Suasana makin panas. Bau busuk sampah ikut bergumul di kerumunan orang yang terus bertambah, menutupi gubuk reyot seluas 2 kali peti mayat. Lalu lintas yang macet di sekitar pasar modern itu menjadi makin tidak terkendali. Puluhan pengendara motor berhenti untuk sekedar melongok. Bahkan pengemudi angkutan umum juga meninggalkan begitu saja kendaraannya dengan tidak memperdulikan gumaman kesal penumpangnya.
Lelaki itu tidak memperdulikan kerumunan. Ia sibuk membersihkan cairan lendir campur darah yang membanjiri lantai gubuknya. Dengan tangan kanannya, ia mengelap lantai dengan kertas-kertas koran yang tiap hari makin menumpuk karena tidak laku, padahal koran-koran itu terbitan hari itu. Sementara tangan kirinya memeluk bayi yang masih merah bersimbah cairan. Di hadapannya, istrinya masih terbaring mengerang.
"Kenapa ngga dibawa ke bidan sih?"
"Pinjami kain. Tolong pinjami dia kain."
"Astagfirullah"
"Ada yang punya gunting, ngga? Woi, ada yang punya gunting, ngga?"
Celoteh-celoteh terus bertebaran. Sementara kerumunan makin padat. Lelaki itu tidak bereaksi atas celotehan yang tidak jelas asalnya.
Tiba-tiba lelaki itu menoleh ke arah kerumunan. Didengarnya ada yang berteriak-teriak sesuatu. Dia memicingkan mata. Terlihat aura marah di sinar matanya.
"Ada tibum! Awas, ada penggusuran! Ada buldosernya!"
Lelaki itu menatap bayi di tangan kirinya. Lalu menatap wajah istrinya yang makin pucat. Dan kilatan lampu blitz tiba-tiba menerpanya.
"Pak, bayinya mau diberi nama siapa?"
Si lelaki melihat ke arah kerumunan.
"Suharto", lirihnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H