Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Hoaks Menjamur di Indonesia?

5 Februari 2019   08:55 Diperbarui: 5 Februari 2019   09:47 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.franchiseindia.com

Hoaks atau berita bohong menjadi konsumsi yang super lezat belakangan ini. Di negeri tercinta ini. Hoaks menjadi menu olahan yang menggoda lidah masyarakat untuk mengecapnya. Sementara pribadi dan kelompok pencipta hoaks pandai menciptakan menu-menu hoaks baru yang siap disaji. Lantas hoaks ini menjadi hidangan super lezat yang begitu mudahnya disantap oleh rakyat jelata juga kaum terdidik, politisi, hingga tokoh negara.

Salah satu hoaks terbesar yang memakan korban adalah kisah "oplas" Ratna Sarumpaet. Indonesia digegerkan dengan kebohongan di balik lebam wajahnya. Membungkusnya secara rapih kejadian yang sesungguhnya, lalu mereka melemparkan tuduhan sebagai sang teraniaya. 

Berbagai opini dibangun untuk menarik simpatik publik. Saat itu, hampir semua orang mengutuk tindakan pelaku tindakan kekerasan. Sedikit yang menaruh curiga di balik drama seniman teater ini, ada peristiwa ini by design.

Kebenaran terungkap. Pihak-pihak yang menaruh simpatik. Melakukan press conference segala mengaku dikorbankan dan dibohongi oleh Sarumpaet.  Bila merunut jalan ceritanya, kasus Ratna Sarumpaet merupakan berita yang menguras energi tak habis pikirnya begitu banyak cendekiawan sekelas Amiens Rais, Fadli Zon, Fahri Hamsah hingga  Prabowo Subianto bisa termakan hoaks.

Hoaks bukan hal baru di dalam kehidupan masyarakat. Tapi belakangan ini hoaks menjadi trending topic sejak konstelasi politik beberapa dekade terakhir. 

Dalam masyarakat lokal, Manggarai misalnya, hoaks dikenal secara "sipit-sipit" atau lebih kurang disebut dengan joak. Cerita yang melebih-lebihkan tanpa ada unsur kebenaran atau mengarang cerita semau bebas pencerita atau penutur. Orang yang berbicara  joak tak sampai membuat tipuan massal. Tak ada joak yang sampai menyulut emosi masyarakat -- sebatas dua atau tiga orang yang mendengar ceritanya. 

Di Indonesia, hoaks menjadi propaganda politik. Dari hari ke hari hoaks terus diciptakan. Meme-meme dibuat. Tulisan-tulisan dibuat. Drama-drama diciptakan dan difilmkan kemudian disebarkan. Demi hasrat politik dan kekuasaan, konten-konten yang dibuat "dipaksakan" untuk memenuhi tuntutan kelompok tertentu. Video diedit. Tulisan dikutip sebagian. Banyak macam cara dilakukan. Hoaks menjadi progranda politik yang murah meriah dan  disebarkan secara masif pula melalui media sosial.

Mengapa hoaks menjadi sarana yang rentan progranda politik? Para pencipta hoaks dan pendukung dibalik kepentingan hoaks itu diciptakan sadar bahwa mayoritas masyarakat Indonesia rentan dipecah-belah oleh informasi sesat. Mereka tahu mayoritas masyarakat Indonesia mudah diprovokasi. Mengapa masyarakat Indonesia rentan terhadap serangan hoaks?  Di sini, penulis melihat ada 3 titik lemah di masyarakat itu sendiri.

1# Budaya literasi di Indonesia lemah

Persepsi penulis, literasi itu mencakup semua aspek; membaca (reading), menulis (writing), mendengar (listening) dan berbicara (speaking). Literasi tak hanya merujuk pada aktivitas membaca. Memang tak salah juga. Karena membaca itu menjadi akar dari semua aspek yang disebutkan di atas.

Dengan orang membaca, ia belajar menulis, membiasakan diri mendengar dan melatih diri berbicara. Jadi, membaca merupakan skill yang komplit. Sekali mendayung, 2-3 aspek terlampaui.

Lalu bagaimana budaya membaca di Indonesia? Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani dalam Kompas.com (26/03/2018) mengemukan rata-rata orang Indonesia  membaca buku per minggu sebanyak 3-4 kali. Durasi waktu membaca per hari rata-rata 30-59 menit. Sedangkan, jumlah buku yang ditamatkan per tahun rata-rata hanya 5-9 buku.

Najwa Shihab (Tirto.id, 11/07/2018) mengatakan menurut studi Most Littered Nation In the World pada tahun 2016 minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah bila dibandingkan dengan negara lain di dunia. Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Mendekati juru kunci, khan?

Bahayanya, negara yang minat baca masyarakatnya rendah rentan terhadap hoaks atau kabar bohong.  Hal yang itulah yang terjadi di Indonesia. Masyarakat lebih cepat percaya berita-berita di dunia maya dan berbagai status di media sosial tanpa upaya mengkonfirmasi atau menelusuri informasi lebih dalam. Ya, itu tadi. Masyarakat lebih suka membaca berita-berita instan yang dibuat oleh orang-orang tak bertanggungjawab. Karena masyarakat tidak memiliki budaya membaca yang benar.

2# Masyarakat malas berpikir yang ribet sehingga telan informasi  bulat-bulat

Rendahnya budaya membaca berpengaruh langsung pada pada kapasitas pengetahuan seseorang. Orang akan berpikir sempit dengan satu sudut pandang sendiri dan cenderung berprasangka negatif serta mudah terbawa arus. Padahal dengan membaca, seseorang dapat memperoleh beragam pengetahuan dan melihat sesuatu obyek atau peristiwa dengan banyak sudut pandang. Tak semata-mata karena unsur fanatisme tertentu. Membaca dapat membuka wawasan kita.

Kebiasaan buruk ini menyebakan masyarakat mudah menerima informasi secara bulat. Mereka tak mencari informasi serupa dari sumber yang berbeda sebagai pembandingnya. Karena kebenaran sebuah informasi itu tak mutlak. Kita harus mencari pembanding dari sumber yang lain. Masyarakat mencari informasi pembanding saja malas, apalagi berpikir secara logis akan kebenaran informasi yang diterimanya.

3# Membaca itu berfilsafat

Taruhlah masyarakat Indonesia memiliki minat baca, seberapapun minat baca itu. Membaca itu sama artinya berfilsafat.  

Membaca tak hanya melafakan  kata per kata. Melumat kalimat per kalimat. Membaca itu menyangkut keseluruhan kata, kalimat dan paragraf serta konteks dari bacaan tersebut -- bahkan di luar konteks. Membaca harus mempertajamkan dengan pertanyaan-pertanyaan. Jadilah 'filsuf' yang menggugat eksistensi atau keberadaan hakekat atau ide dalam tulisan.

Seorang pembaca harus menjadi opisi dalam tulisan (penulis). Tak begitu saja mengiyakan atau sependapat dengan  penulis. Pembaca harus menjadi pemberontak terhadap isi tulisan dan mengadilinya dengan pisau bedah nalar atau logika berpikir yang benar. Nalar pembaca harus aktif menggugat setiap tulisan selum dicerna dan diendapkan di dasar pikiran apalagi diambil menjadi sebuah sikap tindakan. 

Nah, itu tak ada dalam diri pembaca di Indonesia pada umumnya saat ini.

Melawan hoaks, ya dengan cara banyak  membaca. Karena penyebaran hoaks melalui tulisan, gambar dan video serta mulutgram. Semakin seringnya membaca, semakin mendorong orang berpikir kritis dalam mencermati setiap peristiwa. Hanya dengan membaca, pisau bedah nalar seseorang terus diasah. Karena itu jangan membiarkan pisau itu tumpul karena kemalasan  dan sikap apatis terhadap setiap peristiwa.

Seperti penulis singgung pada poin pertama, membaca itu mencakup semua aspek ataa skills -- menulis, mendengar dan berbicara. Bila anda sudah membaca, waktunya anda menulis sesuatu dari apa yang didengarkan, dibaca dan dipercakapkan. 

Karena untuk menangkal hoaks dengan  membaca saja tak cukup. Harus ada aksi yang lebih aktif dan masif melalui menulis dan berbicara (memberikan kesaksian) untuk  menangkal hoaks yang bergentayangan di jagad Indonesia ini. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun