Labuan Bajo adalah ibukota dari Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Â Yang membuat saya heran, banyak motor di kota ini tidak punya pelat nomor (pelat nomor kendaraan di sini EB). Â Motor memang jadi penguasa di sini. Â Sedangkan mobil tidak begitu banyak. Â Saya banyak melihat kendaraan pelat DK (Bali) yang beredar. Â Mungin mereka turis yang berwisata menggunakan perjalanan darat dari Bali.
Kalau soal kuliner, rata-rata makanan di sini adaah makanan laut (seafood). Â Harganya terjangkau. Saya makan empat ekor ikan dan satu ekor ayam hanya mengelurakan tiga ratus ribu rupiah. Â Â Kenyang banget. Â Itu sudah termasuk es teh manis. Â Kalau di Jakarta mungkin dua kali lipatnya. Â
Saya menginap di hotel Luwansa. Â Setahun sebelumnya saya pernah ke Labuan Bajo dan menginap di hotel La Prima. Jika hotel Luwansa hanya dua tingkat dan mempunyai beberapa villa (biasanya terdiri dari 3 kamar dengan 2 kamar mandi), Â Hotel Laprima terdiri dari 7 tingkat dan punya lebih banyak kamar. Â Harganya kamarnya pun berbeda antara kamar yang menghadap pantai dengan kamar yang menghadap hutan.
Kamar yang menghadap pantai dan sunset terhitung lebih mahal. Â Kalau kamar yang menghadap hutan tak banyak yang bisa dilihat, Â Apalagi kalau malam hari, gelap gulita. Â Itu baru dua hotel yang pernah saat singgahi. Â Sudah banyak hotel baru tumbuh di kawasan ini. Â Bahkan saat ini sedang dibangun sebuah hotel besar skala bintang lima dekat dengan Bandara Komodo.
"Kalau ikan di sini, mati hanya satu kali saja Mas," ujar supir mobil rental.
"Kalau ikan di Jakarta sudah mati lebih dari tiga kali," tambahnya lagi sambil tertawa.
Memang benar, ikan di sini segar-segar. Â Banyak juga turis asing yang makan asing di tempat ini. Â Mereka sibuk memilih-milih ikan. Â Malam itu terlihat beberapa turis dari Eropa, Taiwan, dan Jepang. Â Selain itu, ada beberapa warga masyarakat yang menjajakan kain tenun khas Flores kepada kami. Â Maaf ya, ngga beli dulu.Â
Sebelumnya kami pernah makan di sebuah restoran (nama dirahasiakan).  Sudah makanan lama dihidangkan, rasanya mengecewakan.  Kami lama menunggu, kami pikir makanan lama dimasak dan akan dihidangkan panas-panas.  Ternyata kami kecewa.  Nasi yang dihidangkan keras dan dingin, begitu pula lauk pauknya.  Sudah begitu, harganya mahal.  Hanya menang lokasi saja karena  bisa memandang Pelabuhan Labuan Bajo di malam hari. Restoran tersebut masuk blacklist kami.  Pantas saja jika wisatawan asing lebih suka makan di Lapangan Ujung.Â
Lapangan terbang utama kota ini adalah Bandara Komodo. Â Bandara sedang dalam tahap pengembangan. Â Saya rasa di masa depan kota ini akan semakin berkembang. Â Apalagi Labuan Bajo termasuk salah satu dari 7 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) yang sedang dikembangkan pemerintah. Â Diharapkan 7 KSPN ini menjadi penggerak sektor pariwisata nasional. Â Rencana melalui Ditjen Bina Marga, akan ada dukungan jalan nasional (non tol) melalui jalan Lintas Pulau Flores dan Pulau Timur.
Dari Jakata ke Labuan Bajo bisa melalui jalur udara maupun lewat tol laut. Â Minggu lalu saya menuju ke Labuan Bajo dengan menggunakan penerbangan Garuda langsung dari Jakarta. Â Pesawat yang digunakan adalah Bombardier CRJ700. Â Pesawat yang khusus diperuntukan untuk penerbangan regional. Â Waktu tempuh penerbangan sekitar 2 jam.
Sebelumnya saya pernah menggunakan penerbangan Lion Air. Â Tapi transit dulu di Bandara Ngurah Rai Bali sekitar 5 jam. Â Dari situ penerbangan dilanjutkan dengan NAM air. Â Â
Waktu transit yang cukup lama kami gunakan untuk jalan-jalan di sekitar Kuta Bali. Â Sempat beli oleh-oleh juga kacang disco, pia, dan kacang bali. Â Sempat pula foto-foto di Pantai Kuta. Â Jangan khawatir taksi di kota Denpasar melimpah. Â Belum lagi taksi online yang banyak hilir mudik. Â Hanya saja jangan sampai lupa waktu, nanti ketinggalan pesawat.
Saya sih lebih suka penerbangan langsung. Â Kalau transit memang bisa jalan-jalan dulu di Bali. Â Tapi jalan-jalannya tidak tenang, sebentar-sebentar melihat jam. Â