Tidak tahu kenapa, aku selalu merasa takut kalau melewati malam 1 suro. Mungkin karena aku pernah tidak bisa tidur akibat menonton film Malam 1 Suro yang dibintangi Suzanna itu. Suzanna yang menjadi kuntilanak, sundel bolong, berkeliaran di tengah malam. Melayang-layang, duduk di pohon, kadang sambil menangis, kadang tertawa cekikikan dengan suara khasnya itu. "Hihihihi ...."Â Dan yang paling menakutkan adalah saat dia mengganggu kita dan menampakkan wajah seramnya.
Sebenarnya mungkin tidak menakutkan, tapi di film itu digambarkan kalau siapapun yang bertemu dengannya pasti akan lari terbirit-birit sambil berteriak ketakutan. Lain halnya kalau penggambarannya adalah jika setiap orang yang ditemuinya selalu memberi perlawanan, sehingga tampak terlihat kalau kita tidak boleh takut dengan mahluk halus itu.
Tapi apa mau dikata, penampakan wajah seram, atau bahkan hanya sosoknya saja di pojok ruang, berdiri diam tanpa gerakan, dengan gaun putih panjangnya yang melambai, tetap membuat bulu tengkuk kita merinding berdiri. Tidak banyak orang yang langsung bereaksi menjadi pemberani jika bertemu mereka. Dan ketakutan itu hampir dimiliki semua orang. Termasuk saya.
Saya ingat, saat saya getol dengan film-film hantu. Hampir semua film hantu saya tonton. Menikmati proses ketakutan dalam menonton sendirian di tengah malam. Dan entah kenapa, menonton film hantu menjadi candu bagi saya. Saya selalu berburu DVD film hantu. Menonton di layar TV besar, sendirian, dengan suara yang dikeraskan, dan kadang, saya matikan lampu ruangan tempat menonton DVD itu, agar lahir suasana yang lebih horor. Mengasyikkan di dalam suasana seram.
Sampai saat saya menemukan film The Eye, film dari Thailand, yang menceritakan seorang perempuan penerima donor mata, namun akibatnya dia mudah melihat hantu. Penggambaran hantu yang muncul di film itu, cukup menakutkan bagi saya. Seperti nenek yang memanggil kita di lorong rumah sakit, hantu orang tua di lift bergerak perlahan dari belakang mendekati kita, dan hantu yang menerjang kita dengan cepat. Dan yang paling menyebalkan adalah bayangan-bayangan itu tetap melekat di pikiran saya.
Saya ingat sekali kejadian saat sehari setelah menonton film The Eye itu, saat saya dapat tugas malam di minggu itu. Saat itu tepat malam jumat. Kamar kerja saya berada di lantai 17. Saya bertugas mulai jam 17.00 hingga 01.00 dini hari. Entah kenapa, saat itu hanya saya sendiri yang masuk kerja. Teman-teman yang satu shift dengan saya kebetulan banyak yang ijin dan berhalangan. "Sial", cuma itu yang saya umpat.
Sekitar pukul 20.00, saya merokok di Smoking Room depan lift. Sendirian. Biasanya ada security yang menjaga, duduk di mejanya untuk menerima tamu. Namun kini meja security tersebut kosong. Biasanya pada jam itu, security akan memeriksa lantai lain untuk mematikan lampu dan mengunci ruangan lain. Jadilah saya sendirian merokok di lobby itu. Hanya suara hembusan angin AC yang terdengar. Saya berusaha tenang, tidak mau berpikir apapun, apalagi mengingat kalau pada saat itu tepat Malam 1 Suro.
Saat saya menghembuskan asap rokok di kesendirian, tiba-tiba lift berbunyi. Entah kenapa secara reflek saya menengok ke lift, yang memang langsung berhadapan dengan posisi saya duduk. Pintu lift terbuka. Tapi gelap. Dan kemudian lampu neon di dalamnya menyala berkedip-kedip. Saya terdiam. Saya hanya terpana melihat kejadian itu. Kalau lift terbuka dan lampu lift di dalamnya mulai menyala, itu artinya ... lift itu membuka karena ada yang meminta, bukan karena untuk menurunkan pengguna di dalamnya. Kebijakan pengelola gedung memang seperti itu, listrik dalam lift akan menyala jika digunakan, dan lampu akan padam jika ada jeda waktu karena tidak digunakan.   Hah .... Saya makin terdiam ... Lalu, siapa yang menekan tombol di lift itu? Padahal di sana cuma saya sendirian. Saya makin merinding mengingatnya. Perlahan kupandangi kiri kanan di sekitar lobby. Tetap masih sepi. Tidak ada siapapun. Cuma saya sendiri. Haduuuuh ...  Saya tidak mau memandang ke dalam lift. Saya tidak mau mendapati kalau saya ditampakan sosok putih, melayang masuk ke dalam lift, membelakangi saya, dan tiba-tiba menoleh menghadap saya. Hahhhh ... Saya tidak mau berpikir aneh-aneh. Namun saya juga tidak mau melihat ke arah lift. Yang saya dengar adalah suara lift menutup, dan lift mulai bergerak turun.
Akhirnya saya memberanikan diri untuk melihat pintu lift. Lampu angka 17 di atas pintu lift berubah ke lampu angka 16, lalu bergerak ke lampu angka 15, 14, 12. Dan tidak bergerak lagi di angka 12. Saya hanya bisa terpana melihat lampu angka tersebut. Saya pikir, ada yang turun atau naik di lantai 12.
Saya hisap rokok dalam-dalam, tidak mau berpikir ada kejadian apa di lantai 12. Namun anehnya, kenapa saya tidak bisa mengalihkan pandangan saya ke lampu angka lift itu. Apalagi saat lampu angka 12 tersebut tidak menyala. Mati. ... Saya makin diam. Tiba-tiba, lampu angka 14 menyala. Berarti .... lift bergerak ke atas, untuk membawa seseorang atau menjemput seseorang di lantai yang dituju. Wah, lift bergerak ke atas. Apa lift akan menuju ke lantai 17? Aku hanya bisa memandang angka-angka yang berubah di atas pintu lift.
15.
16.
Apakah akan berhenti di lantai 17? Aku tidak mau memikirkan hal-hal aneh. Aku tidak mau membayangkan kalau lift itu akan berhenti di lantai 17, dan terbuka di hadapanku, dan ... juga membayangkan kalau akan ada sosok putih keluar dari lift, tidak menapak lantai, dengan wajah seramnya ... dan ... tersenyum memandangku ...  Huuuaaaahhh, saya buru-buru mengalihkan pandanganku ke arah lain, menyampingkan muka saya dari lift yang masih terdiam karena pintunya masih tertutup. Saya tidak mau membayangkan hal seram itu.
Tapi entah kenapa, saya tidak memiliki niatan untuk beranjak dari Smoking Room tersebut. Aneh, saya hanya bisa duduk terdiam, seakan menunggu pintu lift tersebut terbuka. Entah kenapa, bulu kudukku makin merinding. Udara makin dingin. Rasanya badan saya kaku terdiam.
Dan ... "Tiing!" ... Lift berbunyi. Artinya ... lift berhenti di lantai saya, lantai 17. Hah. Saya mulai merasa takut. Takut membayangkan apa yang tadi saya pikirkan ternyata sekarang terjadi. Ketakutanku mulai bertambah. Terdengar suara lift yang berhenti bergerak. Saya mulai merapatkan badan saya ke kursi, mengerutkan badan, menempelkan wajah saya ke kursi agar tidak bisa melihat apa yang terjadi di dalam lift.
Dan kudengar suara pintu lift terbuka. Aku hanya diam mendengarnya. Aku masih tidak berani memandang lift. Tapi.... kudengar suara sepatu melangkah keluar dengan cepat. Saya makin tidak berani memikirkan hal lain. Memikirkan kalau sepatu itu menuju ke arahku. Yang kudengar hanyalah, suara sepatu itu berhenti di lobby depan lift.
(bersambung)
(2) Ketakutan lagi di Malam 1 Suro
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H