| Mata wai amahu pada njara hamu - "Mata air emas, padang pengembalaan kuda terbaik"
 Kesan pertama dan utama tentang Pulau Sumba adalah eksotisme alam, budaya dan adat istiadat. Impresi itu menyatu di mata dan  mengendap dalam batin setiap pribadi yang pernah mengunjunginya.Â
Keindahan nan eksotik ini tiada duanya. Siapa pun yang menyukai pertualangan alam, hasrat selalu membuncah untuk melanglang buana di setiap sudut Pulau Sumba.
Penulis sudah kesekian kali ke Pulau Sumba tapi dahagaku selalu tak terpuaskan. Hasrat tualang begitu kuat. Perasaan itu tak dimiliki oleh diriku sendiri. Ternyata, para sahabat seperjalanan mengalami hal serupa.Â
Keindahan Sumba menghipnotis dan memiliki daya magnit yang kuat untuk memanggil siapapun yang pernah datang ke sini untuk kembali. Melanglang buana di tengah padang sabana.Â
Mengunjungi kampung tradisional nan magis. Mencumbui kemolekan dan lekukan pantai-pantai yang seksi. Bersemadi alam di tengah iringan desau peopohonan dan gemericik air terjun.
wisata kebanggaan Sumba Timur, air terjun Tanggedu. Ide ini bermula dari Dewi.Â
Kesempatan itu digapai. Usai melakoni rangkaian tugas di Waingapu, kami menulusuri dan melintas padang sabana yang sangat indah. Bermodalkan google map dan tanya sana-sini, kami menuju salah satu satu spotPadahal sebelum meninggalkan hotel, kami telah memantapkan tujuan ke Warinding. Padang sabana yang dikenal dengan bukit raksasa tidur itu. Namun, setelah berputar-putar di kota Waingapu pikiran pun berubah. Air terjun Tanggedu, destinasi wisata kami hari itu.
Ide Dewi diamini penulis, Kiki, Yati, Un, Primus dan Karel. Dewi sendiri begitu yakin soal jarak Waingapu-Tanggedu yang dekat. Kami berputar-putar di dalam kota hanya mau mencari jalan keluar ke Tanggedu.Â
Mengikuti petunjuk google map lebih sering terjebak daripada tepat sasar tujuan. Karel lalu turun dari mobil dan menanyakan kepada seseorang pemuda. Ia mengilustrasikan denah dengan jemarinya dan menunjukkan arah ke Tanggedu.
Tak sesulit yang dibayangkan. Menuju Tanggedu, kami melintasi jalan sepanjang pantai, melewati tengah padang dan bebukitan sabana yang indah. Mata terkesima. Hati melonjak kekaguman, "A fantastic and amazing place".Â
Tepat untuk menggambarkan sepanjang rute yang kami lalui. Memang alamnya sangat indah. Bukit dan lembah ditutupi sabana yang hijau kekuning-kuningan. Menari-nari dengan gemulai saat ditiup angin.Â
Sementara pepohonon perdu mempercantik pembukitan savanah nan indah. Hamparan laut membiru, teduh menyejukan mata. Menggoda mata kami untuk mengabadikannya.
Primus pinta Karel merapatkan mobil ke tepi jalan. Rupanya ada spot yang menarik di mata Primus yang memiliki hobi fotografi ini. Kami turun dari mobil, Dewi, Kiki, Yati dan Un bergegas ke tengah padang. Mengamati dan mengambil pose. Primus merekam setiap moment dengan tangkas.
Kuda-kuda Sandalwood menjadi pesona yang menyatu dengan alam. Mereka dibiarkan tanpa seutas tali yang mengekang kebebasannya. Melahap rerumputan yang menghijau. Memberikan pemandangan unik siang itu.Â
Kami pun enggan beranjak dari situ. Tak puas-puas mengabadikan diri dalam berbagai pose dan latar. Mengingat waktu yang semakin terbatas, kami pun meninggalkan spot itu.
Karel memacu Inova dengan kecepatan sedang. Sedikit berhati-hati. Karena banyak lobang sewaktu-waktu menjadi jebakan maut. Mobil terus menyisir jalan ruas jalan beraspal. Sepanjang jalan disuguhkan pemandangan khas Tana Humba.Â
Padang sabana. Pada sebuah jalur lurus, terpampang sebuah papan nama air terjun Tanggedu. Hati pun berdecak gembira. Titik tujuan pun semakin jelas. Karel membelok mobil dan menyusuri arah yang ditunjuk pada papan nama tersebut.
Panduan google map jarak titik tujun sepuluh kilomoter lagi. Hati kami pun senang karena tujuan kami sudah dekat. Mobil yang kami tumpangi jalan berlahan karena jalan yang kami lalu tak beraspal.
Di kiri-kanan kami, padang luas sejauh mata memandang. Rumah-rumah berdiri di tepi jalan tapi jaraknya sangat renggang. Suasana sepi. Tapi kami juga menjumpai gerombolan anak-anak sekolah tak jauh dari perkambungan.Â
Pula ibu-ibu yang pulang dari pasar. Kepada mereka, kami menanyakan arah air terjun Tanggedu. Mereka menjawab dengan ramah.
Tak jarang pula kami menjumpai rumah-rumah tak berpenghuni. Sepi. Kami duga penghuninya sedang berkebun atau keluar kampung, entah ke kota atau lainnya. Â
Sampai pada sebuah pertigaan yang ditutupi dengan batu, setelah melewati jalan yang sempit, suara dari google map mengabarkan, "anda telah sampai tujuan". Karel memarkir mobil.Â
Kami semua bergegas turun dan mencari mata air yang dimaksud. Tak jauh dari jalan terdengar gemuruh air yang mengalir. Dugaan kami mata air tak jauh lagi tapi kami tidak temukan rupanya.
Karel dan Primus berinisiatif untuk mencari informasi dari penduduk di sekitarnya. Kami tetap menunggu dan berteduh di bawah pohon yang berdaun rimbun. Sepasang suami istri datang dari arah berlawanan.Â
Kami menyapa dan menanyakan posisi air terjun. Pria itu mengatakan jaraknya masih sepuluh kilometer lagi. Ia juga sudah menyampaikan hal yang sama kepada Primus dan Karel. Beberapa detik pria itu pamit, Karel datang menjemput kami.Â
Sementara Primus menunggu di salah satu rumah warga di kampung itu. Mobil berbalik arah dan bergerak ke arah air terjun Tanggedu dan menjemput Primus yang sedang menunggu.Â
Seorang pria setengah baya diajak sebagai pemandu atau guide kami. Ia adalah Ketua RT di kampung tersebut. Sepanjang jalan ia bercerita tentang situasi Tanggedu.Â
Tentang jalan yang tidak memadai. Tak diaspal utuh. Katanya, alasan keterbatasan dana. Prioritas pengaspalan hanya pada medan-medan yang sulit. Tiga kilometer dari Ketua RT tersebut, hamparan padang rata sejauh mata memandang. Segerombolan sapi tampak melahap rerumputan, begitu pula kuda-kuda milik warga.
Pada saat tiba di dataran yang rata ini, pikiranku langsung melayang ke Tablelands, Queensland, Australia. Dataran tinggi yang luas dan rata serta entah berapa tingginya daripada permukaan laut. Hawanya dingin. Karena letaknya di atas dataran tinggi.Â
Inilah yang membedakan dengan dataran sabana Tanggedu. Padang Tanggedu dibiarkan terlantar. Satu atau dua kelompok penduduk mengolahnya menjadi lahan kebun.Â
Lebih banyak padang 'ditelantarkan' atau menjadi area kawanan ternak merumput. Pemandangan yang unik dan beda dengan Tablelands yang dimaksimalkan penduduk sebagai lahan perkebunan, perternakan dan kawasan hunian serta destinasi wisata.Â
Melihat tesktur tanah Tablelands berisi. Beda dengan tanah di dataran Tanggedu, kebanyakan tanah berbatu karang. Mungkin itu sebabnya, warga enggan bercocok tanam dan memilih beternak saja.
Selain melintasi di tengah padang yang luas dan rata. Kami melewati ruas jalan yang berlika-liku dan memacu adrenalin. Betapa tidak. Jalan turun naik lembah dan bukit. Tentu pula topografi alam ini menampakan keindahan yang tiada duanya bahkan tak dijumpai di Tablelands, Australia.Â
Mata kita dimanjakan barisan bukit kapur. Teman-teman menyebut Great Canon-nya Tanggedu. Di tengah lembah, terdapat kebun-kebun warga. Kata Ketua RT, warga membudidaya bawang merah. Petani bisa menghasilkan uang puluhan juta rupiah.
Perjalanan kami terhenti di sebuah kampung kecil. Berada di bawah lekukan bukit. Hamparan sawah luas. Kami berjumpa dengan Ketua Rukun Keluarga (RK), bapak Uron.Â
Dari kampung ini kami harus berjalan kaki sejauh 2 kilometer menuju air terjun. Kami begitu yakin dan sampai titik tujuan. Namun, kedatangan kami di kampung itu disambut oleh gerimis hujan.Â
Gerimis ini nyaris menjadi alasan atau rintangan kami untuk tidak melanjutkan perjalanan. Kawan-kawan menyatakan satu kata untuk melangkah terus. Pantang mundur. Harsat terlanjur di ubun-ubun. He he ...
Saya berinisiatif memulai tracking dan dipandu oleh Ketua RT. Baik ketua RT dan Ketua RK meragukan kondisi saya karena pengakuan mereka medannya sangat sulit. Saya mengatakan kepada mereka, saya bisa.Â
Ternyata benar. Medannya sulit. Track-nya sempit dan terjal. Bila tidak hati-hati, taruhannya tubuh tergelincir ke dasar kali. Jiwa tualangku bangkit dan taklukan medan itu.Â
Turun hingga dasar kali yang debit airnya mengecil. Rintangan di depan menghadang. Kami haris melewati track menanjak dan berliku. Nafas ngos-ngosan. Betis dan paha mulai pegal-pegal dan keram. Ini dialami oleh kami semua. Kami harus berhenti beberapa kali sebelum mengapai dataran.
Situasi menyebrangi kali dalam perjalanan pulang dari air terjun Tanggedu (Foto: Primus Metboki)
Keringat bercucuran. Baju kian basah dihujani keringat. Dengan perlengkapan seadanya tanpa perbekalan, kami hanya melindungi kepala dengan kantong plastik dari serangan rintik hujan.Â
Melintasi setapak di tengah kebun warga yang mulai becek. Hingga akhirnya, kami berteduh di bawah rumah seorang warga dimana kami harus mengisi buku tamu dan membayar Rp. 50.000,- sebagai biaya masuk kawasan air terjun.
Kami  berisitirahat sejenak dan menarik nafas. Ratusan meter lagi menggapai tujuan. Setelah tubuh bertenaga, pertualangan dilanjutkan. Baru seberapa meter dari rumah yang kami singgah, hujan kian deras. Baju dan celana pun basah. Keadaan ini tak patahkan semangat kami. Kami bersatu dalam tekad tunggal, menggapai air terjun Tanggedu secepatnya. Kami terus melangkah diiringi canda dan tawa. Mungkin inilah yang menyebabkan perjalanan kami semakin bergairah dan berwarna. Akhirnya, sebuah papan bertuliskan Air Terjun Tanggedu terlihat dari kejauhan menjadi penyemangat. Perjalanan ini tak boleh sia-sia. Semakin dekat ke arah papan itu, semakin terdengar gemuruh air. Sesampai di tepi ngarai, gemuruh air kian melangit. Hujan terus terkucur dari langit. Sekejap tubuh kami basah kuyup. Pendampakan air terjun tertutup banjir maha dasyat. Hasrat untuk mencumbui air terjun Tanggedu layu seketika. Menyesal pun menghinggapi hati kami semua. Niat pulang pun segera. Tapi, pada akhirnya kami semua tetap bersyukur. Apa yang terjadinya seandainya banjir itu datang ketika itu kami di dasar sungai? Hanya Tuhan bisa menjawab peristiwa ini.  Dan, Tuhan telah menjawab semua itu. Kami diselamatkan oleh alam sendiri. Itulah kami mengimaninya.
Kami pun berbalik arah dengan tenaga yang masih tersisa. Kami beristirahat sejenak di rumah penduduk. Pemandu kami makan sirih dengan tuan rumah, kami bercanda satu dengan yang lainnya.Â
Tenaga pulih terisi, kami lanjutkan perjalanan. Sesampai rumah dimana kami mengisi tamu, dari seberang kali kami dikabarkan untuk istirahat sejenak karena kali mati telah dialiri  banjir. Kami memutuskan untuk terus melangkah dan menunggu banjir surut dari pinggir sungai saja.
Semakin dekat dengan kali kecil itu, semakin terdengar deruh suara banjir. Astaga. Berapa lama lagi kami harus menunggu di sini? Bagaimana cara menyeberang ke sebelah?Â
Berbagai pertanyaan dan rasa berkecamuk di benak. Yanti tampak shock, Kiki dan Dewi menampakan wajah yang optimis. Kami duduk seperti sedang berbaris sepanjang jalan setapak itu.Â
Satu jam lebih kami berada di situ. Air surut sangat lamban. Pemandu meyakinkan kami air akan cepat surut. Menurutnya, banjir ini merupakan tumpahan air dari padang. Ia meyakinkan kami untuk bersabar.
Situasi menyebrangi kali dalam perjalanan pulang dari air terjun Tanggedu (Foto: Primus Metboki)Langit semakin cerah. Cahaya matahari menelisik celah pepohonan dan menembus kali. Perubahan alam ini meyakinkan kami bahwa hujan tak turun lagi. Di seberang kali, kami melihat anak Pak Uron membawa seutas tali nilon.Â
Hati saya semakin yakin, akan lewati juga kali ini. Karel dan pemandu sesekali masuk ke batang kali guna mengecek kedalaman air. Pak Uron meraih tali dari anaknya lalu melilitkannya pada sebatang tiang pagar buatan yang ditancapkan di tepi kali.Â
Ia melembarkan tali itu kepada Karel. Satu per satu kami meyeberangi kali. Kesempatan pertama dilakoni Dewi. Dituntun oleh pemandu, lalu melangkah naik di atas bongkahan batu besar.Â
Satu tantangan lagi. Ia harus melewati celah kali dimana kedalaman air setinggi pinggul orang dewasa. Dewi tampak ragu-ragu. Karel memberikan ujung tali kepada Dewi.Â
Ia sambil memegang tali dan tangan Karel, akhirnya sampai juga tepi tangga alam. Giliran berikut Yati. Yati tampak lebih gugup lagi. Suntikan semangat dari kami, memupuk keberaniannya melewati rintangan ini. Kesempatan ketiga, Kiki.Â
Melihat Yati dan Dewi sudah di seberang, Kiki menyeberangi kali itu dengan yakin. Setelah Kiki, kesempatan saya. Karel memberikan punggungnya. Ia meminta saya memeluk dari belakang sambil memegang tali.Â
Sama seperti kawan-kawan lainnya, tiba juga di seberang dengan selamat. Un dan Primus menyusul. Kami semua senyum sumringah. Kegembiraan memecah belantara sepanjang tepi kali. Tentu saja kami semua happy. Kegelisahan pun sirna.
Perjalanan yang melelahkan dan menentang maut. Tak terbayangkan sebelumnya. Kami berada di tempat yang isolir. Tak terkoneksi jaringan telepon. Kami hilang kontak dengan pak Adelino yang menunggu kami di Waingapu.Â
Dua jam terjebak banjir, kegelisahan pak Adelino menjadi. Ia bahkan berniat hendak menghubungi polisi, katanya saat  kami tiba di hotel. Penyelamatan yang dilakukan pak Uron dan putranya membebaskan kami dari penyanderaan banjir.Â
Seandainya perjalanan ini tak dihantaui banjir, perjuangan saya ke air terjun Tanggedu tak seberapa dengan jejak tualang saya ke air terjun Wallaman (200 meter) di Giringun Park, Queensland, Australia.Â
Saya harus berjibaku dengan medan yang berliku, terjal dan menantang sejauh 2 kilomoter. Dibandingkan dengan air terjun Tanggedu, track tersulit tak sampai 200 meter. Gerimis dan banjir mengubah segalanya. Sukacita perjalanan senyap, diliputi kegelisahan.Â
Perjalanan yang benar-benar melibatkan seluruh perasaan. Kegembiraan, kegelisaan dan selaksa perasaan lainnya menyatu di dalamnya, dalam rangkaian kisah pertualangan kami ke air terjun Tanggedu. Sumba menjanjikan harapan bukan tanpa ujian atau tantangan. "Mata wai amahu pada njara hamu"menggambarkan Sumba tiada duanya di bumi ini. Sumba benar adanya. "Mata air emas, padang pengembalaan kuda terbaik" sebagaimana makna tersirat dan tersurat dari kalimat dalam bahasa setempat di atas.
Really, Sumba is a fantastic and amazing island in the world. Â ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H