Mohon tunggu...
Herman Wahyudhi
Herman Wahyudhi Mohon Tunggu... Insinyur - PNS, Traveller, Numismatik, dan Pelahap Bermacam Buku

Semakin banyak tahu semakin tahu bahwa banyak yang kita tidak tahu. Terus belajar, belajar, dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Revolusi Mental Bermula dari Keluarga

3 September 2015   21:59 Diperbarui: 3 September 2015   21:59 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sesungguh Alah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa yang ada dalam diri mereka.”  (al Ra’d :11)

Pada acara Nangkring Bareng BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional) yang diselenggarakan di Solo pada 20 Agustus 2015 dengan tema “Menanamkan Revolusi Mental Melalui 8 Fungsi Keluarga”.    Sayang saya tidak bisa ikut acara ini karena lokasi yang jauh.   Berbeda waktu acara Nangkring Bareng BKKBN diselenggarakan di Tangerang Selatan pada 8 Juli 2015, saya ikut acara tersebut karena lokasinya dekat dengan rumah.  Pada acara di Tangerang Selatan juga disampaikan topik mengenai pentingnya 8 (delapan) Fungsi Keluarga dalam merencanakan masa depan anak.   BKKBN menyadari pentingnya nilai keluarga bagi revolusi mental bangsa Indonesia.  Sayangnya masih banyak masyarakat yang belum mengerti pentingnya fungsi keluarga ini.

Dalam Kompas edisi 10 Mei 2014 Jokowi (saat itu calon presiden) menulis sebuah opini berjudul Revolusi mental. Nation building tidak mungkin maju jika hanya mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan manusianya atau mereka yang menjalankan sistem ini.  Sehebat apapun  kelembagaan yang kita ciptakan, selama ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa kesejahteraan. Di sinilah diperlukan adanya revolusi mental.

Jokowi juga menulis, bahwa revolusi mental dimulai dari lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian meluas menjadi lingkungan kota dan lingkungan negara.  Revolusi mental ini sesuai dengan Tri Rahayu (Tiga Kesejahteraan) dalam adat budaya Jawa yang menjadi pedoman hidup seseorang.  Mamayu hayuning salira (bagaimana hidup untuk meningkatkan kualits diri pribadi), Mamayu hayuning bangsa (bagaimana berjuang untuk negara dan bangsa), dan Mamayu hayunung bawana (bagaimana membangun kesejahteraan dunia).   Jadi sebenarnya revolusi mental itu juga digali dari akar kebudayaan bangsa yang luhur.  

Revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional.   Revolusi mental hendak membawa perubahan radikal atas mental bangsa yang mengalami degradasi.    Mental yang cenderung korupsi, intoleransi tehadap perbedaan, sifat rakus, ingin menang sendiri, ingin kaya secara instan, kencenderungan menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunitis. 

Revolusi mental harus didasarkan pada nilai, budaya, dan karakter bangsa Indonesia, tidak berpijak pada nilai dan budaya asing yang tidak selamanya cocok dengan budaya bangsa ini.  Revolusi mental adalah revitalisasi nilai-nilai luhur bangsa yang semain luntur seperti saling menghargai, tolong menolong, bekerja sama, mandiri dan nilai-nilai positif lainnya.  

Ada yang salah selama ini dalam pendidikan mental bangsa ini.  Mental memang menjadi permasalahan bangsa ini.   Revolusi mental dimulai dari diri sendiri dan keluarga sebagai unit terkecil dari sebuah negara.   Keluarga memegang peranan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa.  Tak heran jika BKKBN berkali-kali berkampanye pentingnya peran keluarga bagi anak sebagai pemilik negeri ini di masa depan.   Anak adalah titipan Tuhan dan kita wajib menjaganya.    Anak bagai kanvas putih yang belum dilukis.    Untuk awal lukisan dari kehidupan anak, orangtualah yang menggambarkannya.    Orangtualah yang membentuk mental dan karakter anak.

Lalu bagaimana peran keluarga dalam mensukseskan revolusi mental ini?  Ada 8 (delapan) fungsi utama dalam keluarga.   Delapan fungsi ini selaras dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 tentang  Penyelenggaraan Pembangunan Keluarga Sejahtera.    Pada pasal 1 butir 1 disebutkan bahwa keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami, atau suami, isteri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya.  Jadi mereka yang berstatus single parent termasuk dalam definsi keluarga menurut peraturan ini.  Berikut delapan fungsi keluarga sebagaimana dikutip dari buku Menjadi Orangtua Hebat yang dikeluarkan BKKBN (kebetulan saya dapat sewaktu mengikuti acara Nangkring Bareng BKKBN di Tangerang Selatan) dan menjadi bahan penyuluhan Bina Keluarga Balita bagi kader:

  1. Fungsi Keagamaan. Orangtua menjadi contoh panutan bagi anak-anaknya dalam beribadah termasuk sikap dan perilaku sehari-hari sesuai dengan norma agama.    Ajaran Islam didalam surah An Nahl: 90, diajarkan bahwa manusia harus berbuat adil, tolong menolong, saling mengasihim, dan saling menyayangi.    Dalam Al Kitab juga diajarkan mengenai kebenaran, keadilan, dan kejujuran seperti dalam Amsal pasal 1 ayat 3.  Umat hidup juga diajarkan untuk berbuat baik dan berkata benar (Rgveda, X.37.2).   Juga ajaran Budha dalam Dhamma Sari yang dikenal sebagai Jalan Tengah atau Delapan Jalan Utama (Ariya Atthangika Magga).   Intinya, bila keluarga bisa menanamkan dan memberi contoh kebaikan dalam agama, anak-anak mencontoh dan mengikutinya.   Mereka akan punya pedoman moral dalam menjalani kehidupan.    
  2. Fungsi Sosial Budaya. Orangtua menjadi contoh perilaku sosial budaya cara bertutur kata, bersikap dan bertindak sesuai dengan budaya timur agar anak-anak bisa melestarikan dan mengembangkan budaya dengan rasa bangga.  Contoh pepatah Batak mengatakan Pangkuling do situan na denggan. Budi bahasa yang baik sangat penting dalam bermasyarakat.
  3. Fungsi Cinta Kasih. Orangtua mempunyai kewajiban memberikan cinta kasih, orangtua mempunyai kewajiban memberikan cinta kasih kepada anak-anak, anggota keluarga lain sehingga keluarga menjadi wadah utama berseminya kehidupan penuh cinta kasih.
  4. Fungsi Perlindungan. Orangtua selalu berusaha menumbuhkan rasa aman, nyaman, dan kehangatan bagi seluruh anggota keluarganya sehingga anak-anak merasa nyaman berada di rumah.   Kenyataannya saat ini menurut Kementerian Sosial, di Indonesai ada 4,1 juta anak terlantar. 
  5. Fungsi Reproduksi. Orangtua sepakat untuk mengatur jumlah anak serta jarak kelahiran dan menjaga anak-anaknya terutama yang sudah remaja menjaga kesehatan reproduksinya secara sehat, menghindari kehamilan sebelum menikah.  Menurut Menteri Sosial RI, Khofifah Indah Parawansa, selama 2013 anak-anak usia 10-11 tahun yang hamil diluar nikah mencapai 600.000 kasus.    Sedangkan remaja usia 15-19 tahun yang hamil diluar nikah mecapai 2,2 juta kasus. Jumlah tersebut belum termasuk anak usia 12-14 tahun yang hamik diluar nikah, karena belum ada data.  Berdasarkan laporan UNICEF (2012), anak perempu  Juman berusia 10-14 tahun lima kali lebih beresiko meninggal saat hamil dan melahirkan dibandingkan dengan perempuan berusia 20-24 tahun.   Karena secara fisik, mental dan kesehatan alat produksi, mereka masih belum siap.   Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun yang sama menunjukkan bahwa angka kematian ibu di Indonesia dalam lima tahun meningkat, dari 228 orang per 100.000 persalinan (tahun 1997) menjadi 359 orang per 100,000 persalinan (2012).
  6. Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan. Orangtua mampu mendorong anak-anaknya untuk bersosialisasi dengan lingkungannya untuk mengenyam pendidikan untuk masa depannya.   Menurut data Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini Non Formal dan Informal (PAUDNI), anak-anak putus sekolah jumlah cukup besar yakni 7,39 juta orang dari total angakatan 118,192 juta jiwa.  
  7. Fungsi Ekonomi. Orangtua bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.  Namun kenyataannya, masih banyak orangtua yang tidak bisa memenuhi kebutuhan gizi anaknya, kebutuhan akan rumah tinggal, atau kebutuhan minimal sehari-hari.   Tak jarang kita lihat anak-anak dipaksa mengemis oleh orangtuanya.   Berdasarkan data BPS, pada tahun 2014 sekitar 11,25 persen atau 28,28 juta jiwa penduduk Indonesia tergolong penduduk miskin.    
  8. Fungsi Pembinaan Lingkungan. Orangtua selalu mengajarkan kepada anak-anak untuk menjaga dan memelihara lingkungan keharmonisan keluarga dan lingkungan sekitar.

[caption caption="(sumber : Menjadi Orangtua Hebat - BKKBN)"][/caption]

Dengan pemenuhan delapan fungsi ini diharapkan kelak sang anak akan menjadi orang dewasa yang cerdas, jujur, bertanggung jawab, mandiri, percaya diri, dan tangguh.   Mental yang diperlukan untuk menghadapi era globalisasi di masa depan.  Di mana berlaku homo homini lupus, manusia yang lemah akan menjadi mangsa manusia yang kuat.  Tentu saja ini dalam pengertian positif, bukan mental saling jegal dan menjatuhkan (atau menurut Koentjaraningrat, sifat mentalitas yang suka menerabas) seperti yang dihadapi bangsa ini sekarang.

Sebagai gambaran, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia masih tertinggal dengan negara lain. Human Development Index (HDI) 2014 menepatkan Indonesia pada posisi 108 dari 187 negara yang disurvei.  Untuk di kawasan ASEAN, HDI Indonesia berada di posisi 6 dibawah Filipina, Thailand, Malaysia, Brunei, dan Singapura.    Revolusi mental harus diimbangi dengan SDM yang mumpuni.

Tak heran jika pada tahun 1960-an berbagai program berlatar belakang pentingnya akan sebagai investasi, berkembang di berbagai negara bagian Amerika Serikat.    Program yang dikenal antara lain Head Start dan Follow Through, adalah program kesejahteraan anak berdasarkan anak sebagai investrasi.   Umumnya program-program tersebut berpandangan bahwa, investasi yang paling berharga bagi negara adalah anak-anak.   Kalau dalam bahasa Sunda, kudu jadi gunung panangggeuhan (harus menjadi andalan rakyat).

Di Kanada pun dikembangkan berbagai istilah pendidikan karakter untuk menggembleng mental generasi muda mereka.    Ada pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan kewarganegaraan (civic education), pembelajaran sosio-emosional, pendidikan warga negara (citizen education), dan pengembangan positif generasi muda. 

Namun untuk membentuk tingkah laku positif anak dalam revolusi mental tidak hanya sesat tetapi butuh jangka waktu panjang.    Orangtua perlu memberikan contoh keteladanan misalkan berkata jujur, sikap dermawan, suka menolong orang lain.  Anak akan merekam peristiwa ini dalam memori otaknya.   

Menurut Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (1974)  ada empat jalan yang dapat dilakukan.   Pertama, dengan memberi contoh yang baik.  Kedua, dengan memberi perangsang-perangsang yang cocok.  Ketiga, dengan persuasi dan penerangan.   Terakhir, dengan pembinaan dan pengasuhan suatu generasi yang baru untuk masa yang akan datang sejak kecil dalam kalangan keluarga. 

Selain itu keteladanan yang baik itu senantiasa diulang secara terus menerus sehingga menjadi suatu pembiasaan.  Kata pepatah, bisa karena biasa.   Terakhir, jika anak melakukan perbuatan terpuji (baik) beri penghargaan atas hal tersebut.   Hadiah tidak harus dalam bentuk barang, bisa dengan mengelus kepalanya dengan lembut sambil memuji perbuatannya atau membelikan makanan kesukaannya.     Bagaimana anak-anak diperlakukan, begitulah mereka meghargai diri sendiri.

Delapan fungsi ini saling bersinergi dan saling melengkapi.   Seperti mesin, bila salah satu dari fungsi ini tidak berjalan baik maka mesin tidak akan berjalan dengan baik.    Maka revolusi mental yang diharapkan pun akan gagal.  

Apalagi pada masa pekembangan emas seorang anak (golden age) dimulai saat masih janin (dalam kandungan) hingga 5 tahun.  Bahwa dalam daur hidup manusia, periode anak di bawah lima tahun (balita) merupakan periode paling kritis dalam menentukan kualitas hidupnya di masa yang akan datang.   Hasil penelitian menunjukkan sekitar 50 persen variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun.   Peningkatan 30 persen berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20 persen sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua.   

John Grey PhD dalam bukunya Children Are From Heaven (1999), anak-anak berasal dari surga dan bahwa anak-anak mempunyai tujuan potensial mereka masing-masing, masa depan mereka benar-benar ada di tangan kita (orangtua).  Bagaimana kita merawat dan mengurusi mereka sangat mempengaruhi kemampuan mereka untuk mewujudkan sepenuhnya semua potensi mereka.

Otak mereka bagai spons yang cepat menyerap pelajaran dan pengalaman.    Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.   Jangan sia-sia kesempatan ini.  Kebanyakan anak yang bermasalah berasal dari keluarga broken home atau kurang kasih sayang.  

Dalam Islam ada pula tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan anak-anak mereka.   Dalam surah at-Tahrim: 6, “Hai orang-orang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”  Didiklah anak-anak kita karena kelak orangtua akan ditanya tentang pendidikan dan pengajaran apa yang telah kamu keberikan kepada anak-anak. Jadi teringat lirik lagu Hura Hura yang dinyanyikan Chrisye.  Anak dimanja dengan uang, hingga terlupakan kasih sayang, dan seterusnya..... Reff : dalam hura-hura, hatinya duka, yang didambakannya, kasih orangtua.  

Peran dan kasih sayang orangtua ini tidak dapat digantikan oleh pengasuh anak, pembantu, atau orang lain.   Orangtua menjadi role model bagi anak-anak mereka.   Ayah akan menjadi role model bagi anak lelaki yang kelak jika dewasa akan memiliki sikap seperti dirinya.   Demikian untuk anak perempuan, akan menjadi ibu mereka sebagai role model.  

Revolusi mental dan bonus demografi (bonus yang dinikmati suatu negara sebagai akibat besarnya proporsi usia produktif dalam rentang usia 15-64 tahun) dapat menjadi ‘mental’ (terpental) jika momentum ini tidak dimanfaatkan secara baik oleh para orangtua untuk membentuk mental anak-anak mereka melalui delapan fungsi keluarga.     

Pada 2014 tercatat Indonesia memiliki 67 juta keluarga.  Sebuah potensi yang luar biasa untuk memajukan Indonesia.  Bayangkan jika 67 juta keluarga ini mampu melakukan revolusi mental.  Tak diragukan lagi bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar.  Namun bisakah hal tersebut terwujud?  Mengingat tingkat anak-anak putus sekolah masih tinggi, banyak anak yang kekurangan gizi,  tingginya tingkat kelahiran di luar nikah anak-anak dan remaja, serta banyaknya anak-anak yang terlantar.   Apakah dengan fakta-fakta tersebut membuat kita mundur?   Tentu tidak.   Justu fakta tersebut membuat kita sebagai keluarga menyadari bahwa revolusi mental melalui delapan fungsi keluarga harus segera dilakukan agar generasi masa depan lebih baik dari generasi masa kini.

Revolusi mental yang bermula dari keluarga memang tidaklah mudah.  Dibutuhkan keluarga yang kuat untuk melahirkan generasi hebat serta dukungan para pemimpin dan Negara.  .  Rencana masa depan harus direncanakan oleh generasi muda bangsa ini dari sekarang seperti kerap didengungkan BKKBN yaitu Generasi Berencana (GenRe).  Paling tidak Ibda’ bi nafsik (mulailah dari dirimu sendiri) lalu keluarga kecil kita.    Gagal dalam merencanakan sama dengan merencanakan kegagalan itu sendiri.   Ayo mulai sekarang jalankan revolusi mental di rumah kita.   It’s better to do something late, than to never do it all.

Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup dari 2 ½ sen sehari.   Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli.   Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita.  (Soekarno).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun