Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Stigmatisasi

24 Juni 2018   05:00 Diperbarui: 24 Juni 2018   06:56 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (www.iboostimmunity.com)

Judul di atas untuk merespon situasi politik di tanah air. Entah itu Pilpres, Pileg, Pilgub atau Pilkada. Orang perorangan atau kelompok masyarakat menciptakan stigma. Lalu mereka menyemat stigma yang diciptakan kepada lawan politik. Stigma kemudian menjelma menjadi komoditas politik yang laris-manis pada setiap perhelatan politik di tanah air.

Stigma adalah ciri negatif yang melekat pada pribadi seseorang. Biasanya stigma itu tercipta karena pengaruh eksternal atau lingkungan. Kemudian stigma itu digunakan sebagai strategi untuk menjatuhkan lawan. 

Sebagai contoh pada Pilkada Nagekeo, Provinsi Nusa Tenggara Timur, kelompok yang kontra pemekaran kabupaten Nagekeo dijadikan stigma politik untuk membungkam kandidat tertentu pada setiap musim Pilkada. Stigma itu terus dirawat. Menjadi propaganda politik, strategi kampanye dan pelabelan negatif terhadap kubu tertentu.

Stigma itu akan dihembuskan pada setiap musim Pilkada, Pilgub, Pilpres dan Pileg datang. Hembusan stigma kian kencang. Bertebaran tutur kata tertulis yang memprihatinkan. Mengabaikan etika yang dijunjung tinggi. Satu sisi mulut berbusa berbicara dan mengklaim sebagai masyarakat yang berbudaya, di sisi lain, bertindak kontraproduktif dengan apa yang diyakini.

Stigma akan hilang diterpa angin seiring berakhirnya Pilkada atau perhelatan politik lainnya. Tapi musim Pilkad/Pilgub, Pilpres dan Pileg tiba, stigma itu mencuat lagi di permukaan. Itulah fakta. Ketika masyarakat kehilangan ide atau gagasan cerdas berkampanye.

Dalam negara demokrasi, perbedaan pendapat itu wajar saja. Dalam konteks Nagekeo, sebuah wilayah yang berada dalam negara demokrasi ini, perbedaan pendapat soal pemekaran itu wajar pula. Esensi perbedaan itu harus ditelusuri. Apa sebab pendapat itu dikemukan? Dan, apa yang dilakukan jika sikap penolakan itu yang diambil. Setiap kubu memiliki argumentasi - bermuara pada tujuan baik.

Seperti tersebar di media sosial, facebook, tersebar postingan surat pernyataan kelompok yang menolak pemekaran kabupaten Nagekeo satu dekade yang lalu. Di dalamnya, terdapat anggota keluarga Dokter Don, salah satu anggota Cabup yang sedang bertarung pada Pilkada Nagekeo. 

Sementara yang bersangkutan tak masuk dalam kelompok yang menolak, dimana di dalamnya terdapat ayahnya dan saudaranya. Apakah dengan masuk ayahnya dan saudaranya dalam kelompok yang menolak pemekaran sama artinya bahwa semua anggota keluarga ikut menolak?

Tentu tidak! Namun, orang selalu memiliki cara untuk memanfaatkannya untuk kepentingan politiknya. Mengeneralisasikan pelaku. Pada setiap sikap politik seseorang tak ada hubungan dengan pilihan pertalian darah. Dalam sebuah keluarga bisa saja berbeda sikap dan pendapat. Perbedaan pendapat atau sikap politik bukan sebuah gen yang diturunkan kepada yang lain.

Taruhlah, dalam konteks nasional, tak semua keluarga Bung Karno, anak-anak dan cucu-cecenya, bergabung dalam satu partai - meskipun mayoritas mereka berada di kubu PDIP. Masih ada anaknya yang berbeda sikap politiknya dan bahkan ada yang tidak berpolitik. 

Sebenarnya ini soal pilihan ideologi, sikap politik dan interest. Tentang pemekaran bukanlah sebuah perbedaan pilihan ideologi. Lebih kepada soal kerangka bangun argumentasi. Maka tak benar pula jika orang-orang menjadikan itu sebagai stigma untuk menolak paket tertentu yang memiliki hubungan kekeberatan dengan orang atau kelompok yang menolak.

Fakta di Indonesia. Stigma politik tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Di level nasional pun, stigma politik itu terus diciptakan. Jokowi misalnya, ia terus disematkan dengan stigma kodok, antek Cina, kecebong, presiden pencitraan dan sebagainya. Faktanya lain dengan apa yang di-stigma-kan.

Berhentilah menciptakan stigma kepada kelompok atau perorangan yang berbeda pandangan politik. Belajarlah dari Ahok. Ucapan yang yang sangat menohok nurani politik kita, "Politik itu harus MENGEDUKASI." Berpolitiklah yang rasional.

Politik bukan sekedar siapa menundukkan siapa. Bukan soal atau kalah menang dalam pertarungan. Politik itu harus mampu mencerdaskan bangsa. Merubah cara pandang orang. Soal perbedaan pilihan itu ada alasan atau pertimbangan yang mendasarinya. Bukan sebaliknya. Politik sebagai alat yang menyesatkan masyarakat. Politik bukan menciptakan stigma untuk melumpuhkan lawan. Politik tak identik dengan perbuatan dan tindakan licik. Politik tak identik dengan penyebaran hoax. Politik adalah sebuah peradaban yang meliputi tutur kata dan tindakan kita.

Karena  politik harus MENGEDUKASI, maka sebagai warga negara yang memiliki hak politik, penulis wajib meluruskan hal ini. Tak ada hubungan dengan soal sikap dukung mendukung. Ini adalah bagian cara kita untuk membenamkan suasana politik yang cenderung bernuansa negatif - persaingan tidak sehat yang didaur ulang setiap tahun politik. 

Mengedapankan tujuan sesaat. Ahok pernah mengingatkan Anies Baswedan dalam debat, dalam bahasa penulis, kepada lawan politiknya, "Jangan hanya demi jadi Gubernur DKI, kita berani menjanjikan program yang irasional." Toh, meskipun pada akhirnya, ia pun jatuhkan karena stigma "penista agama" yang disematkan padanya.

Politik tak sekedar rasa. Suka atau tidak suka. Politik itu harus rasional. Politik itu ungkapan nurani yang terkristalisai dalam sikap, perbuatan dan kata. Menebarkan kebaikan untuk masyarakat. Sekaligus mendidik masyarakat berpolitik secara cerdas dengan mengedapankan etika dan sopan santun yang merupakan nilai-nilai yang diwarisi leluhur.

Sekali lagi, stigma politik dapat menjadi bahaya laten. Bukan tak mungkin sematan stigma itu akan diturunkan terus menerus dari generasi ke generasi yang lain. Padahal generasi sesudahnya tak tahu apa-apa tentang sematan itu. Sepertinya hanya kita menyematkan stigma pada anggota keluarga PKI sebagai pengkianat bangsa. Sangat tidak fair bila kita meletakan sematan tersebut sementara mereka bukan pelakunya. Apakah "dosa politik" diwariskan seperti gen yang mengalir dalam diri kita? Tentu, tidak, khan?

Marilah menjadi pelaku politik yang baik. Pelaku politik yang rasional. Pelaku politik yang tak mencederai orang lain dengan berbagai stigma. Pelaku politik yang menebarkan misi KEBAIKAN untuk semua orang. Ingat, stigma itu pembunuh karakter yang berdarah dingin yang dapat mematikan sel optimisime anak bangsa.

Stigma politik itu hantu bangsa. Menyebabkan bangsa terpecah belah. Kita sibuk berdebat soal siapa yang benar lalu lupa membangun bangsa (daerah). Soal perbedaan pilihan politik itu wajar, tapi POLITIK STIGMATISASI (berpolitik dengan membangun stigma) itu MENYESATKAN. *** (gbm)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun