"Ilfil" di Pasar Terapung Banjarmasin

Mungkin Kompasianer sudah sering membaca obyek wisata yang paling terkenal di Banjarmasin ini. Kali ini mungkin hanya mengulang kembali apa yang pernah saya kunjungi sewaktu di Banjarmasin.  Selain soto Banjar-nya (saya lebih suka tanpa telur bebek) dan lontong Orari, pasar terapung di sungai Barito menjadi salah satu tempat yang wajib dikunjungi bila berada di Banjarmasin.

Nama Barito sendiri diambil berdasarkan nama Tanah Barito atau Onder Afdeeling Barito atau Kabupaten Barito yang dahulu beribukota di Kota Muara Teweh yang secara administrasi termasuk wilayah provinsi Kalimantan Tengah, tetapi sering dipakai untuk menamakan seluruh daerah aliran sungai ini hingga ke muaranya pada Laut Jawa di provinsi Kalimantan Selatan yang dinamakan Muara Banjar atau Kuala Banjar.

Kehadiran Pasar Terapung sendiri tidak lepas dari sejarah kota Banjarmasin. Pada tahun 1526 Sultan Suriansyah mendirikan kerajaan di tepi sungai Kuin dan Barito yang kemudian menjadi cikal bakal kota Banjarmasin.

Gayanya menyakinkan, kita di hotel sepakat berangkat setelah shalat subuh.  Karena saat itu pasar terapung sudah mulai ramai dengan penjual.  Praktek di lapangan, kita sudah siap setelah subuh, teman kita (ibu-ibu) masih baru selesai mandi.   Belum lagi dandannya.  Jadinya sudah menjelang pagi baru berangkat.   Suasana di luar hotel pun sudah mulai terang. 

Dermaga Klotok Wisata (dok. pribadi)

Kami diantar menuju Dermaga Klotok Wisata yang ada di jalan Pangeran.  Kami saat itu hanya bertujuh dan diantar ke pasar terapung menggunakan klotok (perahu yang menggunakan motor). Pasar terapung di Banjarmasin di mulai pukul 3.30 hingga 6.30.  Sedangkan saat itu dari dermaga sudah hampir pukul 5.45.  Jadi kami hanya punya waktu sekiar setengah jam saja di sana.   Suasana pagi mulai menggeliat dan masyarakat mulai beraktifitas.  Terlihat pula kapal ferry saat penumpang melintas di sungai Barito.

Menuju Pasar Terapung (dok. pribadi)

Sayangnya saat itu air sungai Kapuas sedang surut.  Sehingga lumpur basah di sekitar rumah penduduk di sekitar sungai mengeluarkan bau yang kurang sedap.  Sampah pun terihat menyangkut dan menumpuk di bawah bangunan kayu milik warga.   Ibu-ibu yang tadinya semangat mau makan nasi kuning atau soto di atas kapal jadi mengurungkan niat. 

Sungai surut dan sampah menumpuk (dok. pribadi)

"Nanti saja makannya di kota saja."

"Iya, jadi ngga nafsu makan nih," timpal yang lain.

Memang kata teman dari Banjarmasin, lebih indah pemandangan saat sungai pasang.  Kalau surut begini terlihat sungai lebih keruh dan kotor.  Airnya menjadi lebih coklat gelap.  Belum lagi pemandangan warga yang sedang mandi dan gosok gigi di pinggir sungai.  Terlihat pula beberapa ibu sedang mencuci beras dan peralatan dapur di dekat sungai.  Hi..hi.., ibu-ibu langsung jadi ilfil (ill feel) alias perasaan tak nyaman/enak.  Akhirnya mereka hanya memilih untuk welfie saja di atas atap kapal.   Hati-hati Bu, kepeleset....

Sebenarnya kalau sudah melalui anak sungai dan masuk ke sungai utama kesan kumuh dan kotor tadi hilang.  Bau lumpur pun lenyap.  Tetapi tetap saja teman-teman memilih makan di darat saja.  Untunglah ada penjual buah dan jajanan di atas jukung (perahu khas Banjarmasin).  Kami memborong mangga, jambu air, pisang, dan kue jajanan pasar. Ah, masak pagi-pagi sudah makan jambu air.  Bukannya sehat malah sakit perut. 

Thanks for jukung yang menjual makanan khas Banjarmasin seperti untuk-untuk serta bakpao, lontong dan lain-lain.  Kalau tidak kami akan masuk angin.  Apalagi pagi-pagi begini belum sarapan dan diterpa dengan air sungai yang cukup kuat.