Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memotret Pencitraan: Lihat 'Habitus'nya!

24 Mei 2014   05:39 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:10 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"...Tengoklah Lebih Ke Dalam: Ke Kedalaman Keseharian Hidup Mereka..."


Citra adalah salah satu merek produk kecantikan terkenal pada saat saya duduk di bangku sekolah dasar. Tanta-tanta saya sering menggunakannya. Saya pun ikut-ikutan memakainya untuk mengkilapkan kulit tangan dan kaki yang dekil.

Selain sebagai produk kecantikan, ada ajang atau kontes yang namanya piala citra. Entah kontes itu masih ada atau sudah ‘binasa’, tetapi ajang ini sangat terkenal pada saat saya masih remaja. Bermunculannya berbagai kontes seperti Indonesia Idol, Indonesia Mencari Bakat, dan lain-lain mungkin telah membunuh popularitas ajang piala citra ini.

Media massa pun tidak ketinggalan. RCTI dan SCTV menyematkan kata “citra” pada namanya; Rajawali Citra Televisi Indonesia dan Surya Citra Televisi. Singkat kata, citra sebuah kata yang indah dan cantik. Mendengar kata ini, angan pun langsung membayangkan suasana, wujud, dan rasa. Karena itu kata ini kerap digunakan sebagai nama produk kecantikan, media massa, majalah, dan sebagainya - bahkan nama artis seperti Bunga Citra Lestari.

Dunia politik tidak ketinggalan menggunakan kata citra. Semenjak kepemimpinan SBY, kata pen-citra-an menjadi popular. Apapun yang dilakukan oleh SBY dicap sebagai perbuatan pencitraan diri. Maka munculah istilah politik pencitraan.

Belakangan politik pencitraan pun mengemuka apalagi menjelang Pilpres Juli nanti. Jokowi menjadi salah satu sasaran tembak kelompok yang anti politik pencitraan. Mereka ‘menuduh’ media di balik Jokowi untuk melakukan pencitraan – meskipun tidak semua media.

Ketika Jokowi menjabat sebagai Gubernur DKI, tudingan pencitraan jauh sama sekali dari dirinya (mungkin ada dari kalangan sakit hati politik tetapi sedikit tidak sebanding yang mencintainya). Ia melakukan ‘blusukan’ seantero Jakarta. Banyak pujian diraih karena ia berhasil menjalankan konsep button up leadership, kebalikan dari top down leadership yang biasa dilakoni para pemimpin negeri ini selama ini. Anehnya, ketika ia ‘diisukan’ untuk dicalonkan sebagai calon presiden PDI Perjuangan, apapun yang dilakukannya berkaitan dengan tugas pokoknya sebagai gubernur senantiasa dilebeli oleh lawan-lawannya sebagai politik pencitraan menjelang Pilpres 2014.

Seorang teman saya, Philip Lip, mahasiswa Magister Filsafat (Humaniora) STFK Diryakara Jakarta, dalam komentar areal status FB-nya mengatakan bahwa untuk memotret seseorang melakukan pencitraan atau tidak dilihat dari habitusnya. Kebiasaan menjalankan hidupanya. Ia mengambil contoh demikian, jika seseorang yang kaya raya (elitis) dan biasanya makan nasi, tiba-tiba berubah makan singkong (menjadi sosok sederhana), itu baru namanya pencitraan. Sesuatu tindakan di luar dari kebiasaannya yang patut dipertanyakan.

Contoh lain, pada saat peristiwa banjir di Jakarta, Jokowi melakukan ‘blusukan’ kemana-mana. Ia tidak peduli dengan situasi dan kondisi di lapangan, entah banjir, lumpur, macet dan sebagainya. Para pemimpin lain pun tergerak, misalnya rival politiknya pada Pilgub Jakarta yang lalu, Hidayat Nur Wahid, pun turun ke lapangan. Mencemplungkan diri di genangan air. Media pun meliputinya. Nah, ini juga pencitraan. Jika suatu kebiasaan, maka semenjak ia menjabat sebagai anggota DPR RI atau ketua MPR sudah sering turun ke lokasi bencana banjir. Ternyata tidak!

Itulah fenomena politik di Indonesia. Pencitraan diri telah menjadi model merebut hati konstituen. Bahkan ada pemimpin yang melakukan “pencintraan diri orang lain di dalam dirinya”. Atau dengan kata lain, ia menjadikan sosok dirinya sebagai ‘reinkarnasi’ tokoh besar masa lampau. Ia menjadi kehilangan identitas dirinya dan mengingkari dirinya sendiri. Itu artinya ia tidak mau menjadi dirinya. Misalnya, pemimpin yang tidak biasa buat puisi, beorasi menggunakan puisi. Busana dan mikrofon pun tidak ketinggalan. Ini juga baik untuk membangkitkan memori historis masa lampau akan sosok tertentu. Tetapi yang lebih penting menjiwai kepemimpinan dan filosofinya dalam kata dan perbuatan daripada meniru ‘casing’nya (busana) yang hanya menjadi pembungkus saja.

Ya, sebelum mulut kita cepat menuduh Jokowi atau siapa pun melakukan pencitraan, alangkah baiknya mari kita tengok LEBIH KE DALAM; KE KEDALAMAN KESEHARIAN HIDUP MEREKA. (gbm)***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun