(Sajian Kopi Sore Pada Hari Disabilitas, 3 Desember 2014)
Seorang sahabat mengirimkan ucapan Hari Disabilitas. Sahabat seorang difabel. Ucapannya pertama dan menjadi orang pertama pada Hari Disabilitas. Hari ini.
Ini adalah pengalaman pertama saya. Biasanya saya terima ucapan Ulang Tahun, Natal, dan Paskah. Tetapi ucapan sahabat ini, memicu saya untuk menulis tentang isu disabilitas. Menjadi sajian kopi bagi sahabat menjelang senja.
Kompas pernah merilis berita di Aceh. Demonstrasi kaum difabel terkait Surat Ijin Mengemudi (SIM). Tulisan pada spanduk; "Kami Bukan Produk Tuhan yang Gagal" menjadi judul berita. Tulisan spanduk tersebut mempertegas bahwa Tuhan tidak pernah menciptakan manusia cacat.
Bagaimana kita perlakuan dan sikap terhadap penyandang disabilitas? Penanganan penyandang disabilitas dan kecacatan perlu diperbaiki. Persepsi dan perlakuan terhadap penyandang disabilitas harus berubah. Penyandang disabilitas tidak identik lagi hidup dalam panti-panti. Penyandang disabilitas harus melebur dengan masyarakat lain.
Perubahan itu harus berawal dari keluarga. Banyak keluarga beranggapan mengurus anak difabel sebagai beban hidup. Karena itu mereka lebih cenderung menitipkannya di panti-panti. Dengan demikian mereka dibebaskan dari tanggung jawab sehari-hari. Rasa kasih sayang kepada anak pun memudar. Akhirnya hilang.
Peran pemerintah juga sangat penting. Memberi ruang bagi kaum difabel berdifusi dengan masyarakat normal. Mereka bisa hidup di tengah masyarakat lain. Bekerja. Berdagang, dan lain-lain. Caranya membuka akses bagi mereka. Membangun infrastruktur yang ramah terhadap kaum difabel. Tanpa itu bagaimana mungkin mereka bisa melebur?
Tidak kalah pentingnya peraturan perundangan-perundangan pro kaum difabel. Tetapi kadang juga para pejabat kecil yang memiliki pandangan bahwa semua manusia perlakuan sama. Tidak ada perbedaan antara penyandang disabilitas dengan yang lain. Orang seperti ini harus dicuci otaknya dengan mengirimkan dia ke negara-negara maju. Biar bisa lihat kaum didabel keluar masuk pub atau diskotek. Turun naik bus, dan lain-lain. Hak dan kewajiban terpenuhi dan menjadi prioritas pelayanan.
Cara penanganan dengan membangun panti baik. Melokasir kaum difabel pada satu tempat. Tetapi hal ini tidak tepat. Kadang menjadi proyek tahunan. Menjadikan mereka orang terkucil. Tindakan ini berdampak pada pertumbuhan mental mereka. Mereka tumbuh menjadi pribadi minder. Kurang percaya diri. Sensitif.
Intinya, sesuai pengalaman penulis, kaum difabel tidak membutuhkan belas kasih melainkan kesempatan. Berilah kesempatan. Banyak hal saya diskusikan tentang isu disabilitis dengan orang lain (yang memiliki kebijakan), bahkan masalah atau kendala penulis tetapi saya tidak pernah mendapat respon yang baik. Padahal saya mengharapkan kebajikan darinya.
Satu hal yang perlu dicamkan. Semua manusia (akan) cacat. Semua orang akan menua usianya atau mungkin mengalami kecelakan. Who knows? Untuk itu menangani kebutuhan kaum difabel menggunakan pendekatan hati dan logika. Kalau pakai pendekatan aturan, tidak akan ada jalan keluar. Apalagi aturan tentang kaum berkebutuhan khusus masih terbatas di negeri ini. Ya, dari berbagai masalah kaum difabel dapat menjadi dasar produk hukum.
"The most important thing is" saya tidak menulis tentang diri saya melainkan tentang mereka. Voice of the voiceless.
Ingat, ketika akhir zaman tiba; Tuhan tidak akan menilai kecacatan fisik manusia melainkan kecacatan hati, pikiran, dan jiwa kita. So, kepada kaum difable jangan putus asa dan menyerah dengan keadaan.***(gbm)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H