Mohon tunggu...
Ganjar Wicaksono
Ganjar Wicaksono Mohon Tunggu... Guru - Guru PJOK di Endrakila

Pembaca buku dan penikmat kopi.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kekerasan Simbolik dalam Olahraga

3 September 2019   16:55 Diperbarui: 31 Mei 2020   00:27 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam praktik olahraga, khususnya dalam latihan tak jarang kita mendengar pelatih mengumpat kepada atletnya karena atletnya tak mampu mencapai target yang diberikan pelatih. Umpatan itu yang sering kita ketahui misalnya, "kalau gak bisa lari lebih cepat lebih baik pakai rok saja." 

Umpatan semacam itu seperti hal yang wajar saja dalam olahraga, meskipun ada juga pelatih yang tidak melakukannya. Lantas apa makna umpatan tersebut. Saya akan mencoba mengurai makna umpatan tersebut dengan pendekatan sosiologi menggunakan teori Pierre Bourdieu seorang sosiolog kontemporer asal Perancis.

Sebelum mengurai lebih dalam tentang umpatan yang telah saya sebut di atas menggunakan teori Pierre Bourdieu, saya akan memperkenalkan Pierre Bourdieu terlebih dahulu. Pierre Bordieu adalah seorang sosiolog Perancis kontemporer yang cukup penting dalam kajian sosiologi maupun kajian tentang ideologi. 

Pierre Bourdieu lebih suka menggunakan doxa untuk mendefinisikan ideologi. Pemikiran Pierre Bourdieu sedikit banyak terpengaruh Karl Marx dan Emile Durkeheim. Definisi doxa Pieere Boudieu, akan mengingatkan kita pada definisi ideologi sebagai profoundly unconcious menurut Louis Althusser, seorang strukturalis Marxis asal Perancis.

Wacana yang diajukan Pierre Bourdieu berkisar tentang bagaimana suatu pengetahuan dan unsur-unsur budaya lainnya yang disebarkan serta berpengaruh dalam masyarakat. Untuk memahami hal itu, Bourdieu menggunakan konsep habitus dan field. Menurut Bourdieu (Ritzer, 1996 dalam Takwin 2009) habitus adalah struktur kognitif yang memperantarai individu dalam berurusan dengan realitas sosial. 

Manusia dibekali oleh sederetan skema terinternalisasi dan, melalui skema-skema itu, mereka mempersepsi, memahami, menghargai serta mengevaluasi realitas sosial. Habitus bisa dikatakan sebagai ketidaksadaran-kultural, yakni pengaruh sejarah yang secara tak sadar dianggap alamiah (Eagleton, 1991 dalam Takwin 2009).

Habitus mendasari field yang oleh Boudieu (Ritzer, 1996 dalam Takwin 2009) diartikan sebagai jaringan relasi antar posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran dan kehendak individual. Field bukan merupakan ikatan intersubjektif antar individu, namun semacam hubungan yang terstruktur serta tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan. Habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara spontan dan melakukan hubungan dengan pihak-pihak di luar dirinya. Dalam proses interaksi dengan pihak-pihak di luar itu, terbentuklah jaringan relasi posisi-posisi objektif itu.

Berdasarkan pengertian habitus dan field serta mekanisme kerjanya pada manusia, Bourdieu (Zizek, ed 1994 dalam Takwin 2009) mengajukan penjelasan tentang doxa yang pengertiannya menyerupai ideologi. Doxa adalah sejenis tatanan sosial dalam diri individu yang stabil dan terikat pada tradisi serta kekauasaan yang sepenuhnya ternatularisasi dan tidak dipertanyakan. Dalam praktek kongkritnya, doxa tampil lewat pengetahuan-pengetahuan yang begitu saja diterima sesuai dengan habitus dan field individu tanpa dipikir dan ditimbang terlebih dahulu.

Bourdieu (dalam Takwin 2009) lebih memilih menggunakan kata doxa daripada ideologi dengan maksud menghidari penyalahgunaan istilah ideologi, menurutnya,  banyak hal disebut ideologi dalam tradisi Marxis namun pada kenyataannya tidak jelas secara operasional. Banyak tokoh membicarakan ideologi dengan dikaitkan pada kesadaran yang juga berekenaan dengan representasi dari realitas, sementara realitas sosial tidaklah bekerja dengan kesadaran, tetapi dengan praktek-praktek, mekanime-mekanisme dan sebagainya.

Ada semacam aturan yang tidak terucapkan dalam field. Aturan yang bekerja sebagai modus dari apa yang disebut Bourdieu (dalam Language and Symbolic Power 1991:51-52; dan Eagleton, 1991 dalam Takwin 2009) sebagai kekerasan simbolik (symbolic violence). Dengan konsep ini, ia ingin memperlihatkan bentuk yang tersembunyi dalam kegiatan sehari-hari. 

Kekerasan yang bentuknya sangat halus, kekerasan yang dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistensi, sebaliknya malah mengundang konformitas sebab sudah mendapat legitimasi sosial karena bentuknya yang sangat halus (Eagleton, 1991 dalam Takwin 2009). Bahasa, makna, dan sistem simbolik para pemilik kekuasaan ditanamkan dalam benak individu-individu lewat suatu mekanisme yang tersembunyi dari kesadaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun