Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seandainya Raja Salman Berkunjung ke Flores

6 Maret 2017   15:36 Diperbarui: 6 Maret 2017   16:19 1255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berita Romo. Venus Dewantara Pr, seorang rohaniwan katolik menyapa Raja Salman dalam bahasa Arab menarik perhatian penulis. Mendengar rohaniwan, imam atau biarawan berbicara bahasa Arab bukan baru kali ini. Saya justru mendengarkan secara langsung saat saya duduk di bangku kelas 6 SD di Magepanda (1989).

Saat itu, bagi penulis adalah bahasa ‘planet’. Bahasa asing yang tidak saya pahami. Tetapi, kok bisa, di antara mayoritas umat katolik yang hadir di gedung serba guna mendengar sambutan atau pidato imam dalam bahasa Arab.

Asing memang! Magepanda adalah sebuah paroki, wilayah Keuskupan Agung Ende, waktu itu. Kini, paroki ini berada di wilayah Keuskupan Maumere. Umat paroki ini hidup bertetangga dengan umat muslim yang tinggal di kampung Bugis. Mayoritas penduduk berasal dari Bugis dan Selayar. Mereka telah hidup puluhan tahun – bahkan mungkin seratus tahun lebih.

Pada waktu itu, paroki St. Yohanes Vianey Magepanda dikunjungi para frater dari seminari Ledalero. Seingat saya ada beberapa frater yang telah menjadi imam sekarang. Dalam rombongan para frater hadir pula  P. Philipus Tule SVD, dosen Islamologi di SFTK Ledalero.

Sebagaimana pada setiap kunjungan ke paroki-paroki, para frater selalu mementas drama dan menyelenggarakan pertandingan sepak bola atau bola volley persahabatan dengan umat setempat. Pada waktu itu, mereka mementas drama di gedung serba guna yang rangkap sebagai gereja darurat. Karena pada waktu itu, paroki ini belum memiliki gereja permanen.

Penulis lupa dengan tajuk drama itu. Memori saya tidak mampu untuk meningat-ingat detil peristiwa waktu itu. Yang saya ingat, sebelum pementasan drama, P. Philipus Tule SVD berkesempatan memberikan sambutan dalam dua bahasa; Indonesia dan Arab.

Tentu mencengankan bagi umat yang mendengarkan sambutan tersebut. Pater Philipus berbicara dalam bahasa Arab dengan fasih. Tidak hanya umat katolik yang tercengang, umat muslim yang hadir pun ikut terheran-heran.

Sehingga tidak mengejutkan bagi saya ketika seorang imam dari Keuskupan Denpasar berbicara dalam bahasa Arab dengan Raja Salman. Bukan sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang biasa dan lumrah di dunia civitas akademik seminari. Hal itulah yang mereka pelajari dan menjadikan Islamologi sebagai salah satu matakuliah wajib yang harus diikuti oleh para frater.

Belajar Islamologi bukan untuk mencari kelemahan ajaran atau doktrin islam lalu menyerangnya. Belajar Islamologi bukan sebagai senjata menyampaikan kabar gembira dengan menelanjangi ajaran orang lain. Belajar Islamologi sebagai bagian untuk memahami untuk membangun dialog-humanis.

Penulis mengutip, status facebook Valens Daki-Soo (06/03/2017), perihal pemberitaan viral tentang dialog imam katolik dengan Raja Salman di Bandara Ngurah Rai Denpasar.

“Para calon pastor Katolik memang diajarkan Islamologi agar lebih memahami ajaran Islam dan mampu membangun dialog karya atau dialog kehidupan dengan para saudara kaum Muslim.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun