Mohon tunggu...
Giorgio Babo Moggi
Giorgio Babo Moggi Mohon Tunggu... Lainnya - Pembelajar yang tak berhenti untuk menulis

Dream is My Life's Keyword.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Marhaen (Soekarno) vs Sopir Taxi (Prabowo)

17 Juni 2014   18:09 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:22 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Prabowo Subianto menceritakan kisah perjumpaan dengan sopir taxi di sebuah negara. Cerita ini dibeberkannya pada waktu tour politik (kampanye) di Sumatera. Sopir taxi tersebut mengira dirinya berasal dari Filipina. Ya, memang wajah orang kita sudah memang stereotip Indonesia. Apalagi Prabowo masih keturunan Manado. Orang Manado memang mirip orang Filipina. Tidak hanya soal wajah, beberapa kata dalam bahasa Tagalog pun sama. Pada waktu Fillipino Day tiga minggu yang lalu, saya mudah menjumpai 'wajah-wajah' Indonesia di sana. Ternyata wajah bisa menunjukkan asal, meskipun tidak selalu mutlak benar.

Pengakuan Prabowo, ia 'berbohong' dengan menyetujui apa yang ditebak sopir itu. Alasannya sederhana karena masih memiliki rasa penasaran dengan apa yang akan diungkapkan sang sopir. Saya menyebutnya 'bohong yang santun' untuk sesuatu tujuan yang baik. Dengan kata lain, ia melakukan penyamaran. Ternyata sopir itu hanya mau bilang bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bodoh karena menjual kekayaan alam kepada asing.

Sebuah kisah perjumpaan Prabowo dengan sopir taxi ini ternyata bukan sekedar cerita biasa. Dari sinilah awal cita-cita Prabowo menjadi presiden Republik Indonesia. Cerita ini menjadi menarik. Semanarik perkembangan politik dalam negeri. Politik pencitraan dengan berbagai narasi tentang kandidat menjadi 'cerita bersambung' yang selalu dinantikan.

Cerita Prabowo bisa jadi kisah nyata, bisa pula kisah fiktif. Hanya Prabowo, asistennya, sopir taxi, dan, tentunya, Tuhan yang tahu. Ia tidak menyertakan waktu dan tempat (tanpa menyebutkan negara) menimbulkan kesangsian; benar atau tidak? Ataukah ini bagian kemampuan Prabowo untuk menarasikan dirinya untuk tujuan pencitraan? Yang pasti, di balik cerita selalu ada motif.

Soekarno pernah berkisah perjumpaannya dengan sosok petani miskin di wilayah Bandung selatan. Ia menghidupi keluarganya dari hasil garapan sebidang sawah. Ia bekerja hanya untuk makan. Kehidupan keluarganya sangat sengsara. Nama petani itu adalah Marhaen.

Kisah ini juga masih misteri sejarah. Belum banyak referensi tertulis. Satu-satunya sumber otentik narasi adalah Soekarno sendiri. Jangan-jangan Marhaen hanyalah tokoh 'khayalan' Soekarno sebagai permenungan terlahirnya ideologi Marhaenisme.

Tokoh Marhaen boleh jadi fiktif. Marhaen boleh jadi simbol (bukan orang) yang hidup melarat bagi Soekarno pada jaman itu. Simbol ini memungkinkan Soekarno untuk menarasikan ideologinya. Marhaen merepresentasikan mayoritas masyarakat Indonesia yang hidup miskin karena ulah semena-mena kolonial Hindia Belanda. Yang kemudian mendorong perjuangannya melalui ideologi politik.

Cerita Soekarno dan Prabowo menyiratkan panggilan untuk membangun pertiwi. Soekarno, sebagai pemimpin bangsa dan negara, ia terpanggil untuk menentang penjajahan dan membebaskan rakyat dari belenggu kemiskinan. Saya tidak mempersoalkan bukti autentik ketokohan Marhaen. Tetapi apa yang tertuang dalam ajaran Marhaen, kita mampu memahami maknanya dan melihat serta merasakan realitasnya saat itu.

Prabowo mengangkat kisah sopir taxi hendak mengungkapkan keadaan bangsa ini. Jika ia bercita-cita menjadi presiden, itu juga sebagai panggilan hidup Prabowo. Sama seperti kisah Marhaen, saya meragukan kebenarannya. Saya pun tidak mempersoalkannya. Tetapi saya berkeberataan dengan ucapan sang sopir taxi yang menyoal kebodohan bangsa Indonesia yang telah menjual segala kekayaan alamnya kepada asing. Saya menganggap sebuah kesimpulan yang menyesatkan. Bicara bangsa, bicara rakyat. Sementara perbuatan dilakukan oleh segelintir orang, yakni para penyelenggara negara, politisi, dan penguasaha yang melacurkan kekayaan alam kepada asing untuk memuaskan nafsu hedonisme mereka.

Soekarno melihat rakyat Indonesia sebagai obyek kemelaratan hidup akibat kesewenang-wenangan penjajah. Sebaliknya, Prabowo (melalui sopir taxi) melihat rakyat sebagai biang (subyek penyebab) kemalaratan bangsa ini karena telah menjual kekayaan bangsa sendiri. Salah rakyat atau salah penyelenggara negara? Tidak mengejutkan, jika ia mencap bangsa ini; bodoh dan naif, pada saat sebelum kisahnya di atas terekspose ke publik. Pertanyaan pun muncul; pernyataan bangsa Indonesia itu berasal dari sopir taxi atau Prabowo sendiri yang diwakili sopir taxi 'yang mungkin fiktif' tersebut?

Inilah sisi lain para pemimpin. Mereka pandai memainkan narasi seperti Prabowo dengan cerita sopir taxi-nya dan Soekarno dengan Marhaen-nya. Soekarno mampu melahirkan idelogi politik Marhaenisme. Sedangkan Prabowo baru sebatas bercerita. Entah apa yang dihasilkan dari cerita tersebut nanti. Ideologi politik baru? Inilah salah satu perbedaan Soekarno dan Prabowo. Setiap kisah Soekarno selalu menarik untuk disimak, didalami, dan dipelajari serta bernuansa filosofis. Ia mampu mengemasnya jadi ideologi yang membuat dirinya disanjung dan memiliki pengikut (penganut ideologi). Itulah hakekat pemimpin sejati. Bukan pemimpin partai.***(gbm)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun