Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Hadar Nafis Gumay Menampar Fadli Zon Soal Linux

7 Mei 2019   08:23 Diperbarui: 7 Mei 2019   08:37 1242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasil Pilpres 2019 menuai polemik. Perdebatan panjang tiada akhirnya. Dimulai dengan "pengklaiman" kemenangan, Kubu 02 pun melakukan deklarasi diri sebagai pemenang Pilpres 2019. Hasil berkata lain. Lembaga survei, berdasarkan quick count menunjukkan secara statistik (angka-angka) kemenangan berada di Kubu 01. Hasil quick count tak berbeda jauh dengan hasil real count KPU. Apa lagi yang diragukan?

Namun, hasil lembaga survei dan KPU tak diterima baik bahkan ditolak oleh Kubu BPN. Argumentasi satu-satunya Kubu Prabowo-Sandi, berdasarkan hitungan mereka sendiri, Prabowo-Sandi menang atas Jokowi-Ma'ruf. Pengklaiman persentasi kemenangan pun berubah-ubah.

Soal ini publik telah mengikuti perdebatan di berbagai ruang publikasi, media cetak, televisi hingga media online. Tentu saja pengklaiman ini membuat semua pihak lelah. Kubu TKN, Wiranto, sampai mengeluarkan pernyataan bernada sinis sebagaimana dilansir media Kompas.Com (29/04/2019).

"Pemilu ini kan sudah dilaksanakan dengan baik, terlaksana dengan baik, enggak bisa kemudian menghitung sendiri, mengklaim sendiri, mendeklarasikan sendiri. Orang lain ngomong enggak boleh, kemudian menuduh yang lain curang," ujar Wiranto di kantor Kemenko Polhukam.

Pernyataan Wiranto ada benarnya. Sangat tidak masuk akal jika kubu PBN menghitung sendiri perolehan suara Prabowo-Sandi, mengklaimnya lalu mengumumkan atau mendeklarasikan kemenangan sendiri, lalu apa tugas Komisi Pemilihan Umum?

Apa yang dilakukan kubu BPN di luar nalar demokrasi yang sesungguhnya. Apa yang dilihat dari "perilaku politik", mereka mengalami sesat berdemokrasi dan mengingkari hukum yang mengatur KPU sebagai "hakim" terhadap rivalitas politik ini. Bila KPU, metode ilmiah dan semua pihak mereka tidak percayai, maka kebenaran mereka yang paling hakiki. Jika demikian, lalu dengan apa atau siapa pembandingnya untuk menyatakan bahwa mereka benar?

Berbagai upaya telah dilakukan oleh Kubu 02. Mulai dari membangun opini tentang Pemilu yang curang hingga tudingan-tudingan yang menyudutkan pihak sebelah. Hal lain yang tak kalah mengejutkan yakni Fadli Zon yang menyoalkan Linux sebagai sistim operasi linux gratisan dan keamanannya yang rentan. Hal ini disampaikan Fadlin Zon ketika melakukan sidik ke Kantor KPU RI.

"Setelah melihat langsung ke lokasi server di kantor KPU RI, kondisi ruang penyimpanan server sangat tidak representatif. Sistem yang digunakannya juga sederhana. Operating system-nya menggunakan Linux, database mysql, dan program php. Program-program tersebut bahkan bisa diperoleh gratis. Secara fisik, server KPU itu tak representatif. Seorang ahli IT menaksir dari segi biaya server KPU itu di kisaran 1-2 miliar rupiah. Begitu pun dengan operation room-nya," kata Fadli (Detik.Com, 06/05/2019).

Pernyataan Fadli Zon seperti orang yang kehabisan akal untuk memperdayai KPU setelah berbagai cara yang mereka tempuh tak mempan menggoyahkan KPU. Lantas ia masuk dan mengomentari wilayah yang ia sendiri tidak paham.

Fadli Zon boleh jadi mendapatkan bisikan dari orang-orang yang setengah pengetahuannya tentang Linux. Bisa pula Fadli Zon mengandalkan pengetahuan ceteknya yang diperoleh dari beragam informasi internet atau omongan di sekitarnya.

Sangat disayangkan level seorang Fadli Zon mengeluarkan pernyataan ini. Bambang Purnomosidi, dosen perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, di wall facebook, (Senin, 06/05/2019) menulis demikian:

"dear Fadli Zon, kalau kamu gak paham Linux dan filosofi software bebas, sebaiknya diam saja. "

Bambang mungkin gerah dengan politikus ini. Sebagai dosen yang menekun bidang open source pasti lebih paham daripada seorang Fadli Zon ini.

Reaksi lain datang dari Hadar Nafis Gumay, Komisioner KPU (Detik.com, 06/05/2019). Pernyataan Hadar jauh lebih cerdas dari Fadli Zon yang melihat yang gratisan  tak berarti murahan. Ia menyatakan berbeda pandangan dengan  Fadli Zon dan mengatakan kita jangan terlalu gensi. Lebih lanjut ia mengatakan open source (karena gratisan) pasti jelek. Open source justeru memiliki ketahanan dan keamanan (security) karena  selalu diuji banyak pihak.

Alasan lain penggunaan Open Source, menurut Hadar   itu  lebih baik ketimbang harus menggunakan sistem operasi berbayar dan menjadi ketergantungan dengan pusat penyedia sistem operasi itu.

"Buat apa kita beli sistem yang branded tapi membuang biaya besar, kemudian kita tergantung ke provider pada sistem ini? Kalau demikian yang terjadi, itu bukan hanya bahaya, tapi juga tidak ekonomis. Misalnya, bila ada versi baru yang dibuat, maka kita harus update dan membayar lagi," tandas Hadar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun