Mohon tunggu...
Bachtiar Masarif
Bachtiar Masarif Mohon Tunggu... -

Gelandangan di tepi sejarah.pergi kemana-mana, tak tahu mesti pulang kemana.. :)

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Surat untuk Toisutta-Panigoro (dan yang Lainnya)

25 Mei 2011   05:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:15 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Bapak-Bapak yang terhormat, entah saya tak tahu apakah bapak-bapak ikut kecewa atau tidak melihat hasil Kongres PSSI kemarin itu. Saya juga tak tahu, apakah bagi bapak-bapak sekalian kegagalan kongres PSSI kemarin itu memang memalukan, atau justru kegagalan itu merupakan suatu keberhasilan tersendiri. Saya mencoba berpikir positif, apa yang bapak-bapak sekalian lakukan adalah karena niat baik untuk memajukan persepakbolaan Indonesia, meski sebenarnnya saya tidak tahu persis apa yang sebenarnya bapak-bapak tawarkan dan yang akan bapak-bapak lakukan (seandainya) sebagai pengurus PSSI untuk –katakanlah- memajukan persepakbolaan Indonesia, di luar hal yang standar dan normatif urusan pengelolaan sepakbola tentunya

Seperti yang bapak-bapak ketahui, huruf kedua dalam nama PSSI itu inisial dari sepakbola, artinya kehadiran PSSI -Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia- itu karena ada faktor sepakbola, dalam hal ini sepakbola Indonesia tentunya. maka akan menjadi sangat lucu jika kemudian perkembangan persepakbolaan Indonesia yang susah maju ini akan makin terhambat justru karena PSSI. apalagi jika yang menghambat perkembangan persepakbolaan itu perkara-perkara yang boleh jadi tak ada urusan dengan sepakbola sebagai olahraga, macam soal kongres, statuta atau ketua umum.

Sebelumnya saya ikut menyesalkan atas larangan –yang menurut sepengetahuan saya tanpa alasan yang benar-benar kuat- terhadap bapak-bapak berdua untuk maju menjadi pengurus PSSI. Tapi seperti yang bapak-bapak ketahui, PSSI ini -seperti juga “PSSI-PSSI” di negara lain- terlanjur menjadi bagian dari FIFA, induk organisasi sepakbola sejagat, institusi yang menjadi penguasa dan yang mengatur lalu lintas persepakbolaan internasional. Mungkin bapak-bapak mengerti betul seperti apa wasit dalam pertandingan sepakbola, adakalanya keputusan yang diambil menimbulkan kontroversi, yang imbasnya merugikan pihak-pihak tertentu. Dan repotnya, sekontroversial apapun, sekali keputusan diambil -macam kartu merah ataupun penalti- wasit seperti berpantang untuk menganulirnya. Saya agak curiga kalau FIFA itu menempatkan dirinya seperti wasit dalam pertandingan sepakbola. Bapak-bapak tentu ingat gol kedua Geoff Hurst di Final Piala Dunia 1966, Gol “Tangan Tuhan” Diego Maradona ke gawang Inggris di Piala Dunia 1966, atau mungkin yang masih baru, kontroversi “gol” Frank Lampard ke gawang Jerman di Piala Dunia 2010 yang lalu. Saya kira itu semua adalah peristiwa dimana ada pihak-pihak yang dirugikan oleh suatu keputusan pengadil lapangan yang –katakanlah- tidak benar. dari kejadian itu mungkin bapak-bapak bisa mencari tahu, kenapa pihak Jerman dan Inggris tidak ngotot dan “ngeyel” untuk membalikkan keputusan yang sebenarnya merugikan mereka. Tapi perlu diingat, kita memang tahu wasit (ataupun FIFA) bukanlah suatu yang suci bersih, tapi kita sendiri pun –entah sebagai pemain maupun pendukung- seringkali berlaku tidak adil, saat kepimpinan wasit buruk dan lebih menguntungkan tim lawan, kita mencaci dan mempersalahkan wasit sedemikian rupa. Tapi saat kepemimpinan wasit yang buruk itu justru menguntungkan tim yang kita dukung, kita mengatakan “wasit memimpin dengan baik”, atau setidaknya diam saja

Bapak-bapak yang terhomat, tentu soal FIFA yang bertindak seperti pengadil lapangan ini memang mengesalkan banyak pihak, dan bapak-bapak juga boleh ngotot menyanggah jika FIFA tak bisa seperti wasit dalam pertandingan sepakbola, karena FIFA memiliki aturan-aturan yang jelas terukur. Yang jadi masalah jika FIFA ngotot menempatkan dirinya sendiri seperti wasit yang tiupan peluitnya seperti sabda yang tidak bisa diganggu gugat. Tentu bapak-bapak bisa saja, atas nama nasionalisme atau entah apa, serta merta membangkang dari FIFA sang penguasa jagad persepakbolaan, tapi perlu diingat, saya kira bapak-bapak juga paham jika puncak pencapaian prestasi sepakbola suatu negara hampir selalu dihubungkan dengan keikutsertaan tim ataupun pemain nasional di Piala Dunia -juga kompetisi dan turnamen resmi. Untuk Indonesia saya kira kita punya mimpi yang sama suatu saat Tim nasional kita bisa bicara banyak di event empat tahunan itu. Dan bapak-bapak tentu tidak lupa nama resmi trofi dan turnamen sepakbola terbesar sejagat itu “FIFA WORLD CUP”, ya, ada nama FIFA di sana, akan jadi persoalan pula karena tak hanya Piala Dunia, kompetisi sepakbola di tiap negara dan turnamen resmi yang ada di dunia ini pun ada “stempel” dari FIFA. Saya kira hal seperti itulah yang membuat kita tak bisa serta merta mengesampingkan FIFA, artinya prestasi sepakbola kita mau tidak mau dalam frame ke-FIFA-an. Tentu bapak-bapak juga bisa menyanggah, “Inggris juga bisa membangkang FIFA kok”. Apalah artinya negeri dengan peringkat 130-an duna dengan kualitas kompetisi macam apa, dibanding dengan negeri yang memiliki kompetisi sepakbola kelas wahid. Jadi, bapak-bapak sekalian, membangkang itu memang terkesan heroik, tapi ada baiknya itu dilakukan kalau FIFA tak lagi jadi “panitia” Piala Dunia, juga tak jadi referensi turnamen dan kompetisi resmi lainnya..

Bapak-bapak sekalian, tentu “membangkang” dari FIFA bukanlah suatu yang haram, mengembangkan sepakbola diluar frame ke-FIFA-an bukan sesuatu yang tidak mungkin, apalagi sekadar di luar PSSI, toh Pak Panigoro dkk. sudah mencobanya, melalui kompetisi binaannya. Kalaupun Pak Panigoro “dihalangi” FIFA utk menjadi bagian dari PSSI, saya kira sebenarnya tidak jadi masalah dan tak perlu repot-repot menggalang kekuatan segala rupa untuk menentangnya, toh Pak Panigoro sudah bisa menjalankan kompetisi tersendiri, yang (diklaim) lebih baik dari kompetisi resmi milik PSSI. Bagaimanapun pada akhirnya sepakbola itu suatu permainan yang (harusnya) bisa dinikmati. Jadi, kalau bapak-bapak memang sudah bisa menjalankan sebuah infrastruktur persepakbolaan yang baik dan melahirkan kompetisi yang (diklaim) baik, kenapa juga bapak-bapak masih repot-repot ngotot untuk menjadi bagian dari institusi PSSI. Tapi kembali lagi jika sepakbola itu memang urusan sepakbola, buka soal politik dan sejenisnya..

Jadi bapak-bapak.. entah, apa suara remeh seperti ini masih mendapat tempat dalam diri bapak-bapak sekalian...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun