Satu yang menarik pada perayaan Tujuh Belas Agustus tahun 2019 adalah penganugerahan busana adat terbaik. NTT mendapat satu tempat terhormat dalam peristiwa ini. Ibu Khalidah yang mengenakan busana adat Rote sebagai busana terbaik sehingga melambungkan nama NTT pada momentum sejarah itu.
Bersamaan dengan itu, ada peristiwa lain yang mengusik dan melukai hati kaum Kristiani, tersebarnya video Ustad Somad, yang berisi komentar atau tanggapannya tentang salib. Jawabannya benar menurut "keyakinannya" -- seperti pengakuannya, tetapi penjelasan dan gestur dirinya serta reaksi audiens terkesan "meremehkan" apa yang diyakini kaum Kristiani tentang makna salib yang sesungguhnya.
Apa diyakini atau diimani oleh seseorang belum tentu benar menurut orang lain yang tidak mengimani dan meyakininya. Tak masalah. Karena sesuatu yang diyakni itu bukan sebuah paksaan melainkan dasar penerimaan dan pengalaman iman orang tersebut. Tapi, apakah tepat sebagai seorang ulama, sumber ketelaudanan dan figur publik "pantas" menyuarakan tentang salib yang sesuatu yang tidak dipahaminya dan apalagi tidak diimaninya? Maka sikap dan tindakan yang tepat adalah saling menghormati satu sama lain. Mengenal batas-batas tanpa "menyerobot" seolah-olah paham dengan hakiki kepercayaan umat lain di ruang tertutup ataupun terbuka.
Video tersebut telah meletupkan pro dan kontra. Segala macam pujian, caci maki, sindiran dan beragam lainnya beradu dalam suasana menyongsong peringatan Kemerdekaan Indonesia dan sesudahnya. Di mata umat Kristiani, klarifikasi UAS hanyalah upaya "pembenaran diri" tanpa tersirat dan tersurat rasa bersalah . Ia tak sendiri, publik yang sepihak dengannya bahkan cenderung menyalahkan pengedar video tersebut. Bukan sebaliknya, sang penceramah  itu yang seharusnya "diselamatkan".
Penganugerahan busana tradisional terbaik dan ceramah Ustad secara gamblang tak ada relavansi sama sekali. Akan tetapi bila kita melihat kronologi kedua peristiwa itu, apapun dapat dihubungkan -- bukan atas dasar "cocoklogi". Kadang-kadang alam pun "mengintervensi" lalu menggerakan alam bawah sadar manusia sehingga apapun peristiwa berbeda yang tak tampak memiliki hubungan hubungan tali temali peristiwa.
Lantas, apa hubungan tali temali itu? Bila memperhatikan deretan tamu undangan yang mengenakan busana tradisional semuanya memesona, anggun, dan mewah  yang dapat masuk kategori busana terbaik. Berbeda dengan busana ibu Khalidah, kesannya simpel tetapi elegan.
Busana Rote sederhana dan elegan. Tak seperti busana ada dari daerah lain yang memiliki macam-macam aksesorinya. Busana tradisional wanita Rote hanya terdiri dari "bula molik", yang artinya bulan sabit, yang dipakai di kepala; selempang, sarung, "pendi" (ikat pinggang wanita) yang terbuat dari perak/emas, dan "habas" yang dikalungkan di leher.
Bagaimana ibu Khalidah menjadi yang terbaik? Bukan yang lainnya? Para juri pasti punya alasan sendiri. Berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan. Namun, penulis memiliki alasan tersendiri d ibalik terpilihnya ibu Khalidah. Berdasarkan analisis fenomena yang digerakkan oleh SESUATU dan kemudian memberikan pesan yang dapat ditafsir dan memiliki korelasi dengan situasi terkini.
Yang menjadi menarik busana itu dikenakan oleh seorang wanita Muslim. Memadukan busana adat dengan balutan kerudung (jilbab) merah sehingga tetap menampakkan keanggunan seorang wanita. Tak ada hal yang tabu ketika unsur-unsur yang berbeda -- jilbab di satu sisi dan pakaian adat tradisional di sisi lain "membentuk" keharmonisan. Tanpa itu penampilan ibu Khalidah tak mencuri perhatian para juri.
Lalu bagaimana busana tradisional Rote dan aksesorisnya? Seperti kebanyakan pakaian tradisional, penuh dengan simbol-simbol dengan makna yang unik dan khas bagi pemilik tenun itu. Bila kita perhatikan ada simbol "bulan sabit" di kepala ibu Khalidah.Â
Dalam aksesoris yang serupa biasanya, ada tiga bintang yang merupakan satu kesatuan. Dasar pemilihan bulan sabit dan bintang ini tentu memiliki latarbelakang dan makna antropologis, sosiologis dan bahkan teologis menurut orang Rote. Begitu pula, umumnya, tenun NTT kaya akan simbol-simbol (motif).
Apa hubungan busana yang dikenakan ibu Khalidah dengan ceramah Ustad Somad? Keterhubungan keduanya adalah soal simbol. Bulan sabit yang menjadi bagian dari aksesori busana tradisional orang Rote juga menjadi simbol agama Islam. Lantas kita mengatakan orang Rote adalah umat Islam? Tidak! Tak berarti bahwa tak ada orang Rote yang beragama Islam. Tentu saja ada.
Sementara pada saat yang hampir bersamaan Ustad Somad mengotak-atik salib yang merupakan simbol orang Kristen. Lantas, segala bentuk yang menyerupai salib adalah salib? Apakah segala bentuk yang berbentuk salib memikiki kaitan dengan kekristenan? Tentu saja tidak!
Penafsiran UAS tentang salib  sangat kontrakdiktif dengan pemahaman orang Kristen. Bulan sabit yang terpasang di kepala ibu Khalidah tak serta merta adalah simbol keislaman. Begitu pula bahwa tak semua yang berbentuk salib adalah salib. Tanda plus (+) misalnya. Atau simbol + pada ambulance tak identik dengan salib yang diimani umat Kristiani. Maka penulis merasa lucu bila Ustad Somad alergi dengan palang merah dan meminta pengikutnya untuk mengganti simbol dengan bulan sabit.
Artinya apa dari dua peristiwa di atas? Simbol-simbol atau bentuk sesuatu tak mutlak dimiliki oleh orang tertentu, suku tertentu dan agama tertentu. Dengan lain kata, simbol atau bentuk boleh sama tetapi maknanya berbeda. Bila ada yang menilainya SEGALA SESUATU YANG BERBENTUK SALIB ADALAH SALIB (SALIB KRISTUS), hemat saya itu orang itu sedang dihantui phobia salib -- mungkin ia memiliki pengalaman yang menakutkan dengan kekuatan Salib Kristus. Â ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H