Sebaliknya, jika Megawati bertahan dan menuruti syawat politik kadernya untuk membentuk koalisi gemuk, maka apa bedanya PDIP dengan Gerindra, Golkar dan lain-lain yang menyerangnya habis-habisan pada Pilpres yang lalu. Hanya dua kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Megawati untuk mengamankan mukanya, yakni berinisiatif untuk membentuk koalisi sendiri dengan partai yang berhaluan ideologi sama. Kedua, tanpa tendeng aling-aling, PDIP memutuskan bergabung dengan Nasdem, Hanura dan Golkar untuk mendukung Ahok.
Cara kedua ini dinilai lebih efektif dan prospektif untuk PDIP ke depan terutama pada Pileg/Pilpres 2019. Anggap saja Ahok ini sebagai indikator untuk menambah pundi-pundi “kredit point” di mata publik. Jika tidak, PDIP akan bernasib sama dengan KMP yang tercerai berai dan cari selamat masing-masing setelah Jokowi berkuasa. Apa PDIP mau seperti KMP? Dan, yang penting, jangan sampai PDIP menggadaikan ideologi demi syawat politik pihak tertentu. Ingat syair sebuah lagu lawas, “lain di hati, lain di bibir”. PDIP harus punya prinsip sebagai single majoritydi DPRD DKI. *** (gbm)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H