Liburan Idul Fitri saya kali ini merupakan sesuatu banget. Tiga hari, tiga destinasi dijelajahi sebelum berakhir di kampung halaman. Saya menyebut sesuatu banget karena pertualangan ini muncul secara spontan. Tanpa rencana matang sebelumnya. Sementara saya sendiri memiliki agenda lain untuk mengisi liburan yang kemudian tak dapat dieksekusi. Mengesankan!
Kisah-kisah perjalanan saya sudah ditulis di media ini. Perjalanan saya ke Pulau Semau yang mendebarkan hingga akhirnya jatuh cinta dengan pesona Pantai Liman. (Baca : Ketika Aku Jatuh Cinta Dengan Sang Bidadari dari Pulau Semau). Benar-benar pengalaman yang luar biasa. Melewati lorong medan nan berat di tengah malam yang pekat. Tanpa disadari perahu motor memulangkan kami ke Tenau Kupang. (Baca: Terobos Lorong Malam, Sisir Selatan dan Barat Pulau Semau hingga Terjang Gelombang Teluk Kupang).
![Tampak depan Kemah Tabor Mataloko, Flores, NTT (Foto: Dok. Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/23/img-7554-jpg-5b2dd562ab12ae146f3e7f34.jpg?t=o&v=770)
Tak puas di air mata Baun, kami beralih ke spot wisata kuliner yakni se'i Baun yang terkenal itu. (Baca: Se'i yang Manjakan Lidah, Istana Raja Amarasi dan Pohon-pohon Raksasa yang Merayu Mata). Atau, pantai eksotik yang tersembunyi di dalam cekungan teluk yang lebar. (Baca: Tepian Surga yang Tersembunyi di Desa Erbaun).
Satu tulisan yang masih tersisa adalah perjalanan saya ke Fatuleu. Batu-raksasa-raksasa di Kabupaten Kupang. Tantangan di sini, anda harus melewati ratusan anak tangga dan kemudian melewati bongkah-bongkahan batu besar menuju puncak. Nantikan kisah ini pada kesempatan lain. He he he ...
Seperti saya singgung di awal, saya menutup liburan di kampung halaman. Ini juga tak direncanakan. Serba mendadak. Karena urusan penting. Saya naik Trans Nusa. Turun di Bandara Soa (Baca: Bajawa). Saya terlalu membuang banyak waktu di bandara. Penumpang lain mungkin sudah sampai tujuan, saya baru start menuju kota Bajawa. Setiba di kota, saya mampir di cafe langganan, Credo Caf. Tentang caf ini akan saya tuliskan khusus.
![Frater Apris SVD di salah satu sisi Kemah Tabor Mataloko, Flores, NTT (Foto: Dok. Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/23/img-7558-jpg-5b2dd75ff1334460037c93a2.jpg?t=o&v=770)
Maka saya menumpang ojek ke Terminal Watujaji. Hanya sebuah travel Ende parkir di tepi jalan dekat terminal. Sopir menawarkan jasa. Saya beritahu tujuan Mauponggo. Sopir pun diam. Ia menawarkan saya duduk di bangku depan kios. Katanya, angkutan ke Mauponggo sudah berangkat. Saya tetap pasrah menunggu.
Sepupu saya telepon bahwa mereka sedang menuju Mataloko. Kami janjian ketemu di sana. Nah, bagaimana cara kesana? Sebuah angkutan lewat Mataloko. Saya menghentikan kendaraan tersebut. Saat saya mau masuk angkutan, saya lihat ada ruang untuk satu orang. Space tersebut ada di belakang. Saya menyampaikan kesulitan saya  berjalan ke belakang kepada penumpang tapi reaksi  mereka diam saja. Mereka tak mau sorong -- istilah orang Flores untuk kata geser.  He he he.
Mayoritas penumpang adalah kaum hawa. Seorang pria tua duduk dekat pintu. Lainnya kernek atau konjak (istilah orang Flores). Saya putuskan duduk di dek angkutan di pintu masuk. Â Pria yang duduk dekat pintu tak bereaksi. Saya hanya dengar kasak-kusuk ibu-ibu. Mereka bilang kasihan dalam bahasa setempat. Pria itu sesekali bicara.
Saya sempat membathin, "Akh, bapak ini sulit sekali geser posisi duduknya."
![Suasana sore hari di halaman Kapela Seminar Mataloko, Flores, NTT (Foto: Dok. Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/23/img-7620-jpg-5b2dd81acf01b425d1730882.jpg?t=o&v=770)
Kadang kala kita terlalu cepat memvonis orang lain dengan RASA dan PIKIRAN kita sendiri tanpa melihat FAKTA orang tersebut seperti apa.
"Maafkan Bapak, saya tak tahu dengan apa yang terjadi pada bapak. Kini, aku paham mengapa bapak tak memberi tempat untuk saya." Saya membathin.
Sopir tarik gas. Saya beritahu sopir turun di Mataloko tanpa menyebutkan tempat secara spesifik seperti seminari atau pasar. Sebelum Seminari Mataloko, angkutan ini belok kanan menuju Were, Doka, dan entah kampung apa lagi. Saya tak terlalu kuasai.
"Nanti turun dimana?" Tanya sopir.
"Seminari."
"Kalau tadi diberitahu, saya antar dulu pak ke seminari."
"Tak apa-apa, Pak. Toh, saya akan tiba juga."
Saya turun di depan gerbang seminari atau tepat di depan gerbang masuk Kemah Tabor yang berada di seberang. Seminari adalah lembaga pendidikan calon imam Katolik tingkat menengah sebelum mreka melanjutkan pendidikan ke seminari tinggi -- belajar filsafat dan teologi. Belakangan ini kompleks ini menjadi salah satu destinasi wisata. Viral di media sosial. Dulu orang melihat seminari atau Kemah Tabor biasa-biasa. Media sosial mengubah segala-galanya. Ada saja sesuatu yang unik di mata netizen. Tempat ini menjadi spot wisata yang instragramable. Tak heran, banyak kendaraan yang berhenti  sekedar berfoto sebelum melanjutkan perjalanan.
![Pelataran Kapela Seminari St. Yohanes Berechmans Mataloko, Flores, NTT (Foto: Dok. Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/23/img-7446-jpg-5b2dd9835e1373432768d712.jpg?t=o&v=770)
Memang berbicara Kemah Tabor tak terpisahkan dengan Seminari Mataloko itu sendiri. Tanpa seminari tak akan ada Kemah Tabor. Tak serta merta sebaliknya. Tanpa Kemah Tabor tak akan ada seminari. Tidak! Kemah Tabor itu sendiri bagian dari grand design seminari itu sendiri. Ketika berada di tempat ini, pikiran saya berjalan ke beberapa dekade lampau. Awal dan sesudah tempat ini dipilih sebagai kompleks 'pembibitan' panggilan -- para imam Katolik. Para misionaris yang merintis dan mendirikan tempat ini. Tak terbayangkan betapa sulitnya saat itu. Tak terbayangkan pula betapa brilian gagasan ini. Pernahkah mereka membayangkan tempat ini menjadi spot yang instagramable? Entahlah! Yang pasti mereka selalu berpikir seribu tahun ke depan.
![Gua Maria di Kapela Seminari Mataloko, Flores, NTT (Foto: Dok. Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/23/img-7636-jpg-5b2dd6faab12ae0f7538ec54.jpg?t=o&v=770)
![Papan nama Kemah Tabor Mataloko, Flores, NTT (Foto: Dok. Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/23/img-7473-jpg-5b2dd796ab12ae1c6c619472.jpg?t=o&v=770)
Konon, diceritakan, Bruder Ottmar menyulap lapangan seminari dengan trik khusus untuk menghasilkan lapangan yang berkualitas. Lapangan dilapisi ijuk. Bayangkan seperti apa permukaan lapangan. Lapangan akan lebih lentur dan empuk serta pantulan bola lebih memanjakan kaki pemain. Sehingga tak heran dari seminari ini, selain menghasilkan bibit imam juga pemain muda berbakat.
Tentu Bruder Ottmar tak terlibat jauh dalam pola pembinaan sepak bola di seminari, di luar itu ia memiliki klub sendiri yang beranggotakan karyawan seminari. Pada jaman itu, klub tersebut dikenal dengan nama "PS Tanjung". Klub ini sangat terkenal dan menyuplai pemain-pemain Garuda Ngada atau PSN Ngada yang merajai sepak bola di NTT. Hal ini tak lepas dari peran Bruder yang tegas dan disiplin ini.
Bekerja dan ber-sepakbola adalah filosofi yang dibangun oleh Bruder Ottmar. Di satu sisi, mereka adalah pekerja seminari, di lain sisi mereka adalah pemain sepakbola. Bruder sangat memperhatikan gizi pemain. Tak heran  pemain jebolan Tanjung bertubuh gempal dan bertenaga. PS Tanjung menjadi klub yang disegani di Ngada. Pengaruh Bruder Ottmar menginspirasi pembinaan sepakbola di seminari.
Dari Mataloko, lahan misi baru dibuka di Patiahu. Bruder Ottmar membawa serta karyawan yang mayoritas adalah pemain sepakbola. Sehingga Patiahu memiliki klub sepakbola sendiri dan selalu mewakili Kecamatan Talibura dalam turnamen antar kecamatan sekabupaten Sikka. Bagi para pemain Patiahu, kalah atau menang, kehidupan makan minum mereka tetap terjamin. Karena di sana, selain melakukan pekerjaan pertanian merangkap pula pekerjaan peternakan sapi dan ayam yang menjadi sumber gizi mereka.
![Penulis berpose di halaman Kemah Tabor Mataloko, Flores, NTT (Foto: Dok. Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/23/img-7534-jpg-5b2dd96ccf01b425c469ac82.jpg?t=o&v=770)
Lagi, ketika berada di Kemah Tabor, saya ingat dengan cerita abang Deny, senior asal Ende, pada masa kuliah di Yogya dulu. Ia menceritakan bagaimana orang tua dan anak-anaknya berbeda pendapat soal dukungan tim  piala dunia. Terutama orang tua yang bekerja di misi seperti seminari atau keuskupan.
Di Ende misalnya, bapak dan anak sering bertengkar  setiap perhelatan piala dunia. Orang tua akan marah bila ketahui anak tak mendukung Jerman atau Belanda. Sementara anak-anaknya lebih memilih mendukung Brasil atau Argentina. Bagi orang tua, Jerman atau Belanda adalah harga mati. Alasan mereka, Jerman atau Belanda yang menghidupkan mereka dan keluarganya.
Represtansi Jerman dan Belanda adalah para  misionaris tersebut. Misionaris yang berkarya di Flores umumnya berasal di Belanda Jerman. Mereka mendapat upah dari para misionaris, sama artinya Jerman atau Belanda yang menafkahi keluarga. He he he ...
![Penunjuk arah di kompleks Kemah Tabor Mataloko, Flores, NTT (Foto: Dok. Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/23/img-7517-jpg-5b2ddac75e137343e4205f83.jpg?t=o&v=770)
Kita mungkin perlu terlalu jauh ke La Masia atau akademik sepakbola lainnya di Eropa, tapi dengan 'berguru' pada Bruder Ottmar niscaya sepakbola di NTT akan berjalan. Bisa jadi, NTT akan memberikan kontribusi pemain yang berlaga pada Piala Dunia kelak. Kedengarnya mustahil, tapi segala sesuatu yang besar berawal dari mimpi. Mari kita bermimpi!
Setelah foto-foto di Kemah Tabor. Saya lihat wisatawan berdatangan. Saya kembali ke semenari menemui om saya. Sesekali saya keluar-masuk kamar dan berdiri di depan kapela. Pengunjung keluar masuk pelatan seminari.Beberapa dengan  langkah takut-takut. Saya menyapa dan mengijinkan mereka untuk foto dengan latar kapela. Tak lupa saya 'menyajikan' wajah kalem bak seorang imam yang bertugas di seminari. He he he...Tak tahunya, saya sama seperti mereka. Ya, sesekali penting mengibuli orang lain. He he he...*** (gbm)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI