Kain tenun Nagekeo merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang berasal dari daerah Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.Â
Kain tenun ini memiliki keunikan dengan dua macam proses tenun, yaitu proses ikat (pete) dan proses sulaman (wo'i), yang menghasilkan paola pada bahan tenun. Kain tenun ini sangat beragam, baik dari segi warna maupun motifnya, dan memiliki keindahan yang begitu memikat.
Salah satu hal yang menarik adalah penggunaan warna pada kain tenun Nagekeo. Khusus untuk kain tenun wanita, warna yang dominan adalah hitam, putih, dan merah dengan motif atau corak bunga-bunga yang indah.
Sementara untuk kain tenun pria, warnanya didominasi oleh hitam dengan motif bela ketupat berwarna kuning. Warna-warna ini memberikan kesan yang elegan dan klasik pada kain tenun tersebut.
Secara tradisional, pewarna yang digunakan pada kain tenun Nagekeo berasal dari tanaman perdu yang disebut tarum (talu dalam bahasa Keo atau taru dalam bahasa Ende).Â
Daun tarum ini mampu menghasilkan warna biru indigo atau biru gelap yang sangat menarik. Selain itu, warna kuning diperoleh dari akar atau batang pohon mengkudu (kembo atau kaju kune dalam bahasa setempat).
Akar dan batang pohon mengkudu tersebut dipotong kecil-kecil, kemudian direbus dan direndam bersama benang. Hasilnya adalah warna kuning kemerahan atau jingga yang memberikan kehangatan pada kain tenun Nagekeo.
Kain Nagekeo terdiri dari tiga jenis, yaitu Hoba Nage, Ragi Woi, dan Dawo. Orang Keo Tengah menyebut ketiga jenis kain ini dengan Dawo Nagge, Duka Wo'i, dan Dawo Ende.
Hoba Nage atau Dawo Nagge merupakan kain tenun ikat yang dibuat dengan ikatan tali pada benang sebelum ditenun. Tenunan ini berasal dari wilayah sekitar Boawae. Hoba Nage memiliki motif dan ragam hias geometris kecil dengan warna dasar cokelat atau hitam, dan motif dan ragam hias yang kontras di atasnya.Â