Saya dan seorang teman akan melakukan medical check di RS International BIMC Kuta. Kami menumpangi angkutan dari depan IALF Denpasar, lalu turun di halte Sarbhagita di Pesanggrahan. Ketika masuk Sarbhagita, semua kursi terisi. Lalu saya ambil posisi berdiri dekat pintu keluar. Sepanjang jalan saya bercakap-cakap dengan teman sembari melemparkan pandangan ke luar. Ada sticker di-attach pada kaca bus, tertera tulisan :
“UTAMAKAN :
Orang tua, Ibu hamil, dan Disability” (dipertegas lagi dengan simbol masing-masing).
Saya tidak tahu apakah tulisan itu sekedar sebagai aksesoris atau memang tujuan untuk memprioritaskan kelompok orang sebagaimana yang dimaksudkan tulisan sticker tersebut. Saya pun duduk hingga kami turun di halte Central Park, lalu pindah ke Sarbhagita arah Batu Bulan.
Akhirnya kami turun di halte yang tak jauh dari BIMC. Suasana di depan rumah sakit tampak lengang. Beberapa mobil berjejer rapih di parkiran. Dua orang pengaman yang senantiasa bersiaga. Wajah mereka datar. Senyum juga tidak. Sapa kami juga tidak. Mungkin mereka heran saja dengan kami. Calon pasien pejalan kaki! Masuk rumah sakit bertaraf internasional.
Sekedar basa-basi dengan security, kami pun melangkah di ke lobi, melaporkan diri sebagai ADS awardees. Menunggu panggilan pemeriksaan, saya mencari tempat duduk. Tidak ada kursi atau bangku yang kosong. Semua terisi dengan pasien bule. Ketika saya melangkah mencari tempat di sisi lain dari lobi, seorang bule berdiri dan mendekati saya.
“Please, sit down.” Mempersilahkan saya duduk di samping istri dan anak yang juga sedang antri.
Ketika saya masuk lobi, saya melihat keluarga tersebut sudah duduk di sofa tersebut. Tubuh bule itu tinggi besar. Lengannya bertato. Waja rada sangar. Ketika saya kontak mata dengan segera saya alihkan tempat lain. Takut.
Eh…ternyata, perawakan tidak mencerminkan hatinya. Kata orang, “wajah preman, berhati Rinto atau Obey”. .
“I doesn’t matter, Sir. I am going to find another seat, right.”“Please, guys. That’s ok.” Kata bule itu.
Saya pun duduk di sofa tersebut. Saya sesekali mengedarkan pandangan di sekeliling ruangan. Semua pasien adalah bule, kecuali saya, teman saya dan paramedis yang berasal dari Indonesia. Pantasan saja, jikalau pengaman melihat kami penuh tanda tanya. Mungkin saja mereka kira kami salah masuk atau tersesat.
Saya tersenyum memandang tingkah bayi bule di gendongan ibunya. Wajah putih bersih. Matanya bersinar kebiruan. Ketika seorang perawatan memberinya balon, malah dia cuek dan tak respon sedikitpun.
“Maaf, dia tidak terbiasa. Terima kasih.” Kata ibu tersebut dalam bahasa Inggris.“Wah jika anak seumur ini, sudah bisa mengerti. Bagaimana tuanya nanti?” Tanya saya pada diri sendiri.
Pengalaman saya di Sarbhagita dan di BIMC mirip tapi tak sama. Di sarbhagita, seharusnya saya mendapat tempat duduk, tetapi saya malah berdiri. Tulisan di sticker tersebut tak menggugah sedikit pun penumpang yang duduk. Berbeda dengan bule tadi. Tidak ada tulisan serupa di sarbhagita di lobi, tapi dengan kesadarannya, ia bangun berdiri dan mempersilahkan saya duduk. Ini bukan soal karena pengalaman saya, maka saya menulis. Saya membayangkan orang lain di negeri ini yang benar-benar membutuhkan. Ini soal kesadaran kita terhadap orang-orang sebagaimana yang dicantumkan dalam sticker tersebut. Sensitivitas kita terhadap "kaum lemah" masih lemah, masih sebatas sloganitas seperti pada tulisan di sticker tadi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H