Mohon tunggu...
Herman Wahyudhi
Herman Wahyudhi Mohon Tunggu... Insinyur - PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Semakin banyak tahu semakin tahu bahwa banyak yang kita tidak tahu. Terus belajar, belajar, dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Potensi Daerah dan Inovasi Balitbang PUPR Bidang Jalan dan Jembatan

10 Agustus 2016   16:47 Diperbarui: 10 Agustus 2016   17:04 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Innovation is the only way to win.” ― Steve Jobs

Badan Penelitian dan Pengembangan yang disingkat Balitbang kadangkala dipelesetkan menjadi Badan Sulit Berkembang.   Asumsi ini mungkin karena adanya Balitbang yang memang tidak berkembang alias jalan di tempat.  Sunyi senyap dan nyaris tak terdengar bunyinya.  Namun tentu saja hal ini tidak berlaku bagi Balitbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang terus menerus melakukan inovasi dan pengembangan teknologi.  Lebih-lebih pada dalam masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dengan menitikberatkan pembangunan pada bidang infrastruktur.  Dana sebesar Rp313,5 triliun  digelontorkan pemerintah untuk membangun infrastruktur secara merata di seluruh Indonesia pada 2016.

Presiden Jokowi menekankan bahwa pola pembangunan dari pusat ini hendak ditinggalkan.   Sesuai dengan Nawacita, pembangunan dilakukan mulai dari kawasan pinggiran.  Seperti membuat jaring laba-laba, dimulai dari arah pinggir diranjut hingga mengarah ke pusat dan bukan sebaliknya.   Tidak seperti pola pembangunan peninggalan pemerintah sebelumnya yang bersifat Jawa sentris harus ditinggalkan.  Kali ini diperlukan konsep pembangunan bersifat Indonesia sentris dengan tujuan meningkatkan daya saing dan pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia.

Sebagai gambaran struktur perekonomian Indonesia secara spasial pada triwulan I-2015 masih didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.   Kelompok provinsi di Jawa (58,22%) dan Sumatera (23,88%) bersama-sama memberikan kontribusi terbesar terhadap PDB mencapai lebih dari 80 %.  Kemudian diikuti Kalimantan (8,45%), Sulawesi (4,72%), Bali dan Nusa Tenggara (2,48%).  Kontribusi terkecil berasal dari kelompok provinsi di Maluku dan Papua, yakni sebesar 1,95%.

Bahkan data Bank Dunia 2014 menunjukkan bahwa biaya logistik di Indonesia menyedot sekitar 27 persen produk domestic bruto (PDB).  Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa PDB Indonesia 2014 sebesar Rp 10.542 triliun, maka sekitar Rp. 2.846  triliun habis digunakan untuk membiayai logistic.  Suatu pemborosan yang tak perlu.   Bandingkan dengan Vietnam (25 persen dari PDB), Thailand (20 persen dari PDB), dan Singapura (8 persen dari PDB).   Pengeluaran biaya logistik andai bisa dihemat bisa dialokasi sektor lain yang lebih strategis seperti pembangunan serta memperbaiki infrastruktur, rumah sakit, atau sekolah.    Itu sebabnya pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan guna Indonesia Sentris dan mendukung logistik mutlak diperlukan.   

Hal tersebut sesuai dengan Nawacita yang digusung oleh Presiden Joko Widodo.  Program Nawacita menjadikan infrastruktur sebagai salah satu fokus utama untuk pembangunan Indonesia.   Peraturan Presiden No 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, mengamanatkan Agenda Nawacita dengan agenda Meningkatkan Produktivitas Rakyat dan Daya Saing di Pasar nasional dan internasional melalui Membangun Konektivitas Nasional Untuk Mencapai Keseimbangan Pembangunan.

Terkait dengan hal tersebut,  perubahan struktur organisasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat lebih fokus dengan pengembangan wilayah terutama di luar Pulau Jawa terutama di daerah terluar dan perbatasan.   Dibentuknya Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) dan Direktorat Jalan Bebas Hambatan, Perkotaan, dan Fasilitasi Jalan Daerah pada Direktorat Jenderal Bina Marga menunjukkan perhatian pemerintah akan pembangunan infrastruktur di daerah.

BPIW telah menyusun 35 Wilayah Pengembangan Strategis (WPS) tersebar dari Sabang sampai Maurake.  Dari 35 WPS tersebut 4 WPS di Pulau Papua, 2 WPS di Kepulauan Maluku, 4 WPS di Pulau Kalimantan, 5 WPS di Sulawesi, 6 WPS di Pulau Sumatera, dan 5 WPS di Kepulauan Bali-Nusa Tenggara.  Disinilah letak perlu konekvitas melalui pembangunan jalan dan jembatan untuk menghubungkan titik-titik simpul pertumbuhan ekonomi dalam WPS.

Harapannya, ketika semua itu sudah rampung, jarak dan ketimpangan antara Indonesia Barat dan Indonesia Timur, kian dekat.  Sehingga kemajuan bersama dapat lebih cepat  terwujud.

Dua abad lalu, berdasarkan Instruksi 5 Mei 1808, dijelaskan bahwa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels memulai tugasnya dengan membanguna infrastruktur jalan raya.   Membangun jalan raya di Priangan tidak hanya untuk kepentingan pertahanan atau militer, tetapi lebih penting adalah karena kepentingan ekonomi.   Eklusifisme kesukuan, keterasingan sebuah daerah dan keterlambatan hasil distribusi pertanian perkebunan pada umumnya disebabkan oleh infrastruktur jalan yang buruk atau masih terisolir.    Sejak dahulu sebenarnya sudah dirasakan peran vital infrastruktur jalan dan jembatan bagi perekonomian daerah di Indonesia.

Dampak suatu aktivitas pembangunan terhadap perekonomian daerah bisa diukur melalui penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan per kapita, pertumbuhan dan peningkatan daya tarik investasi, produktivitas investasi, dan berbagai bentuk manfaat lainnya (Dixon, et.al, 1992). Sedangkan beberapa manfaat yang berpotensi muncul akibat dari perkembangan sektor transportasi adalah:

  • Perubahan biaya relatif dari sarana transportasi tertentu terhadap sarana transportasi lainnya;
  • Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat;
  • Peningkatan ketersediaan sarana transportasi;
  • Peningkatan kualitas perjalanan (kecepatan, kenyamanan, kepercayaan) yang dihasilkan dari peningkatan kualitas sarana maupun teknologi infrastrukturnya.
  • Pengaruh pada tata guna lahan akibat migrasi antar daerah dan perubahan pola pemukiman;
  • Peningkatan aktivitas ekonomi yang pada akhirnya juga mempengaruhi timbulnya perubahan pola dan struktur konsumsi masyarakat;
  • Perubahan demografis (struktur usia dan gender); serta
  • Perubahan perilaku operasional dunia usaha setempat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun