Bentuk atap rumah adat yang menjulang memiliki filosofi yang berkaitan dengan kewibawaan para ketua adat. Mereka dianggap lebih tinggi dalam struktur adat dibandingkan dengan masyarakat adat biasa.Â
Setiap rumah adat ini memiliki fungsi yang jelas, mulai dari bagian kolong yang dahulunya digunakan untuk memelihara ternak seperti babi dan ayam, hingga ruang tengah yang digunakan sebagai tempat tinggal, dan loteng yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang-barang untuk ritual adat.
Dahulu, leluhur mereka adalah kelompok nomaden yang akhirnya memutuskan untuk menetap di Wologai. Tiap suku memiliki bentuk bangunan rumah adat yang sama, tetapi dengan ciri khas yang berbeda, seperti ukiran pada tiang kayu bangunannya.Â
Dahulu, atap rumah adat harus terbuat dari alang-alang, tetapi sekarang banyak yang beralih menggunakan ijuk. Ini karena atap alang-alang harus diganti setiap tiga tahun sekali, sementara atap ijuk dapat bertahan puluhan tahun.Â
Namun, pembangunan rumah adat tidak sembarang. Mereka harus mengikuti ritual adat Naka Wisu, yang melibatkan pemotongan pohon di hutan untuk digunakan sebagai tiang penyangga rumah. Ritual ini dilakukan pada pukul 12 malam, setelah sebelumnya ada upacara penyembelihan seekor ayam.
Keberadaan kampung adat Wologai tetap utuh karena masyarakatnya tunduk dan taat pada perintah leluhur mereka. Mereka menjaga tradisi ini dengan penuh dedikasi dan berpegang teguh pada nilai-nilai nenek moyang mereka.
Dalam setahun, kampung ini menggelar dua ritual besar. Ritual pertama adalah ritual panen padi, jagung, dan kacang-kacangan (Keti Uta) yang dilaksanakan pada bulan April.Â
Ritual kedua adalah Tumbuk Padi (Ta'u Nggua) yang berlangsung pada bulan September. Puncak dari ritual Ta'u Nggua adalah Pire, di mana selama tujuh hari masyarakat adat Wologai dilarang melakukan aktivitas pekerjaan seperti bertani, mengiris tuak dari pohon enau, dan sebagainya. Momen ini mirip dengan upacara Nyepi di Bali.
Setelah melewati berbagai upacara, komunitas adat akan menggelar ritual Gawi, yaitu menari bersama di pelataran sekeliling Tubu Kanga sebagai simbol kegembiraan dan kebersamaan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H