Para siswa di Kabupaten Manggarai Timur, Flores, NTT, mementaskan tarian Kerangkuk Alu dalam wadah Sanggar Bengkes Nai. (Kompas.com/Markus Makur)
Penghujung Agustus 2015, usai kegiatan di Labuan Bajo, saya kembali ke Kupang. Saya memilih naik pesawat di Ende. Kebetulan saya ada urusan kecil di kampung halaman, Mauponggo. Saya naik travel Gunung Mas ke Ruteng, kemudian over dengan mobil lain dari travel yang sama ke Bajawa.
Semua kursi terisi oleh penumpang. Dominasi penumpang orang Manggarai dan turis asing. Dengan kemampuan bahasa Manggarai, saya mengajak penumpang di sebelah saya bercerita. Sekedar tanya mau ke mana, asal dari mana, dan sebagainya. Pertanyaaan umum jika kita bertemu orang baru. Selebihnya, saya memilih untuk melemparkan pandangan ke luar jendela karena pemandangan di luar sangat menggoda. Sesekali mengabadikan pemandangan itu dengan kamera iphone.
Meskipun mata saya keluar jendela, telinga saya tetap menangkap percakapan penumpang yang di dalam mobil. Heterogenitas dialek. Meskipun orang Manggarai, tetapi mereka berbicara dengan aksen yang berbeda. Apalagi turis asing. Meskipun mereka asal Eropa, aksen mereka saya bisa menebak asal mereka. Memang dialek bertutur di Flores itu kaya – NTT pada umumnya.  Budaya yang heterogen. Bahasa yang heterogen. Agama yang heterogen. Seribu satu heterogenitas. Hal itu yang saya rasakan di travel Gunung Mas ini.  Saya dengar orang Manggarai berbicara bahasa Manggarai dengan dialek Kempo, Ruteng, Waerana. Meskipun berbicara bahasa Manggarai, sang sopir aksen atau logatnya seperti orang Bajawa atau Waerana dan sekitarnya.Â
Logat atau dialek Manggarai pun macam-macam; dialek Kolang, Lembor, Rekas, dan seterusnya. Dari kazanah dialek Manggarai beragam. Begitupun dialek Ngada, Nagekeo, Ende, Lio, Sikka, Flores Timur kepulauan. Itu baru dari satu aspek linguistik. Flores sangat kaya dengan hal ini – demikian dengan Sumba, Sabu, Rote, Alor, dan Timor.
Orang Bajawa berbicara bahasa Manggarai dengan dialek Bajawa. Orang Manggarai omong bahasa Bajawa tapi logat Manggarai. Orang Lio berbicara Sikka atau sebaliknya (dengan dialek asal), dan lain sebagainya. Kadang-kadang itu menjadi bahan tertawaan. Tetapi, itulah realitas sosial seseorang berusaha untuk 'mengakar' dengan lingkungan budaya dimana dia berpijak.
Ada pula mahasiswa Flores yang kuliah Jawa atau Kupang "gara-gara" berbicara bahasa Indonesia dengan dialek Jawa atau Kupang. Lucu juga seh. Padahal hanya setahun atau dua tahun mereka hidup di negeri orang. Tetapi, saya belum pernah dengar orang Flores berbicara bahasa daerah dengan dialek Inggris, Jerman atau Perancis.
Kita jumpai turis dari berbagai negara. Mereka berbicara dengan bahasa dan dialek masing-masing. Kadang mereka berbicara bahasa Indonesia patah-patah. Saya kadang berpikir, seperti perjalanan saya dari Labuan Bajo ke Bajawa, saya seolah-olah sedang berada di dalam mobil di Eropa yang di dalamnya ada orang Flores atau turis-turis ini berada di suatu wilayah Pulau Flores di antara orang Flores?
Dialek atau logat ini dapat memperkaya kazanah musikalitas. Karena berbicara itu ada nada-nadanya. Ada akornya. Akor tidak identik dengan menyanyi. Berbicara pun menyanyi. Guru kesenian saya, Pak Agus Salju, pernah mengisahkan seorang rohaniwan katolik menciptakan lagu terinspirasi oleh perjalanannya sepanjang perairan Flores Timur. Ia bisa menciptakan lagu dari deru perahu motor atau siulan nahkoda atau ABK. Saat mendengar, ia langsung menerjemahkan ke dalam notasi angka. Notasi itulah menjadi akor dasar sebuah lagu.
Pengalaman rohaniwan di atas bisa menginspirasi pencipta lagu atau pemusik. NTT dapat menjadi sumber inspirasi untuk menciptakan akor-akor untuk lagu atau syair. Dari beragam dialek yang didengar dari percakapan orang-orang sepanjang jalan atau di sekitar kita. Sayangnya, sedikit orang bahkan tidak sama sekali orang yang melakukannya. Kita mudah mengambil referensi dari internet atau contoh-contoh lagu yang ada. Akibatnya, banyak plagiarisme dalam bermusik. Musik yang orisinal itu dari nada-nada dialog masyarakat yang heterogen ini.
Menempuh perjalanan dari Labuan Bajo ke Bajawa melelahkan, tapi saya  menikmati view yang indah. Pemandangan yang mampu menghilangkan penat. Tentu saja saya mendengarkan aneka dialek dalam dialog para penumpang. Salah satunya menciptakan musik. Sayangnya, kita mudah terlena dengan nada-nada sendu melankolis saat di dalam kendaraan yang 'diputar' sopir. Kita hanya mampu mendengarnya, tanpa pernah menciptakannya.
Dari dialog dengan berbagai dialek, seseorang dapat ciptakan musik. Itu kita bisa temukan  dalam perjalanan dari Labuan Bajo ke Ruteng, dari Kupang ke Atambua, dari Tambolaka ke Waingapu, dari pulau ke pulau seperti Alor, Adonara, Solor, Lembata, Rote, dan Sabu. Ya, NTT adalah surganya.*** (gbm)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H