Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Setya Novanto adalah Kita

27 November 2015   14:35 Diperbarui: 27 November 2015   14:41 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Setya Novanto, Ketua DPR RI"][/caption]Catut-menantut bukan hal baru - telah menjadi 'makan minum' di negeri ini. Hal ini memjadi besar karena melibatkan tokoh nasional dari lembaga terhormat. Setya Novanto dari DPR RI.

Aib politik yang dilakukan oleh Setya Novanto hanyalah merupakan klimaks dari perbuatan catut-mencatut di negeri ini.

Memang. Apa yang dilakukannya tidak berdampak langsung kepadarakyat. Ia 'memeras' perusahaan besar. Perusahaan asing pula. Tapi dalam jangka panjang, rakyat akan merasakan akibatnya. Juga, menjadi wujud pendidikan politik yang tidak benar.

Dari berbagai aspek, Setya Novanto salah besar. Aspek wewenang, Setya Novanto melangkahi wewenang eksekutif (dalam hal lobi bisnis dan lain-lain). Aspek politik, permintaan jatah saham, mengkianati rakyat Indonesia yang menghendaki berakhirnya cengkraman PT Freeport di tanah papua.

Di atas segala-galanya dari semua aspek, sepak terjang Setya Novanto, mencerminkan lemahnya 'moral integrity' seorang pemimpin. Pemimpin atau wakil rakyat harus mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi.

Sekali lagi, kasus Setya Novanto adalah akumulasi dari perbuatan yang serupa yang dilakukan oleh orang yang berbeda, pada level yang berbeda, dan kepada orang yang beda pula. Bahkan dilakukan kepada orang-orang kecil.

Misalnya, orang sering meneror orang lain atas nama orang yang memiliki pengaruh atau kekuasaan. Seorang staf meneror staf lain atas nama atasan langsung. Demikian seorang atasan langsung meneror bawahan atas nama atasan di atasnya dan seterusnya.

Orang dengan mudah untuk meraih keuntungan bagi dirinya sendiri dengan cara mencatut nama atasan nya. Situasi seperti ini, logika orang yang diteror menjadi lemah. Nurut aja! Tanpa beragumentasi atau berdalil sedikit pun.

Di negeri ini, mencatut itu bisa dengan banyak cara. Kenyataan yang sering terjadi - di lingkungan birokrasi misalnya, seorang kepala untuk mencapai sesuatu dengan mencatut atau atas nama "KEBIJAKAN".

Misalnya, memangkas honor pekerjaan staf sekian persen dengan alasan KEBIJAKAN. Lebih lucu lagi, ada yang terang-terangan menulis alasan atau item yang sebenarnya sudah dialokasikan dalam anggaran. Berbeda hal dengan KEBIJAKAN - peruntukannya tidak jelas karena tidak diakomodir dalam penganggaran.

Karena inilah, banyak orang berlindung balik KEBIJAKAN untuk memangkas haknya orang. Lemahnya, secara administrasi tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kebijakan pun menjadi buram. Pertanyaan pun muncul; apakah ini benar-benar kebijakan?

Bahkan ada orang (pemimpin) yang terang-terang mengatakan pemangkasan honor staf untuk "SETORAN" atau semacam "UPETI" kepada pimpinan tertinggi. Pertanyaan saya, apakah langkah ini benar? Apakah pemimpin itu benar-benar meminta SETORAN atau UPETI? Jangan-jangan ini hanya akalan-akalannya? Melegalkan cara untuk memperkaya diri atau mencari muka dengan pemimpinnya dengan cara 'memeras' bawahan secara terhormat - sehingga ia pun tetap bertahta di 'singgasana' yang membuatnya nyaman secara finansial.

Memang sulit dibuktikan kebenaran. Dan juga orang malas untuk menelusurinya, ketika seorang pemimpin mencatut alasan KEBIJAKAN. Secara adminitratif tidak dibuatkan laporan sehingga tidak dipertanggungjawaban. Pernyataan lisannya pun tidak menjadi pegangan.

Dari kasus Setya Novanto, kita tidak cepat menuduh hal-hal buruk kepada Setya Novanto. Kita bergegas mengoreksi diri dan mampu bersuara 'kenabian'. Bersuara untuk diri sendiri. Apakah saya dan anda seperti Setya Novanto?

Dalam skala kecil, kita barangkali melakukan hal yang serupa. Merebut apa yang menjadi hak raja, kaisar, atau rakyat. Dan itu sering terjadi di lingkungan kita. Kadang, jabatan dan kekuasaan menyebabkan kita lupa diri. Uang adalah segala-galanya. Tapi, jangan menyandera hak-hak orang kecil apalagi menjual alasan KEBIJAKAN untuk mendapatkan uang. Atas nama Tuhan sekalipun, KEBIJAKAN harus tertulis peruntukkannya. KEBIJAKAN tidak dapat menjadi pembenaran perbuatan atau tindakan yang kontra aturan.

Marilah kita bertolak lebih ke dalam jiwa kita masing-masing. Barulah kita mengutuk Setya Novanto. Semoga kasus ini menjadi arus balik kita semua; dari mental mencatut, 'memeras', dan bersembunyi balik KEBIJAKAN. ***(gbm)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun