Mohon tunggu...
Herman Wahyudhi
Herman Wahyudhi Mohon Tunggu... Insinyur - PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Semakin banyak tahu semakin tahu bahwa banyak yang kita tidak tahu. Terus belajar, belajar, dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Radio di Tengah Bencana

6 Juli 2017   22:14 Diperbarui: 7 Juli 2017   04:22 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itu yang ditanyakan Heru pada saya.   "Mengapa tidak menggunakan SMS gate atau handphone saja? Hari gini masih dengerin radio."

Coba ingat-ingat di rumah masih ada radio tidak?  Hasil survei Nielsen pada tahun 2014 menyebutkan bahwa tiap tahun pendengar radio mengelami penurunan hingga 3 persen.  Kebanyakan masyarakat di perkotaan sudah jarang memilikinya.  

Sebaliknya,  bila kita sempat berjalan-jalan ke daerah pergunungan, persawahan atau pinggiran kota, masih banyak warga setia mendengarkan radio.   Tak semua orang mampu membeli televisi atau handphone (belum termasuk pulsa).    Kalaupun mampu, geografis daerah rawan bencana seperti daerah pergunungan atau pantai, sinyal yang diterima lemah atau tidak ada.

 "Benar juga, bagaimana kalau mau mengabarkan adanya bencana kepada orang lain bila menghubunginya saja sudah susah," ujar Heru membenarkan.  "Bagaimana dengan Handy Talky (HT)?"

Sama saja, HT pada saat terjadi bencana membutuhkan waktu 20 hingga 30 menit untuk menyampaikan informasi.  Padahal dalam keadaan darurat bencana, waktu adalah nyawa.  Terlambat sedikit saja nyawa taruhannya.   Belum lagi cakupan HT terbatas.  

Meskipun banyak orang berpikir bahwa radio kalah saing dengan televisi yang karakteristiknya menawarkan audio dan visual. Tetapi radio memiliki daya imajinatif (theatre of mind) sebagai unggulan yang dapat didengar sambil melakukan aktivitas lain, seperti: belajar, bekerja, menyetir mobil, dan lain-lain.  Beda halnya dengan televisi , selain mendengarkan audionya juga memaksa audiens harus melihat visualisasinya (diam di tempat).

Itu sebabnya mengapa di desa kerap dijumpai warganya menyetel radio dengan volume yang sangat keras.    Mendengar radio adalah kebiasaan saat mereka di sedang di sawah, berladang, berkebun, mengurus ternak, dan lainnya.   Radio dapat didengarkan tanpa listrik, cukup menggunakan baterai. 

Kelebihan lain dari media radio dibandingkan dengan media lain adalah jarak jangakuannya lebih luas dan murah meriah. Sebuah hal yang tidak mampu dilakukan oleh media massa lain seperti surat kabar, televisi, dan internet. Sehingga menjadikan media ini lebih menarik untuk didengarkan. Dengan kata lain, saat ini radio bisa dikatakan sebagai media yang menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi maupun hiburan.

Dalam Hari Radio Sedunia tahun 2016, UNESCO (United Nation Educational, Scientific, dan Cultural) menetap tema Radio and Emergency and Disaster Situation.  Ini menunjukkan peran penting dan krusial radio dalam meningkatkan kesadaran publik akan resiko bencana.

Hal ini terbukti saat terjadi tsunami di Jepang dan kala bencana terjadi di Afrika.  Di Afrika, radio cocok untuk menjangkau masyarakat yang buta huruf, para difabel, perempuan, anak-anak, dan masyarakat menengah ke bawah.  Radio mempunyai jangakaun pendengar yang luas dan media komunikasi yang murah (low cost medium). Semodern apapun perkembangan komunikasi, pendengar radio selalu ada dari semua kalangan.

Sandiwara Radio, Sarana Pendidikan Dini Mitigasi Bencana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun