Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Warna dan Motif yang Elegan: Pesona Kain Tenun Nagekeo dari Nusa Tenggara Timur

22 Oktober 2023   17:07 Diperbarui: 23 Oktober 2023   12:06 2187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kain tenun Nagekeo merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang berasal dari daerah Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. 

Kain tenun ini memiliki keunikan dengan dua macam proses tenun, yaitu proses ikat (pete) dan proses sulaman (wo'i), yang menghasilkan paola pada bahan tenun. Kain tenun ini sangat beragam, baik dari segi warna maupun motifnya, dan memiliki keindahan yang begitu memikat.

Salah satu hal yang menarik adalah penggunaan warna pada kain tenun Nagekeo. Khusus untuk kain tenun wanita, warna yang dominan adalah hitam, putih, dan merah dengan motif atau corak bunga-bunga yang indah.

Sementara untuk kain tenun pria, warnanya didominasi oleh hitam dengan motif bela ketupat berwarna kuning. Warna-warna ini memberikan kesan yang elegan dan klasik pada kain tenun tersebut.

Secara tradisional, pewarna yang digunakan pada kain tenun Nagekeo berasal dari tanaman perdu yang disebut tarum (talu dalam bahasa Keo atau taru dalam bahasa Ende). 

Daun tarum ini mampu menghasilkan warna biru indigo atau biru gelap yang sangat menarik. Selain itu, warna kuning diperoleh dari akar atau batang pohon mengkudu (kembo atau kaju kune dalam bahasa setempat).

Akar dan batang pohon mengkudu tersebut dipotong kecil-kecil, kemudian direbus dan direndam bersama benang. Hasilnya adalah warna kuning kemerahan atau jingga yang memberikan kehangatan pada kain tenun Nagekeo.

Kain Nagekeo terdiri dari tiga jenis, yaitu Hoba Nage, Ragi Woi, dan Dawo. Orang Keo Tengah menyebut ketiga jenis kain ini dengan Dawo Nagge, Duka Wo'i, dan Dawo Ende.

Motif kain tenun Nagekeo (Foto: Eddy Due)
Motif kain tenun Nagekeo (Foto: Eddy Due)

Hoba Nage atau Dawo Nagge merupakan kain tenun ikat yang dibuat dengan ikatan tali pada benang sebelum ditenun. Tenunan ini berasal dari wilayah sekitar Boawae. Hoba Nage memiliki motif dan ragam hias geometris kecil dengan warna dasar cokelat atau hitam, dan motif dan ragam hias yang kontras di atasnya. 

Beberapa contoh hoba dari Nagekeo adalah Hoba Angi Mite, di mana seluruh sarung berwarna hitam diselingi beberapa garis berwarna biru; Hoba Angi Woi Sa Wisa, yang seluruh sarung berwarna hitam diselingi hiasan berwarna merah, biru dan motif tertentu; dan Angi Woi Toto Pota, di mana seluruh sarung berwarna hitam dengan diberi hiasan tertentu.

Pola pada Ragi Wo'i atau Duka Wo'i dibuat pada proses menenun. Benang warna disisipkan seperti menyulam saat menenun. Ragi atau Duka yang berasal dari wilayah Mbay disebut Duka Bay atau Ragi Bay. 

Sementara untuk kain yang berasal dari pesisir selatan di Tonggo, Maunura, Mauromba, disebut Duka Tonggo. Dua jenis kain ini umumnya memiliki pola-pola wajik dan matahari dengan warna kuning dan merah menyala di atas dasar hitam dan biru legam.

Keindahan kain tenun Nagekeo tidak hanya terletak pada corak dan warnanya, tetapi juga pada nilai-nilai budayanya. Tenunan ini bukan hanya sekedar karya seni, tetapi juga menjadi identitas dan simbol kebanggaan masyarakat Nagekeo. Melalui kain tenun Nagekeo, mereka mampu menjaga dan memperkaya warisan budaya nenek moyang mereka.

Setiap kain tenun Nagekeo yang dihasilkan memiliki nilai estetika yang tinggi. Proses pembuatan kain tenun ini melibatkan banyak kerja keras, kreativitas, dan ketelatenan, baik dalam memilih bahan pewarna alami maupun dalam menghasilkan motif dan corak yang menarik. Tak heran jika kain tenun Nagekeo dihargai tinggi dan menjadi incaran banyak orang.

Kain tenun Nagekeo juga menjadi salah satu bentuk pelestarian lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam. Penggunaan bahan pewarna alami dari tanaman perdu dan pohon mengkudu menjaga keberlanjutan alam dan mencegah kerusakan lingkungan. 

Selain itu, tradisi menenun kain Nagekeo juga menjadi sarana untuk mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal dan keterampilan tradisional yang diturunkan secara turun temurun.

Dalam perkembangannya, kain tenun Nagekeo telah melampaui batas wilayah tempatnya berasal. Keindahan dan keunikan kain tenun ini telah menarik perhatian banyak orang, baik dari dalam maupun luar negeri. 

Kain tenun Nagekeo mulai dipasarkan secara luas, baik dalam bentuk kain perca maupun produk-produk fashion seperti pakaian, tas, dan aksesoris lainnya.

Dengan adanya pengenalan yang lebih luas terhadap kain tenun Nagekeo, diharapkan bisa mendukung perekonomian masyarakat setempat dan melestarikan kebudayaan mereka. Selain itu, peningkatan popularitas kain tenun Nagekeo juga membantu menjaga agar keterampilan menenun tidak terlupakan oleh generasi mendatang.

Kain tenun Nagekeo membawa cerita mendalam tentang keindahan alam, sejarah, dan nilai-nilai budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi. Kain tenun ini bukan hanya sekadar kain, tetapi juga cermin dari kekayaan budaya Indonesia dan kemampuan manusia dalam menciptakan keindahan. 

Terjaganya keberlanjutan kain tenun Nagekeo adalah tugas kita semua untuk memastikan bahwa warisan budaya yang bernilai tinggi ini dapat terus dikenal dan dinikmati oleh banyak orang di masa yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun