Mengisi liburan Idul Fitri, saya dan Bruno, seorang sahabat, berencana tapeleuk ke Se'i Baun. Se'i Baun adalah satu-satunya obyek wisata kuliner di Baun. Di sinilah cikal bakal kuliner khas Kupang yang sangat terkenal itu. Tentang se'i Baun akan diceritakan pada bagian lain.
Malam sebelum berangkat ke Baun, Bruno tiba-tiba berubah pikiran. Ia mengirimkan pesan melalui Whatsapp. Menawarkan pengalihan destinasi. Dari Baun ke Pulau Semau. Wah, saya tentunya sepakat.
Semau, sebuah pulau yang terletak tak jauh dari Kota Kupang. Dekat di mata, tapi jauh di hati. Tak jauh dari pelupuk mata, tapi rasa di hati jaraknya jauh sekali. Belum kesampaian memijak kaki di sana hingga detik ini. Tawaran Bruno membangunkan mimpi lama yang nyaris sirna dari benak. Berkelana di Semau. Mencumbui lekak-lekuk pantai nan eksotis. Panorama Semau yang hanya disaksikan melalui jendela pesawat. Saya hanya mampu melumat bibir lekak-lekuk Semau dengan mata dari udara.
![Berpose dengan wisatawan dari Kupang di Bukit Liman](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/15/img-4835-a-jpg-5b230582caf7db1b7d5752c2.jpg?t=o&v=770)
Rencana yang baik, hasil pun pasti baik. Tapi kadang kala perencanaan yang matang, belum tentu terlaksana. Terlalu mempertimbangkan banyak aspek. Saking banyak pertimbangan, apa yang direncanakan batal dilaksanakan.
Makanya, kadang-kadang, saya lebih suka sesuatu yang dadakan. Perjalanan kami ke Pulau Semau adalah rencana yang tak terpikir sebelumnya. Terjadi begitu saja. Saat pesona Pulau Semau melintas di benak Bruno, keinginannya pun datang. Pulau yang berasa kampung sendiri. Di mana ia memulai karirnya sebagai seorang ASN. Dan, tentu saja, sesuatu yang serba dadakan biasanya terselip seni dan tantangan tersendiri.
![Sunset di Pantai Liman, Pulau Semau, NTT](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/15/img-5301-a-jpg-5b23063b16835f4545126673.jpg?t=o&v=770)
Sauh perahu motor ditarik. Sesaat lagi kapal motor berangkat. Perahu berukuran kecil ini terisi penuh dengan penumpang. Pula motor-motor milik penumpang berjejer rapih. Saya dan Bruno memilih untuk duduk di dek atas yang terbuka. Sehingga kami bisa memantau pemandangan dengan leluasa.
Perahu motor melaju dengan anggun kala dipermainkan gelombang laut yang ramah. Terasa begitu cepat, sekitar 30 menit, perahu motor bersandar di pelabuhan ferry, daerah Hansisi. Sebenarnya, pelabuhan perahu motor di Kauan, teluk sempit nan teduh. Karena ada permintaan seorang penumpang, perahu motor tersebut mampir di pelabuhan ferry. Kami pun berama-ramai turun. Sementara penumpang lain tetap turun di pelabuhan perahu motor yang bejarak sekitar 1,5 Km dari pelabuhan ferry.
Kami memulai perjalanan di Pulau Semau dari pelabuhan ferry. Bergerak ke arah barat. Melewati ruas jalan yang tak jauh bibir pantai. Saya tergoda oleh pantai eksotik. Berpasir putih-halus. Sebuah tugu tegak berdiri di bibir pantai. Entah tugu apa? Tak ada seorang pun di sana yang memungkinkan saya bertanya. Bentuknya seperti kapsul tapi ujung sedikit lebih lancip. Sementara Tenau tampak dari titik ini. Menjadi latar belakang pemotretan yang memesona mata dan jiwa petualang.
Dari pantai ini, kami melanjutkan perjalanan ke Puskemas Uitao. Menjumpai sahabat seperjuangan Bruno yang berkarya di sana. Enu Henny sudah menunggu kami di teras rumah. Menyambut kami dengan sebuah senyum ramah. Kami berisitirahat sejenak. Mengisi lambung yang mulai terkuras.
Meskipun waktu terus berangsur senja, kami bergegas ke spot wisata unggulan Semau. Kami berpamitan dengan Enu Heny dan temannya. Kami berjanji bila kami memiliki cukup waktu, kami akan mampir minum kopi sore (kopi mane, dalam bahasa Manggarai) sebelum kembali ke Kota Karang.
Sejak di atas kapal motor, Bruno berjanji akan mengantar saya ke Gunung Liman yang terletak di Semau Selatan. Rasa penasaran membuncah. Membayangkan ketinggian gunung. Seperti apa panorama alam sekitarnya. Menurut Bruno, jarak Uitao ke Gunung Liman dekat sa. Wah, bagi kami orang Kupang jika bilang dekat sa itu berarti patut dicurigai. Biasa terbalik dengan apa yang diucapkannya. He he he ....Â
![Bentangan Pantai Liman. Tampak Gunung Liman di kejauhan.](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/15/img-5333-a-jpg-5b2305acf133443b9a58b0b3.jpg?t=o&v=770)
Bruno percaya diri mengemudi tunggangan besi. Melewati jalan yang sepi. Sementara saya semakin ragu dalam bertanya dalam hati, "Akankah kami sampai tujuan, Gunung Liman?" Tak ada penunjuk jalan memaksa kami harus bertanya kepada beberapa orang yang kami jumpai di jalan.
Setelah melewati jalan yang tak semulus jalan di Kota Kupang, akhirnya, kami tiba di bibir pantai yang eksotik. Pasir berwarna putih bersih. Lautnya biru bersih. Ritmenya teratur, warna laut biru berubah warna putih seperti barisan gigi kala gulungan ombaknya memecah. Menyentuh bibir pantai.
![Bruno, sahabat seperjalanan ke Pulau Semau, NTT](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/15/img-5202-a-jpg-5b230c75cf01b45ae01bc212.jpg?t=o&v=770)
"Itu di sana, Ame."
Tak tampak sebuah gunung. Lebih tepatnya itu bukan gunung melainkan bukit. Tapi masyarakat setempat menyebutnya dengan nama gunung. Ya, Gunung Liman. Gunung ini diapiti oleh dua pantai yang sebelah menyebelah. Orang mengenalnya dengan Pantai Liman. Bukit Liman ibarat pembatas yang memisahkan dua sisi pantai nan seksi.Â
Pengunjung dapat menapaki bukit ini. Medannya mudah dilintasi. Saat kami tiba, bukit ini tampak gersang. Rerumputan mengering. Pohon duri (orang Kupang menyebutnya) berdiri berjejer di landai bukit. Mempercantik Gunung Liman.
![Pantai Liman, Pulau Semau, NTT](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/15/img-4899-a-jpg-5b230760caf7db1b7d5752c5.jpg?t=o&v=770)
Dari atas puncak Gunung Liman, kami menghadap hamparan laut Sawu. Sebuah pulau kecil nan anggun tampak di depan mata kami. Bagaikan sebuah benteng yang melindung Pantai Liman dari gelombang samudera.
Kita dapat melihat Pantai Liman yang sebelah menyebelah. Garis Pantai Liman yang sebelah kanan lebih panjang dan lebar daripada Pantai Liman sebelah kiri. Tapi keduanya sama cantiknya bak sosok seorang bidadari.
Selain bentangan pasir putih nan seksi, pesona lain Gunung Liman adalah sajian matahari terbenam. Pengunjung dapat menyaksikan sang fajar yang beringsut menuju peraduan dari puncak gunung. Bila ingin mendapatkan pesona yang sempurna dan sensasi sunset, Anda bisa menuruni gunung dan duduk bersila di bentangan pasir. Menyaksikan sunset.
Matahari memantulkan larik-larik sinarnya ke permukaan laut yang menimbulkan efek warna keemasan yang ditangkap mata. Teduh rasanya. Decak kagum berkumandang. Memuji kebesaran Sang Pencipta. Saat yang tepat berpisah dengan Gunung Liman atau Pantai Liman adalah sesaat setelah matahari kembali ke peraduannya. Rasanya lengkap dan sempurna menutup penjelajahan di tanah Semau.Â
![Sisi lain Pantai Liman, Pulau Semau, NTT](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/06/15/img-4905-a-jpg-5b2305a6dd0fa8123934e767.jpg?t=o&v=770)
Duhai, Liman, bidadari Semau. Molek dirimu. Tak henti mataku melumat eksotismemu. *** (gbm)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI