Mohon tunggu...
Herman Wahyudhi
Herman Wahyudhi Mohon Tunggu... Insinyur - PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Semakin banyak tahu semakin tahu bahwa banyak yang kita tidak tahu. Terus belajar, belajar, dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Radio di Tengah Bencana

6 Juli 2017   22:14 Diperbarui: 7 Juli 2017   04:22 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita tidak bisa menghilangkan bencana, tapi kita bisa mengurangi risiko. Kita bisa mengurangi kerusakan dan menyelamatkan lebih banyak nyawa.- Ban Ki Moon, Sekjen PBB

Waktu jam istirahat makan siang, saya bersama rekan bernama Heru makan di sebuah rumah makan padang di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.    Meja kami menghadap sebuah televisi 21 inchi yang berada di salah satu dinding rumah makan. Berita siang sebuah televisi swasta menayangkan bencana alam berupa meletusnya Gunung Sinabung di Kabupaten Karo, Sumatera Utara.

"Mengapa masih banyak orang yang mau tinggal di daerah rawan bencana ya?  Padahal sudah tahu daerah tersebut berbahaya," ujar Heru, teman saya asal Yogyakarta.  

Heru mungkin lupa bahwa Indonesia berada terletak di Cincin Api Pasifik.    Daerah ini banyak terjadi akivitas tektonik yang menempatkan Indonesia sebagai daerah rawan bencana.   Di Pulau Jawa saja, 120 juta orang tinggal di dalam bayang-bayang lebih dari 30 gunung berapi.  Termasuk Jakarta dan daerah asalnya Yogyakarta.   Bedanya kalau Yogyakarta rawan gempa, Jakarta rawan banjir.

Masyarakat terutama di daerah rawan bencana masih belum memilki pengetahuan akan kebencanaan dan mitigasi bencana.   Pengetahuan masyarakat tentang kearifan lokal terasa semakin menurun karena kurang sosialisasi dan pembinaan. Karena itu peningkatan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat sangat mutlak diperlukan.

Kebijakan Lokal

Sebenarnya nenek moyang kita sudah akrab selama berabad-abad hidup di ekosistem rawan bencana.   Mereka mengakrabi dan mengenali gejala alam akan terjadinya bencana dan menjadi pengetahuan lokal.  Sebagai contoh, masyarakat yang bermukim di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah, telah mempunyai kemampuan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya letusan.   Mereka membaca tanda-tanda alam melalui perilaku hewan, seperti turunnya hewan-hewan dari puncak gunung atau keluar dari rimbun hutan, burung-burung atau hewan lainnya mengeluarkan bunyi suara yang tidak biasa, atau adanya pohon-pohon di sekeliling kawah yang kering dan mati layu. 

Contoh lain, kearifan lokal masyarakat pulau Simeulue turut menyelamatkan banyak nyawa ketika terjadi bencana tsunami pada 2004 melalui budaya semong, yaitu membaca fenomena alam pantai. Teriakan semong merupakan peringatan dini yang diartikan adanya situasi dimana air laut surut dan masyarakat harus lari ke bukit. Ini adalah pengetahuan yang diperoleh dari leluhur belajar dari kejadian bencana yang pernah terjadi puluhan tahun lalu.

Berbeda dengan yang terjadi di Pantai Pangandaran Jawa Barat, masyarakat di sekitar justru lari ke laut karena air surut untuk memungut ikan dan kerang.  Akibatnya banyak korban jiwa ketika gelombang laut yang tinggi datang tiba-tiba.  Sayangnya, di era modern ini kebijakan lokal ini mulai terlupakan. Sebab itu BNPB berinisiatif menceritakan kembali pengetahuan lokal tersebut dalam bentuk drama radio.     

Mengapa harus radio?

Itu yang ditanyakan Heru pada saya.   "Mengapa tidak menggunakan SMS gate atau handphone saja? Hari gini masih dengerin radio."

Coba ingat-ingat di rumah masih ada radio tidak?  Hasil survei Nielsen pada tahun 2014 menyebutkan bahwa tiap tahun pendengar radio mengelami penurunan hingga 3 persen.  Kebanyakan masyarakat di perkotaan sudah jarang memilikinya.  

Sebaliknya,  bila kita sempat berjalan-jalan ke daerah pergunungan, persawahan atau pinggiran kota, masih banyak warga setia mendengarkan radio.   Tak semua orang mampu membeli televisi atau handphone (belum termasuk pulsa).    Kalaupun mampu, geografis daerah rawan bencana seperti daerah pergunungan atau pantai, sinyal yang diterima lemah atau tidak ada.

 "Benar juga, bagaimana kalau mau mengabarkan adanya bencana kepada orang lain bila menghubunginya saja sudah susah," ujar Heru membenarkan.  "Bagaimana dengan Handy Talky (HT)?"

Sama saja, HT pada saat terjadi bencana membutuhkan waktu 20 hingga 30 menit untuk menyampaikan informasi.  Padahal dalam keadaan darurat bencana, waktu adalah nyawa.  Terlambat sedikit saja nyawa taruhannya.   Belum lagi cakupan HT terbatas.  

Meskipun banyak orang berpikir bahwa radio kalah saing dengan televisi yang karakteristiknya menawarkan audio dan visual. Tetapi radio memiliki daya imajinatif (theatre of mind) sebagai unggulan yang dapat didengar sambil melakukan aktivitas lain, seperti: belajar, bekerja, menyetir mobil, dan lain-lain.  Beda halnya dengan televisi , selain mendengarkan audionya juga memaksa audiens harus melihat visualisasinya (diam di tempat).

Itu sebabnya mengapa di desa kerap dijumpai warganya menyetel radio dengan volume yang sangat keras.    Mendengar radio adalah kebiasaan saat mereka di sedang di sawah, berladang, berkebun, mengurus ternak, dan lainnya.   Radio dapat didengarkan tanpa listrik, cukup menggunakan baterai. 

Kelebihan lain dari media radio dibandingkan dengan media lain adalah jarak jangakuannya lebih luas dan murah meriah. Sebuah hal yang tidak mampu dilakukan oleh media massa lain seperti surat kabar, televisi, dan internet. Sehingga menjadikan media ini lebih menarik untuk didengarkan. Dengan kata lain, saat ini radio bisa dikatakan sebagai media yang menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi maupun hiburan.

Dalam Hari Radio Sedunia tahun 2016, UNESCO (United Nation Educational, Scientific, dan Cultural) menetap tema Radio and Emergency and Disaster Situation.  Ini menunjukkan peran penting dan krusial radio dalam meningkatkan kesadaran publik akan resiko bencana.

Hal ini terbukti saat terjadi tsunami di Jepang dan kala bencana terjadi di Afrika.  Di Afrika, radio cocok untuk menjangkau masyarakat yang buta huruf, para difabel, perempuan, anak-anak, dan masyarakat menengah ke bawah.  Radio mempunyai jangakaun pendengar yang luas dan media komunikasi yang murah (low cost medium). Semodern apapun perkembangan komunikasi, pendengar radio selalu ada dari semua kalangan.

Sandiwara Radio, Sarana Pendidikan Dini Mitigasi Bencana

Program radio di Indonesia pada umumnya dibagi menjadi empat jenis, yaitu: program informasi, program edukasi, program hiburan, dan program lain-lain (komersial, public service, announcement). Salah satu program radio yang dapat memanjakan khalayak pendengar adalah drama radio atau dalam bahasa Jawa disebut sandiwara radio.   Drama radio menurut ensiklopedia, wikipedia, adalah sebuah bentuk penyampaian cerita yang berbasis audio dan disiarkan di radio.

Sandiwara radio merupakan media yang memberikan peluang kepada pendengar untuk berimajinasi dengan daya khayalnya. Mendengarkan sandiwara radio sama halnya membayangkan dinamika dan romantika kehidupan. Karena cerita sandiwara radio tidak jauh dari kehidupan masyarakat yang digarap menjadi sebuah drama penuh daya tarik untuk melukiskan realitas. Sehingga kekhasan sandiwara radio diharapkan mampu mengambil hati pendengarnya dengan sajian konflik dalam alur ceritanya.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)  memanfaatkan radio karena media ini berbiaya rendah dan jangkauan yang luas sehingga tepat untuk menjangkau masyarakat yang tinggal di daerah terpencil. Radio juga sangat efektif memberikan informasi kepada masyarakat yang terdampak bencana ketika jaringan listrik mati dan alat komunikasi lain tidak berfungsi.  Dampak bencana dapat dikurangi bahkan dihindari jika tersedia informasi yang akurat, bermanfaat, dan terkomunikasikan secara cepat.

Sebab itu BNPB kembali merilis sandiwara radio Asmara di Tengah Bencana (ADB) episode 2 yang mulai disiarkan pada Rabu, 7 Juni 2017. Seperti sebelumnya, ADB ini dimaksud sebagai sarana edukasi bagi masyarakat akan budaya sadar bencana.  ADB episode 1 mendulang sukses pada penyiaran pertamanya tahun lalu.  Terbukti sandiwara ini berhasil menyedot sebanyak 43 juta pendengar atau hampir 20 persen dari jumlah penduduk Indonesia.   Tingginya animo masyarakat inilah yang membuat BNPB melanjutkan ADB. 

S. Tijab begitu cerdas meramu cerita ADB.   Konflik yang terus dibangun (up and down) membuat pendengar semakin penasaran dengan cerita yang disajikan. Hal ini dapat menjadi salah satu strategi untuk mempertahankan pendengar.  Nasehat-nasehatnya disisipkan dalam sebuah kisah yang seru dan menarik.  Selain itu disisipkan pula 300 iklan layanan masyarakat.   Tidak terkesan menggurui atau memerintah namun melekat dalam ingatan.  Selanjutnya efek komunikasi verbal turut mempengaruhi.  Pendengar radio dapat menularkan ilmu yang didengarnya kepada keluarga atau orang lain dengan menceritakan fenomena alam yang didengarnya melalui ADB.  

Radio selain sebagai sarana hiburan juga sebagai sarana pendidikan dini mitigasi bencana.   Itu sebabnya BNPB merangkul beberapa stasiun radio di sekitar zona rawan bencana.  ADB episode disiarkan di 80 stasiun, terdiri dari 60 stasiun radio swasta dan 20 radio komunitas.  

Dalam UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, mitigasi bencana didefinisikan sebagai sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.   ADB kembali membangkitkan kesadaran akan kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari, termasuk pengetahuan ciri-ciri bencana dan larangan melakukan kegiatan yang merusak lingkungan atau keseimbangan ekosistem.  

Segmen Drama Radio

Sebaiknya drama radio yang disiarkan disesuaikan dengan kondisi suatu wilayah.    Misalkan daerah rawan bencana gempa bumi dan erupsi gunung api cocok dengan ADB.   Sedangkan daerah pantai yang rawan tsunami disiapkan drama terkait fenomena tsunami.   Sehingga setiap daerah sudah punya pengetahuan dini mitigasi bencana di wilayah mereka.    Jangan sampai mereka yang tinggal di daerah rawan tsunami punya pengetahuan terkait mitigasi bencana erupsi gunung api tetapi tidak tahu mitigasi bencana tsunami.   Sehingga sewaktu terjadi bencana tsunami mereka justru kebingungan tak tahu harus berbuat apa.

Berdasarkan catatan BNPB sebanyak 184,4 juta warga tinggal di daerah rawan gempa bumi, 3,8 juta warga di daerah rawan tsunami, 1,2 juta penduduk di daerah rawan erupsi gunung api, 63,7 juta jiwa di daerah rawan banjir, 40,9 juta juwa tinggal di daerah rawan longsor, serta 11,1 jiwa tinggal di daerah rawan gelombang tinggi dan abrasi.

sumber : materi BNPB
sumber : materi BNPB
Selain itu, peran radio seharusnya tak hanya pada saat sebelum bencana, namun juga saat dan pasca bencana.  Seperti yang terjadi saat bencana di Jepang.    Mengutip Japan After Shock (2011) dijabarkan bahwa radio menyiarkan informasi seperti korban selamat di pengungsian pernyataan pemerintah akan potensi gempa susulan, serta himbauan untuk menghemat listrik.   Siaran juga menceritakan kondisi pengungsi di penampung.

Informasi yang disiarkan radio membuat masyarakat tahu apa yang dibutuhkan para pengungsi.  Radio di Jepang tidak menyiarkan tangisan pilu korban namun memutarkan lagu-lagu pembangkit semangat seperti Makenaideyang artinya Jangan Menyerah Kalah.   Menjadi penyemangat para korban untuk bangkit dan menolak untuk menyerah.

Man proposes, God disposes.  Manusia merencanakan,Tuhan yang menentukan.

Tiba-tiba Heru berteriak, "Man, bencana nih!  Aku lupa bawa dompet."

Saya tersenyum kecut, "Bilang saja minta dibayarin."

Kalau ini sih 'bencana' yang direncanakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun