Saya tak pernah belajar khusus tentang filsafat. Kalaupun saya tahu tentang filsafat, itu pun hal yang remeh temeh saja.
Seorang sahabat mengingatkan saya untuk menulis bidang yang spesifik -- supaya menjadi ahli pada bidang tertentu. Lanjut, kata sahabat, menulis semua hal itu pekerjaan wartawan. Mereka tahu banyak hal, tapi tak mendalam.
Lalu, ia menyarankan saya harus belajar filsafat (membaca buku-buku filsafat). Saya pun diam-diam mengumpulkan berbagai buku filsafat. Saya melahapnya meskipun kepala sedikit puyeng. Itu pun baru satu buku yang dibaca -- separuh saja yang dikuliti isinya.
Dari pengetahuan filsafat yang masih sekuku hitam ini, lantas saya membuat kesimpulan sepihak. Filsafat itu tak jauh dari kehidupan manusia itu sendiri. Apapun  aktivitas manusia yang melibatkan pikiran sesungguhnya manusia sedang berfilsafat. Membaca pun berfilsafat.
Persis dikatakan sahabat saya, "Abang, kalau mau menulis harus didahului dengan pertanyaan?" Tanpa dijelaskan maksudnya, lagi, saya mengambil konklusi sepihak. Kalimat tanya itu menjadi "pisau bedah" obyek yang dipelajari untuk menemukan jawaban.
Bertanya itu melekat dalam hakikat manusia. Pada dasarnya manusia adalah makluk "bertanya" karena miliki akal. Bertanya, artinya berfilsafat. Â Bertanya adalah permulaan berfilsafat.
Ketika seseorang mengamati sesuatu tanpa 'bertanya", ia belum dikatakan berfilsafat. Tapi, pertanyaan itu muncul setelah seseorang melihat sesuatu atau obyek. Ia mengamati 'permukaan' obyek atau sesuatu itu. Lalu, ia mengurainya dengan pertanyaan demi pertanyaan tentang hakikat obyek tersebut. Setiap pertanyaan terjawab melahirkan pertanyaan berikut. Begitu pun seterusnya.
Maka ketika Rocky Gerung mengatakan Kitab Suci "fiksi" -- menurut saya - itu permulaan berfilsafat. Bisa pula pernyataan itu merupakan kesimpulan akhir penjelajahannya di ruang filsafat sebelumnya.
Rocky Gerung ibarat anak-anak yang baru belajar filsafat. Baru latih bermain kata-kata (semiotik), logika dan menggunakan daya kritis terhadap dogma dan tradisi, terutama Kitab Suci diyakini kebenarannya sebagai Wahyu Allah selama berabad-abad.
Dan, Rocky Gerung bukanlah satu-satunya orang yang pernah belajar filsafat. Banyak orang di Indonesia yang lebih hebat daripadanya -- apalagi membandingkan dengan tokoh filsuf dunia. Mereka-mereka itu layak disebut sebagai filsuf.
Penulis pun tak pantas menyebut dirinya 'filsuf'. Lebih tepat Gerung hanya seorang yang sedang belajar filsafat seperti kebanyakan anak-anak yang baru naik badan belajar filsafat di tahun-tahun pertama. Tahu sedikit ilmu filsafat lalu mulai pamer. Ia bermain logika dan mempermainkan logika masyarakat.
Seorang filsuf berpegang teguh pada prinsip atau dalil yang diyakini sebagai kebenaran. Mereka arif dalam menilai atau menimang sesuatu. Idenpendensi filsuf tegas. Tak abu-abu. Bebas dari segala kepentingan. Apakah Rocky Gerung demikian?
Rocky Gerung terbalik. Ia mendadak keluar dari dirinya yang sesungguhnya. Tampil sebagai 'filsuf' dari ruang debat yang satu ke ruang debat yang lain. Dari televisi yang satu ke televisi yang lain. Dan, ia selalu menggunakan pendekatan logika terbalik. Di matanya, apa yang dilihatnya adalah salah dan tetap salah. Menjustifikasi dirinya sebagai yang paling benar. Jika dia salah, ia akan berusaha mencari pembenaran diri. Sikap dan pernyataannya selalu berpihak pada kelompok yang lain.
Memang tak terbantahkan. Filsafat sebagai induk segala ilmu pengetahuan. Jika ilmu pengetahuan menelusuri sebatas isinya, maka filsafat lebih dalam dari itu, yaitu hakikat dari isi pengetahuan itu. Mungkin karena itu yang menyebabkan Gerung pongah. Merasa diri sebagai pakar dari ilmu yang menjadi ibu dari ilmu yang lain  - yang hadir di ruang-ruang debat atau televisi.
Secara pribadi, penulis tak mempersoalkan pernyataannya tentang "kitab suci itu fiksi" --jika itu dalam ranah "berfilsafat". Yang dipersoalkan penulis adalah waktu dan tempat pernyataan itu dikemukan. Ia menyampaikan pernyataan itu di ruang publik. Dimana tak semua masyarakat (pendengar) memahami esensi filsafat apalagi berfilsafat. Selain itu, waktunya dalam situasi atau konteks politik yang memanas. Jika itu dilakukannya dalam ruang debat atau diskusi ilmiah, pernyataan Rocky Gerung dapat ditolerir.
Saya kira pertanyaan atau pernyataan "nyeleneh" tentang kebenaran Kitab Suci bukan hal baru di lingkungan akademis. Di lingkungan seminari-seminari tinggi mungkin diperdebatkan dalam ranah "berfilsafat" -- bukan ranah "bersilat lidah" seperti yang dilakukan Rocky Gerung ini. Bukan juga jadi alat sarana pembelaan diri setelah berjalan dalam kesesatan. Di atas segala-galanya, "berfilsafat" dalam upaya untuk mencapai sebuah kebenaran hakiki. Bukan pembenaran diri!
Bagi penulis, Rocky Gerung belum tuntas belajar filsafat sekalipun ia menjustifikasi diri sebagai seorang filsuf. Dan, ia mestinya "berteologi" sebelum mengeluarkan pernyataan Kitab Suci sebagai buku fiksi.
Apapun dalil yang dikemukan untuk memperkokoh tesisnya, tak cukup dengan sudut pandang filsafat yang hanya bermain dengan nalar. Lebih jauh, ia menemukan dalil-dalil lain diluar filsafat untuk membuktikan kebenaran yang sesungguhnya, yaitu dengan iman.
Makanya saya lebih percaya Thomas Aquinas dan tokoh filsafat lainnya daripada Rocky Gerung yang ilmu filsafatnya belum penuh. Bukan maksud meremehkannya. Dasar saya, berbicara Kitab Suci itu tak cukup dengan berfilsafat.
Tak heran  bila ia menyebut diri sebagai ateis yang ber-KTP "Katolik", karena memang ia belum menemukan hakikat dirinya -- dimana posisi dia harus berada. Menjadi pribadi yang tak seimbang dan corong kubu yang saling berseberangan.Â
Satu kalimat untuk Rocky Gerung, sebelum mengatakan Kitab Suci fiksi atau bukan hendaknya berteologilah dengan pisau beda filsafatmu itu. Di situlah, Anda akan menemukan hakikat buku yang dijustifikasi sebagai  "buku fiksi" itu. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H