*(Bukan) Sebuah Review
Matilah sebelum kau mati, Muutu qabla an tamuutu. Demikian Jalaludin Rumi, Mistikus Islam dari Persia mengutip perkataan Rasulullah dalam karya agungnya, Matsnawi.Sebelum kematian alami atau kematian jasad datang, eloknya kita bisa menghadirkan kematian untuk diri kita sendiri. Kematian dalam arti seperti yang dikatakan Rumi, “Bukanlah kematian yang kemudian membawamu ke dalam kubur, melainkan suatu kematian berupa transformasi jiwa, sehingga ia akan membawamu ke dalam suatu Cahaya.”
Kematian macam itulah yang juga hadir dalam kehidupan seorang Rayya, perempuan yang sudah mengalami pencapaian-pencapaian gemilang dalam kehidupan duniawinya, sosok yang menjadi karakter utama dalam Film Rayya. Cahaya di Atas Cahaya (disutradarai Viva Westi dan skenario ditulis oleh Emha Ainun Nadjib). Dikisahkan bagaimana perjalanan hidup mempertemukan Rayya denganperistiwa-peristiwa yang membuatnya tidak bisa lagi untuk tidak mempertanyakan kemapanan nilai yang dianutnya. Bagaimana interaksi dengan pengalaman dan pengetahuan orang lain mengantarkan dia untuk melakukan penziarahan, menengok kembali dirinya sendiri, mengunjungi jiwanya, berdialektika sebagai bagian dari proses transformasi seperti apa yang dikatakan Rumi.
Penziarahan -bukan dalam arti yang sempit mengunjungi kuburan atau tempat yang dimuliakan. Mungkin menjadi sebuah cara bagaimana agar kita bisa “mati sebelum mati”, atau kalau meminjam terminologi yang dipakai Rayya, membunuh diri, untuk kemudian mengalami kelahiran kembali. Ya, bunuh diri. Dalam makna yang paling sederhana adalah membunuh ego atau ke-aku-an kita, membunuh aku-yang-bertindak-karena-syahwat, membunuh aku-yang-bergerak-atas-dasar-kepentingan. Membunuh kesombongan dan kemunafikan yang ada dalam diri kita untuk kemudian melahirkan aku-yang-bergerak-atas-dasar-kesadaran, melahirkan aku yang telanjang. Sebuah proses pembunuhan melalu proses penziarahan lahir dan batin yang pada perkembangannya membuat kita mampu melakukan seperti apa yang konon pernah dinasihatkan Iblis kepada Musa, "Lupakan aku-mu, agar engkau tak menjadi seperti Aku!"
Bergerak dari satu tempat ke tempat lain, dari sepenggal waktu ke penggalan waktu lain atau dari makna ke makna, itulah manifestasi dari ziarah. Menziarahi ayat-ayat Tuhan yang terhampar dan tertulis, menziarahi pengalaman hidup, menziarahi diri sendiri. Bergerak dari yang dangkal menuju yang dalam, bergerak untuk mencapai kejernihan, berziarah keluar dari diri kita sendiri untuk kemudian bergerak menuju cahaya. Penziarahan dalam rangka memaknai dan memaknai kembali setiap jengkal perjalanan hidup, proses berguru kepada siapa saja, kepada apa saja, termasuk kepada hal-hal yang (dianggap) tidak penting . Penziarahan yang akan mengantarkan kepada pemahaman bahwa kehidupan bukanlah kisah soal aku, tapi soal kita, kita sebagai makhluk Tuhan, kita sebagai bagian dari lingkungan, kita sebagai bagian dari elemen semesta.
Dalam Rayya. Cahaya di Atas Cahaya dikisahkan bagaiamana idealisme seorang wanita tua penjual kerak nasi meruntuhkan kemapanan nilai yang selama ini dipahami oleh seorang Rayya. Wanita tua itu mengajarkan bahwa ada yang jauh lebih penting untuk diperjuangkan dan dipertahankan ketimbang sekadar uang, yakni nilai-nilai luhur soal kehormatan, harga diri, dignity. Perbincangan-perbincangan dengan Arya --fotografer yang mendampinginya sekaligus menjadi pemandu dalam penziarahannya- memperluas cakrawala pemahamannya, mengoreksi pemikiran-pemikiran mapannya, mengingatkan bahwa di luar nilai-nilai yang dianutnya, ada nilai-nilai lain yang boleh jadi memiliki derajat keluhuran yang lebih tinggi. Sosok Arya seperti mengajarkan bahwa jauh lebih banyak yang belum diketahui ketimbang yang sudah diketahuinya. Mengajarkan bahwa kegelapan yang dialaminya bukanlah karena ketiadaan cahaya, tapi lebih karena cahaya yang tak sampai, entah karena jarak entah karena ada hijab yang menghalangi. Penziarahannya pada akhirnya semacam sebuah proses menyingkap hijab-hijab yang menghalangi kehadiran cahaya, juga proses mendekat menuju cahaya. Cahaya di atas cahaya. Seperti apa yang dikatakanJalaludin Rumi dalam Matsnawi :
Wahai pemilik kesejatian, jika engkau menginginkan ketersingkapan-hijab al-Haqq, pilihlah kematian dan robeklah hijab
Bukanlah ini kematian yang kemudian membawamu ke dalam kubur, melainkan suatu kematian berupa transformasi jiwa, sehingga ia akan membawamu ke dalam suatu Cahaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H