Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Asal Omong | Mengganti Yel-yel dengan Tepuk Tangan pada Debat Pilpres

23 Februari 2019   05:40 Diperbarui: 23 Februari 2019   06:07 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Tribunnews.com)

Sejak Pilpres 2014, debat Pilpres paling dinantikan masyarakat Indonesia. Debat menjadi salah satu instrumen untuk menakar demokrasi Indonesia dan menakar kompetensi kepmimpinan calon presiden.

Demokrasi melingkup seluruh aspek. Salah satunya aspek partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat tak hanya diukur saat hari pencoblosan pula dalam proses menuju ke puncak pesta itu sendiri. Masyarakat terlibat aktif dalam seluruh rangkaian pesta demokrasi. Salah satunya, menjadi penononton dan pendukung yang setia pada setiap kali debat digelar.

Antusiasme masyarakat ini memberi warna demokrasi Indonesia semakin berwarna. Pilpres menjadi politik edukasi. Kemudian ini mewabah pula pada debat Pilgub. Debat Pilgub DKI 2017 yang paling fenomenal. Benar-benar dikatakan, debat Pilgub DKI 2017 benar-benar rasa Debat Pilpres. Tak lain karena sosok Ahok kala itu.

Pada Pilpres kali ini, menyisahkan dua debat lagi. Dua debat yang pertama menyisakan sejumlah catatan baik format debat, isi debat maupun penampilan Jokowi dan Prabowo beserta pasangannya.

Pada tulisan kali ini, saya tak akan mengomentari penampilan kedua kubu pada debat tapi lebih menyoal keberadaan penonton kedua kubu pada debat tersebut. Secara jujur, penulis tak sependapat dengan cara-cara pendukung Paslon meneriakan yel-yel dalam ruang debat. Penulis kadang kerap bertanya dalam hati, ini ruang debat atau stadion sepakbola?

Bagi penulis, ruang debat adalah ruang ilmiah. Maka yang hadir adalah orang-orang yang bersikap dan bertindak ilmiah. Apakah  dengan meneriakan yel-yel merupakan sebuah sikap ilmiah?

Karena ruang debat adalah ruang ilmiah, maka seyogyanya suasana harus mendukung suasana ilmiah tersebut. Memang kehadiran pendukung penting, menghadirkan atmosir suasana yang lebih meriah, tapi kadang keberadaannya (sikap dan tindakannya) mempengaruhi suasana yang tak terkendali sekalipun aturan debat diadakan.

Sebagai contoh, padat debat kedua, saat Jokowi cukup lama menyebutkan "lingkungan" sebagai salah satu tema di awal debat, pendukung Prabowo nyaris menghura. Begitu pula saat Prabowo sedang berbicara, kubu pendukung Jokowi "menggeruti" di belakang.

Suara-suara para pendukung menjadi "noise" yang mengubah suasana ruang debat seperti stadion atau gelanggang olahraga.

Suasana pendukung di ruang debat sebenarnya menggambarkan perangai kita yang sesungguhnya.  Sikap yang tak mau sabar mendengar orang lain berbicara. Sikap yang tak menghargai orang lain dan "mendewakan" jagoan masing-masing yang pada akhirnya bikin "noise". Pada akhirnya, kita hanya melihat suasana di ruang debat sebagai ruang kelas anak sekolah. Yang satu berbicara, yang lain menghura.

Para pendukung harus menyadari debat Pilpres adalah ruang edukasi politik. Menampilkan dua sumber utama yang "berdebat". Kesempatan itu pula memungkinkan publik mendengar visi, misi, program dan kegiatan, serta responnya terhadap berbagai persoalan bangsa. Suara-suara "noise" ini dapat mengganggu konsentrasi para kandidat selain para pemirsa dan penonton yang hadir pada debat tersebut.

Situasi ini harus direspon oleh KPU sebagai penyelenggara Pemilu di Indonesia untuk menemukan format debat yang tepat. Format debat yang tak hanya mengatur tentang tata tertib para kandidat dan pendukungnya. Format yang mempertimbangkan apa yang harus dilakukan oleh para pendukung atau studio di penonton agar debat ini berlansung dalam nuansa ilmiah.

Tentu saja debat berbeda dengan kampanye terbuka. Debat menjadi ruang pertanggungjawaban ilmiah para kandidat. Mereka tak sekedar berbicara, tetapi memunculkan data-data yang mendukung pembicaraan. Untuk itu suasana ruang debat pun harus kondusif. Sikap para pendukung pun harus menunjukkan sikap yang ilmiah.

Secara jujur penulis tak sejalan dengan peraturan yang memperbolehkan para pendukung meneriakan yel-yel. Karena cara-cara ini hanya akan mendistorsi pesan yang disampaikan dan mengganggu konsentrasi para kandidat.

Alangkah lebih bagusnya, para penonton debat belajar pada permainan tenis lantai. Pada saat pemain sedang bermain, para penonton dalam keadaan senyap sementara mata terus bergerak seiring pergerakan bola tenis. Saat bola mati, aplaus memecahkan kesunyian. Karena apa? 

Tiba saatnya demokrasi Indonesia semakin matang. Rakyatnya pun semakin dewasa apalagi para pemimpin, legislator dan sebagainya. Hal ini justeru tidak terjadi di ruang debat, di gedung rakyat, di studio TV dan sebagainya. Siapa lebih keras berbicara, dialah penguasanya. Siapa yang lebih banyak berbicara, dialah rajanya. Penguasa dan raja panggung.

Saya membayangkan suasana debat ketiga lebih menarik. Para penonton lebih tertib. Tak lagi memotong pembicaraan kandidat yang bukan jagoannya. Bukan lagi teriak yel-yel seperti di ajang sepakbola. Karena setiap kata dan gestur lawan adalah pesan. Pesan itu tersampaikan dan maknanya membekas apabila suasana ruang debat pun mendukungnnya. 

Alangkah indahnya jika yel-yel diganti dengan tepukan tangan pada setiap akhir para kandidat berbicara. Saya percaya cara ini demokrasi akan lebih bermartabat. Karena demokrasi adalah sikap saling menghargai dan mengapresiasi satu sama lain selain mendapatkan pendidikan politik. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun