Mohon tunggu...
Herman Wahyudhi
Herman Wahyudhi Mohon Tunggu... Insinyur - PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Semakin banyak tahu semakin tahu bahwa banyak yang kita tidak tahu. Terus belajar, belajar, dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Quo Vadis Aspal Karet?

10 Januari 2020   13:43 Diperbarui: 10 Januari 2020   13:43 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun belakangan ada wacana untuk menggunakan aspal karet di Jalan Nasional atau daerah. Tujuannya adalah untuk menyerap hasil karet rakyat yang melimpah. Selain itu untuk meningkatan kesejahteraan petani karet itu sendiri. Aspal karet digunakan sebagai alternative aspal buton.

Di Sumatra, panjang jalan yang berpotensi dipelihara dengan aspal karet mencapi 181.986 kilometer. Kemudian menyusul Jawa dan Kalimantan masing-masing 107.095 kilometer dan 66.907 kilometer. Tapi berita penggunaan aspal karet semakin meredup. Jarang kita dengar lagi beritanya. 

Setahu saya, ada beberapa kendala penggunaan aspal karet dari masyarakat. Selama ini aspal karet yang kita kenal dan digunakan (meski hanya spot-spot dan di ruas jalan raya yang tak terlalu ramai) adalah hasil pengelolaan karet bekas ban mobil.  Seperti kita tahu, kualitas karet untuk ban mobil adalah kualitas terbaik.

Tujuannya selain untuk kuat menahan beban kendaraan, juga untuk kenyamanan dan keamanan. Kualitas karet ban ini seragam. Artinya sudah lewat standar mutu yang ketat.  

Berbeda dengan hasil karet alam. Ini yang menjadi kendala. Kualitas hasil karet alam yang hasilkan petani berbeda-beda. Tidak seragam dan kebanyakan kualitasnya dibawah karet untuk ban mobil.

Karet alam seperti ini lebih banyak digunakan untuk industri non otomotif. Selain itu di Indonesia, belum ada perusahaan penghasil aspal yang pernah menggunakan karet alam langsung dari petani.

Kendala lainnya adalah media penyimpanan. Industri aspal diminta untuk memiliki gudang sendiri. Nah, untuk itu itu harus menggunakan lahan cukup luas.

Belum lagi perusahaan harus punya wawasan tata cara menyimpan aspal alam yang baik dan benar. Sumber daya manusia juga harus ada. Berarti ada cost tambahan juga untuk item pekerjaan aspal.

Selain itu, belum ada alat untuk mengolah aspal alam ini langsung menjadi aspal. Kecuali kalau bertetangga dengan pabrik ban. Itu pun kalau mereka mau mengelolanya.

Berarti harus ada investasi baru sedangkan target penggunanya masih belum jelas. Mereka menuntut kualitas aspal karet kualitasnya sama dengan aspal biasa. Apalagi untuk jalan Nasional macam Pantura Jawa yang banyak dilalui kendaraan berat dengan volume tinggi.

Intinya, perlu penelitian lebih lanjut tentang kualitas karet alam ini agar bisa digunakan menjadi aspa di jalan-jalan utama terutama jalan Nasional.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun