Langgengnya  Kekeraton Jogja menjadikan Jogja sebagai Daerah Istimewa. Keistimewaan Jogja adalah gubernur dan wakil gubernur berasal dari kekeratonan -- tidak melalui proses Pilkada, salah satunya.
Jogja, Rumah Kedua
Bagi penulis, Jogja adalah rumah kedua. Penulis mengawali dengan mengikuti Bimbingan Belajar sebagai langkah persiapan menghadapi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Gagal UMPTN di Universitas Gadjah Mada, penulis masuk Diploma III di sebuah perguruan tinggi swasta. Tiga tahun tepat tamat Diploma, kemudian melanjutkan studi ke jenjang S1 pada perguruan tinggi yang sama.
Kedatangan saya ke Jogja pada tahun 1995. Suasana Jogja waktu itu masih tampak ndeso. Pengertian ndeso menurut penulis, suasana Jogja masih tampak dengan kekhasannya. Kota kecil tetapi bernuansa pedesaan. Alamnya asri. Kita masih dengan mudah menghirup hawa segar di persawahan pinggir kota. Kita masih melihat para petani yang bekerja di sawah pada pagi hari. Kita masih melihat mbak-mbak dengan bakul dagangan.
Kita belum menjumpai banyak hotel bintang tiga dan bintang lima seperti sekarang ini. Pusat perbelanjaan masih terpusat (mall-mall) di Malioboro. Bus, sepeda ontel dan becak masih menjadi transportasi andalan. Kendaraan roda dua masih terbilang langkah. Di kalangan mahasiswa, kendaraan jenis ini hanya dimiliki oleh anak-anak berada. Jika sampai ada mahasiswa yang membawa mobil ke kampus dipastikan mahasiswa tersebut berasal dari kalangan keluarga borjuis.
Jogja Dalam Arus Perubahan
Keistimewaan Jogja dalam beberapa aspek masih dipelihara. Namun, kita tak dapat memungkiri bahwa arus modernisasi deras menerjang Jogjakarta. Kemajuan pembangunan fisik sangat masif. Hotel-hotel berbintang bermunculan hampir di setiap sudut kota. Sepeda ontel semakin jarang terlihat. Becak tergantikan oleh becak motor, sepeda motor dan mobil yang berjejal di jalanan. Andong, transportasi tradisional nyaris tak kelihatan kecuali di kawasan khusus Malioboro. Warung-warung makan yang menjajakan makanan secara prasmanan mungkin hampir tidak ada. Harga makanan tentu tak semurah dulu. Sepiring nasi dan lauk telur ayam hanya dengan harga tujuh ratus rupiah. Banyak macam perubahan lain yang tak kita bisa jumpai seperti yang penulis rasakan dan alami selama delapan tahun di sana.
Pada awal kedatangan penulis, Jogja menampilkan dua sisi yang berbeda. Satu sisi sebagai kota, sisi lain Jogja masih menampakan wajah ndeso. Area persawahan masih kita jumpai tak jauh dari pusat kota seperti di daerah Sidikan, tak jauh dari kampus Universitas Taman Siswa atau kawasan di belakang Hotel Ambarukmo kala itu.
Selokan Mataram merupakan tempat yang sepi dan menyeramkan bila malam tiba. Jalur ini jarang dilintasi pengendara. Hawa sepanjang selokan ini sejuk. Karena jalannya sepi, orang lebih memilih lewat jalur ini selain pada malam hari. Tapi, kini semua telah berubah. Delapan tahun di sana menjadi tak berarti apa-apa bila penulis kembali ke sana. Tempat-tempat yang bisa penulis akrabi telah berubah penampakannya kecuali tempat-tempat yang menjadi icon kota Jogjakarta seperti Malioboro dan Kantor Pos.
Sebuah Ajakan Pulang
Dari aspek olahraga, Mandiri Jogja Marathon adalah event olahraga. Dari sisi pariwisata, event ini pula dipandang sebagai sport tourism. Tetapi, dalam perspektif penulis, event ini merupakan ajakan "pulang kota kekotamu" (meminjam syair lagu Katon Bagaskara).