Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Kampung Adat Wologai, Mencerminkan Keunikan Arsitektur dan Warisan Budaya yang Kaya di Flores

8 Oktober 2023   21:02 Diperbarui: 12 Oktober 2023   15:48 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Wisatawan mancanegara menjelajah kampung adat Wologai. (Foto: KOMPAS/PRIYOMBODO)

Kampung adat Wologai, yang terletak di dataran tinggi sekitar 1.045 meter di atas permukaan laut, merupakan salah satu kampung adat yang masih bertahan di Pulau Flores. 

Dengan usianya yang diperkirakan mencapai 800 tahun, Wologai menjadi bukti hidup dari warisan budaya yang kaya dan unik.

Sesampainya di kampung adat Wologai, pengunjung akan langsung terpesona dengan arsitektur unik rumah-rumahnya. Bangunan-bangunan ini memiliki bentuk kerucut dan dibangun melingkar dengan tiga tingkatan. 

Tiap tingkatan didukung oleh batu-batuan ceper yang diletakkan di atas tanah, sementara rumah-rumah dibangun mengelilingi struktur tersebut. Semakin tinggi, pelatarannya semakin sempit, menciptakan kerucut yang memukau.

Deretan rumah panggung mengelilingi Tubu Kanga, pelataran tertinggi yang sering digunakan untuk ritual adat. 

Batu ceper di tengah pelataran digunakan sebagai altar tempat persembahan bagi leluhur dan sang pencipta. Pembuatan rumah-rumah panggung ini sangat terperinci. Mereka didukung oleh 16 batu ceper yang diletakkan tegak sebagai tiang dasar bangunan. 

Setiap rumah memiliki panjang sekitar 7 meter dan lebar sekitar 5 meter, dengan atap berbentuk kerucut yang terbuat dari alang-alang atau ijuk. 

Tinggi bangunan ini sekitar 4 meter, sementara atapnya mencapai sekitar 3 meter. Keunikan arsitektur ini menjadikannya tempat yang sangat menarik bagi pengunjung dan fotografer.

Karena keindahan dan keunikan arsitekturnya, tak jarang Anda akan menemui wisatawan asing yang tengah memotret di tempat ini. Keindahan dan keunikan Wologai sulit untuk dilewatkan begitu saja. 

Terdapat 18 rumah adat, 5 rumah suku, dan sebuah rumah besar di kampung adat Wologai. Rumah suku digunakan untuk menyimpan benda pusaka atau peninggalan suku, sementara rumah besar hanya ditempati saat berlangsungnya ritual adat.

Bentuk atap rumah adat yang menjulang memiliki filosofi yang berkaitan dengan kewibawaan para ketua adat. Mereka dianggap lebih tinggi dalam struktur adat dibandingkan dengan masyarakat adat biasa. 

Setiap rumah adat ini memiliki fungsi yang jelas, mulai dari bagian kolong yang dahulunya digunakan untuk memelihara ternak seperti babi dan ayam, hingga ruang tengah yang digunakan sebagai tempat tinggal, dan loteng yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang-barang untuk ritual adat.

Kampung Adat Wologai - Ende - Flores (Foto: backpackerjakarta.com)
Kampung Adat Wologai - Ende - Flores (Foto: backpackerjakarta.com)

Dahulu, leluhur mereka adalah kelompok nomaden yang akhirnya memutuskan untuk menetap di Wologai. Tiap suku memiliki bentuk bangunan rumah adat yang sama, tetapi dengan ciri khas yang berbeda, seperti ukiran pada tiang kayu bangunannya. 

Dahulu, atap rumah adat harus terbuat dari alang-alang, tetapi sekarang banyak yang beralih menggunakan ijuk. Ini karena atap alang-alang harus diganti setiap tiga tahun sekali, sementara atap ijuk dapat bertahan puluhan tahun. 

Namun, pembangunan rumah adat tidak sembarang. Mereka harus mengikuti ritual adat Naka Wisu, yang melibatkan pemotongan pohon di hutan untuk digunakan sebagai tiang penyangga rumah. Ritual ini dilakukan pada pukul 12 malam, setelah sebelumnya ada upacara penyembelihan seekor ayam.

Keberadaan kampung adat Wologai tetap utuh karena masyarakatnya tunduk dan taat pada perintah leluhur mereka. Mereka menjaga tradisi ini dengan penuh dedikasi dan berpegang teguh pada nilai-nilai nenek moyang mereka.

Dalam setahun, kampung ini menggelar dua ritual besar. Ritual pertama adalah ritual panen padi, jagung, dan kacang-kacangan (Keti Uta) yang dilaksanakan pada bulan April. 

Ritual kedua adalah Tumbuk Padi (Ta'u Nggua) yang berlangsung pada bulan September. Puncak dari ritual Ta'u Nggua adalah Pire, di mana selama tujuh hari masyarakat adat Wologai dilarang melakukan aktivitas pekerjaan seperti bertani, mengiris tuak dari pohon enau, dan sebagainya. Momen ini mirip dengan upacara Nyepi di Bali.

Setelah melewati berbagai upacara, komunitas adat akan menggelar ritual Gawi, yaitu menari bersama di pelataran sekeliling Tubu Kanga sebagai simbol kegembiraan dan kebersamaan. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun