Keluarga adalah sel kecil dari masyarakat. Keluarga adalah lembaga pendidikan terkecil. Gambaran sebuah (sistem) masyarakat sangat ditentukan oleh sebuah sistem keluarga. Keluarga baik, masyarakat baik. Keluarga harmonis, masyarakat harmonis.
Struktur dalam keluarga jelas. Sudah semacam konvensi. Hukum tidak tertulis. Struktur keluarga terdiri kepala keluarga, wakil dan anggota keluarga. Dalam budaya paternalistik, kepala keluarga adalah ayah, sedangkan budaya materlistik ibu adalah kepala keluarga. Anak-anak adalah anggotanya.
Peran ini bisa di balik  sesuai situasi dalam kondisi atau sistem budaya yang dianut. Visi orang membentuk keluarga adalah mencapai keharmonisan. Nah, untuk apa orang berkeluarga, jikalau suami, istri dan anak ribut terus.
Akhir-akhir ini ‘keluarga’  menjadi pusat perhatian dalam konteks politik ibukota. Karena beberapa partai membentuk koalisi untuk menghadang Ahok pada Pilgub DKI Jakarta. Koalisi Kekeluargaan.
Koalisi Kekeluargaan adalah nama yang bagus. Menyentuh substansi hubungan personal yang intim. Menyebut keluarga pikiran orang akan tersentak pada sebuah relasi atau keterkaitan yang erat.
Partai-partai yang tergabung dalam koalisi ini mungkin kepincut dengan filosofi keluarga yang mana nilai keharmonisan, keakraban, kekompakan yang menjadi warna dasarnya. Atau parpol-parpol tersebut hendak menghapuskan persepsi negatif masyarakat seolah-olah parpol-parpol tidak bisa rukun dan bersatu. Inilah loh, kami bisa rukun!
Apapun alasannya. Apa arti sebuah nama? Nama bisa mencerminkan kandungan di dalamnya, karakter dan nilai-nilai yang dikandung. Namun, nama yang bagus tidak selalu indah suasananya.
Tapi sebagian besar percaya dengan kekuatan nama. Nama memiliki pengaruh terhadap nasib atau karier seseorang. Apakah Koalisi Kekeluargaan juga benar-benar mencerminkan nilai dasar keluarga? Atau sebaliknya, nama hanya menjadi tipuan ke ruang publik bahwa mereka rukun-rukun saja?
Namun, dalam politik keharmonisan itu tidak abadi. Berubah-ubah. Tergantung kepentingan yang diraih. Hari ini partai berkoalisi, besok mereka bercerai. Masa lalu cukup banyak bukti. Contoh yang paling nyata, Koalisi Merah Putih (KM). Begitu kuatnya statemen mereka bersatu, namun kemudian kenyataannya berubah. Satu per satu partai mencari jalan masing-masing demi sebuah kepentingan yang hendak dicapai. Itulah politik.
Kisah KMP memberi sinyal kuat bahwa koalisi di Indonesia tidak bisa abadi. Abadi dalam kurung waktu tertentu. Kadang partai tidak memegang komitmen.
Maka, hemat penulis, nama bukan menjadi jaminan bahwa partai-partai dapat membentuk sebuah ‘keluarga’ yang rukun, harmonis dan damai selama mereka menggengam kepentinganya masing-masing. Di tengah jalan sangat dimungkinkan bahwa pengingkaran itu kerap terjadi. Jangankan partai politik, keluargapun sering terjadi. Apalagi koalisi hanya berdasarkan komitmen yang bangun bersama tanpa sumpah atau janji setia sepertihnya membangun rumah tangga.
Saya malah khawatirkan koalisi yang dibentuk ini akan bernasib serupa seperti KMP. Bukan kerukunan yang diraih, malah ‘perceraian’ yang terjadi. Karena kepentingan itulah yang memungkinkan ketidakharmonisan.
Sampai detik ini, penulis tetap harap koalisi yang dibangun tetap indah, rukun dan damai seperti sebuah keluarga yang diidamkan. Harapannya, koalisi yang dibangun tidak menjadi koalisi (ke)keluarga(an) broken home. Hancur berantakan di tengah jalan ketika terjadi ‘perselingkuhan’ kepentingan yang tidak teratasi. ***(gbm)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H