Gajah Mada berhasil mempersatukan nusantara. Soekarno membakar api nasionalisme rakyat Indonesia melalui orasi-orasi heroik untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Timor Timor jatuh dalam pelukan pertiwi meskipun propinsi bungsu ini akhirnya memerdekakan diri. Papua Barat pun ditaklukannya dari genggaman kekuasaan kolonial Belanda. Soekarno bahkan melontarkan gagasan untuk mengganyang Malaysia.
Soekarno memang tokoh hebat pada waktu itu. Ia memainkan peran dalam percaturan diplomatik internasional. Kapabilitas politik yang dimilikinya menyebabkan Indonesia tidak dilirik ‘sebelah mata’ oleh bangsa lain. Ia bahkan menebarkan ancaman kepada negara adi daya AS. Selain itu, bangsa Indonesia turut andil dalam upaya menciptakan perdamaian dunia. Menjadi salah satu pelopor gerakan Non Blok, sebuah gerakan yang tidak memihak blok barat (AS) maupun blok timur (Uni Soviet).
Lalu Soeharto terus mempertahankan hubungan bilateral dengan berbagai negara baik dalam bidang politik, ekonomi maupun keamanan. Indonesia berperan aktif di PBB dalam upaya perdamaian dunia dengan mengirimkan pasukan ke daerah-daerah konflik seperti di Afrika dan Timor Tengah.
Di ujung usia senja kekuasaan Soeharto, kekuatan Indonesia semakin lemah baik di pentas internasional, regional maupun nasional. Indonesia seperti kehilangan ‘taji’ dan pelan-pelan ‘terpuruk’ dalam percaturan politik internasional, regional dan nasional. Reformasi sebagai era kebangkitan pasca ‘kediktatoran’ Soeharto yang diharapkan menjadi tonggak perubahan kian rapuh. Konflik horisontal dan vertikal semakin memperparah keadaan negeri. Stabilitas keamanan dan ekonomi menjadi labil. Para pemimpin dan politisi sibuk meraup keuntungan untuk kantorng partai politik dan saku pribadi.
Prabowo hadir dengan sebuah visi yang besar; Indonesia menjadi macan Asia pada situasi bangsa yang nyaris ‘chaos’ lingkaran para penguasa dan politik Indonesia. Ia datang dengan jargon “Indonesia menjadi Macan Asia. Visi yang menjadi tagline iklan Gerindra sejak pada awal menjelang pilpres 2009. Iklan ini efektif karena mampu menghipnotis simpatik rakyat Indonesia. Ditunjangi oleh sosok Prabowo dalam iklan tersebut yang tegas, berkarakter, dan lugas turut semakin membakar hati rakyat akan cita-cita Indonesia menjadi hebat di Asia.
Prabowo telah sedang bernostalgia dengan masa kejayaan Indonesia pada masa lalu. Belajar pada Gajah Mada, Soekarno, dan Soeharto. Pertanyaan penulis, pernahkah Indonesia menjadi Macan Asia? Secara de jure tidak ada pengakuan dari pihak negara manapun. Secara de facto, pada masa kepepimpinan Soekarno dan Soeharto, Indonesia berperan aktif dalam politik regional dan internasional. Tidak berarti Indonesia di sebut Indonesia adalah macan Asia. Lebih tepat, baik secara de jure maupun de facto, julukan itu disebutkan oleh para pemimpin dan orang Indonesia yang berada di lingkaran kekuasaan untuk propaganda politik; melanggengkan kekuasaan penguasa pada waktu itu.
Macan adalah simbol kekuatan. Petarung dalam pergulatan hidup. Macan bisa juga berarti penguasa. Dalam konteks kenegaraan, macan bisa direpresentasikan oleh kekuatan militer yang hebat. Memperhatikan kampanye akbar partai Gerindra di GBK pada tanggal 23 Maret 2014 yang silam, kita melihat Prabowo Subianto menumbuhkan semangat “macan”. Ia tampak berwibawa dengan balutan busana ala Soekarno, lilitan kris di pinggang, serta dikawal ribuan kader-kader Gerindra yang berseragam ala pasukan. Kegiatan kampanye akbar tersebut memperlihatkan kepada publik bahwa kekuatan militer ‘seolah-olah’ merupakan satu cara utama menjadi macan Asia. Dalam bathin berkata: “Hai Singapura. Hai Malaysia. Vietnam, Thaniland, dan seterusnya. Ini lho Indonesia!”
Dengungan ‘macan Asia’ bukan jamannya lagi. Era sekarang bukan era perang. Tidak ada bangsa yang ditakut-takuti apalagi menakuti-nakuti. Kekuatan militer tidak lagi menjadi kekuatan untuk ‘menguasai’ bangsa lain. Era sekarang era teknologi informasi, yang sebentar lagi akan masuk ke era nanoteknologi. Orang bisa menghancurkan negara dalam sejekap dari ujung jari tangannya. Mengacaukan sistem ekonomi dan keamanan negara tertentu dari remote control. Dengan kata lain, tanpa barisan pasukan yang tegap dan gagap pun kita bisa menjadi ‘macan’ (baca: ancaman) bagi negara lain. Australia misalnya secara kuntitas masih membutuhkan personil tentara (terbaca di iklan TV), tetapi secara kualitas mereka disegani karena mereka tangguh dalam sistem keamanan. Terbukti mereka mampu menyadap komunikasi rahasia pemimpin kita.
Masalah Indonesia bukan ada pada bangsa lain melainkan di dalam diri kita sendiri. Tiga hal yang patut menjadi perhatian pemimpin negeri ini, PERTAMA, jadilah macan bagi diri sendiri dan bangsa sendiri yang mampu menerkam setiap perilaku korupsi di bangsa sendiri. Bangsa kita tidak maju-maju karena KORUPSI dalam lingkaran para pemimpin, politisi, birokrat, dan penegak hukum. KEDUA, tegakan supremasi hukum. Hukum dibuat untuk dilanggar tanpa tindakan hukuman yang tegas. Para penegak hukum dan perumus produk hukum justeru mudah MENGANGKANGI HUKUM. TERAKHIR, tingkatkan SDM secara kualitas dan kuantitas. Kirimlah sebanyak-banyaknya kaum muda terpelajar ke seluruh dunia. Belajar di berbagai perguruan tinggi ternama. Jadikan mereka sebagai intelegen akademis yang mengintip kemajuan teknologi dan ilmu di negara asing lalu pulang bangun negeri ini. Cina dan Jepang sudah praktekan cara ini. Ironisinya, banyak putra-putri terbaik Indonesia lebih betah di luar negeri karena setelah tamat mereka ‘dicuekin’ oleh pemerintah sendiri. Dia antara mereka mengabdikan ilmunya di negara lain seperti Malaysia, Singapura, dan sebagainya.
Hemat penulis, cita-cita bangsa menjadi “macan Asia” hanyalah upaya untuk meraih kekuasaan dengan cara memainkan eforia dan memori masyarakat yang masih melekat dengan masa kejayaan ‘masa lampaoe’. Pada saat Cina, Jepang, dan Korea Selatan nyaris menguasai dunia melalui produk-produknya. Malaysia yang berhasil ‘overlap’ Indonesia dalam dunia pendidikan, sementara dulu mereka ‘berguru di Indonesia. Vietnam yang terus merangkak. Demikian pun Thailand, Filipina, dan seterusnya.
Menyematkan kata “macan” dalam setiap untaian perjuangan mengesankan bahwa kita menyebarkan ancaman dan membersitkan nafsu menguasai orang lain. Kita merindukan dunia tanpa perang. Dunia yang damai. Untuk itu, tiga hal utama di atas menjadi point penting untuk membangun kekuatan di rumah sendiri yang akan berdampak luas ke luar; Asia, Asia Tenggara bahkan dunia. Kita boleh memiliki pemimpin yang tegap, tegas, berwibawa, mantan jenderal, penguasaha, akademisi, tetapi kalau tidak ada KEJUJURAN dalam dirinya meruntuhkan semua cita-cita besar bangsa ini. Mungkin ada calon presiden yang tampak ‘senge lenge’ (tidak ada potongan menjadi pemimpin), ‘celingak-celinguk’, ‘mencla-mencle’, dicap boneka (pada hal itu menunjukkan sikap loyalnya kepada partai), tetapi dia BERSIH (tidak KORUPSI!) dan SELALU ADA di tengah rakyat (blusukan) pada saat yang dibutuhkan. Indonesia membutuhkan pemimpin yang BERPIKIR DAN BERTINDAK SEDERHANA tetapi BERDAMPAK BESAR. Marilah kita menilai pemimpin dari tutur kata, perilaku dan aura positif yang mengalir dari jiwanya. Bukan dari latar belakang, apalagi tampangnya!
Akhir kata, kita boleh bernostalgia tetapi jangan bermimpi untuk mengulangi kejayaan yang sama pada jaman sekarang. Jika ada pihak yang memaksakan impiannya, itu namanya ‘nostagila’. Karena ia belum sadar bahwasannya keadaan dunia telah berubah; setiap negara memiliki cita-cita yang sama untuk menjadi ‘macan’ bagi bangsa yang lain. Waspada jangan sampai kita hanya menjadi ‘macan’ ompong!***
Townsville, 5 April 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H