Di sebuah sekolah menengah atas di pinggiran kota yang asri, seorang guru bernama Bu Elya dikenal karena kreativitas dan ketulusannya dalam mengajar. Ketika sekolahnya mulai menerapkan Kurikulum Merdeka, Bu Elya sangat bersemangat untuk mencoba metode asesmen baru yang lebih fleksibel dan menyenangkan.
Suatu hari, Bu Elya memutuskan untuk melakukan asesmen diagnostik kepada siswa-siswanya. Di awal kelas, ia bertanya kepada Akmal, yang selalu dikenal sebagai anak yang cerdas namun sedikit jahil.
Bu Elya: "Akmal, apa yang paling kamu suka lakukan di sekolah?"
Akmal: "Saya suka tidur siang, Bu!"
Bu Elya tertawa kecil dan berkata, "Baiklah, kita akan mencari cara untuk memasukkan tidur siang ke dalam kurikulum, ya."
Kemudian, Bu Elya beralih ke Indira, yang terkenal sebagai anak yang sangat imajinatif.
Bu Elya: "Indira, bagaimana cara belajar yang paling kamu sukai?"
Indira: "Saya suka berpetualang dan bermain peran, Bu."
Bu Elya pun mulai berpikir keras bagaimana caranya menggabungkan petualangan dalam pembelajaran matematika dan sains.
Hari berikutnya, Bu Elya memulai eksperimen asesmen formatif. Dalam pelajaran matematika, ia membagi kelas menjadi beberapa kelompok dengan kegiatan berbeda. Ada kelompok yang menggambar bentuk-bentuk geometri, ada yang memainkan permainan matematika di komputer, dan ada juga yang menghitung kelereng di halaman sekolah.
Di salah satu sudut kelas, Akmal menggambar segitiga yang tiba-tiba berubah menjadi naga. "Bu, segitiga ini bisa berubah menjadi naga api! Lihat betapa hebatnya matematika!"
Di sisi lain, Indira sedang memimpin kelompoknya dalam permainan peran sebagai ilmuwan yang menemukan rumus matematika kuno di hutan ajaib. "Bu, kami menemukan cara baru untuk menghitung dengan menggunakan daun-daun ajaib!"
Melihat semua ini, Bu Elya tidak bisa menahan tawa. "Siapa yang menyangka asesmen bisa menjadi sebermain-main ini," pikirnya. Namun, di balik semua keriuhan, Bu Elya mulai menyadari bahwa siswa-siswanya benar-benar terlibat dan menunjukkan pemahaman yang mendalam.
Di akhir minggu, Bu Elya melakukan asesmen sumatif. Alih-alih memberikan ujian tertulis yang membosankan, ia meminta siswa untuk membuat proyek akhir. Akmal membuat diorama matematika yang berisi dunia naga segitiga, sementara Indira membuat cerita bergambar tentang petualangan ilmuwan di hutan ajaib.
Ketika Pak JBS selaku kepala sekolah mengunjungi kelas untuk melihat hasil asesmen, ia terpana melihat kreativitas dan semangat siswa-siswa Bu Elya. "Wah, Bu Elya, ini luar biasa! Bagaimana Anda bisa menciptakan lingkungan belajar yang begitu hidup dan penuh semangat?"
Bu Elya tersenyum bangga. "Ternyata, dengan sedikit imajinasi dan keberanian untuk mencoba hal-hal baru, asesmen bisa menjadi alat yang sangat efektif dan menyenangkan untuk belajar."
Sejak hari itu, kelas Bu Elya dikenal sebagai kelas yang penuh dengan tawa, kreativitas, dan pembelajaran yang bermakna. Kurikulum Merdeka bukan hanya sekadar program, tapi juga petualangan seru yang membuat setiap siswa merasa istimewa dan dihargai. Dan siapa sangka, asesmen yang dulunya dianggap menakutkan, kini menjadi bagian paling ditunggu-tunggu dalam proses belajar mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H