Bisa jadi angkanya justru semakin tinggi dikarenakan banyak pelaku bisnis F&B yang melakukan tindakan ini sampai saat ini dimana pandemi belum selesai. Bayangkan saja satu jenis usaha sudah menghasilkan 20 sampah plastik per harinya dimana angka tersebut masih belum termasuk sampah lain yang memiliki sifat sulit terurai. Belum lagi per daerah di Indonesia memiliki lebih dari 30 usaha berbasis F&B.

Hal ini masih ditambah dengan kekhawatiran beberapa pihak kelompok masyarakat peduli lingkungan yang memahami fakta bahwa Indonesia mulai krisis tempat pembuangan akhir di berbagai daerah. Apabila melihat kebijakan dari beberapa pelaku bisnis lain seperti pusat perbelanjaan dan grosir, manajemen sudah melakukan beberapa pencegahan seperti memberikan charge tambahan pada setiap konsumen yang menggunakan kantong plastik sebagai tas belanja. Bahkan beberapa pelaku bisnis di bidang pakaian mulai mengganti menggunakan tas kertas dimana sifatnya lebih mudah terurai walau tetap merugikan.

Kesadaran memang sudah melekat pada kultur dan kebiasaan masyarakat di tiap kegiatan. Namun hal ini berhenti hanya pada kesadaran tanpa aksi. Sebagai contoh kecil masih banyak oknum di masyarakat melakukan pembiaran satu sama lain dalam penggunaan dan pembuangan sampah plastik tanpa menghiraukan lingkungan sekitar. Maka hal ini mampu disimpulkan sejenak bahwasanya masyarakat sudah memiliki kesadaraan dan kepekaan pada lingkungan, hanya saja aksi dalam mencegah produksi sampah plastik saat ini belum memperlihatkan hasil secara signifikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun