Di pesawat EVA Air; di atas Samudera Pasific (keliatan dari layar kursi pesawat); ketinggian 35001 ft.
Jarak tempuh Taipei ke Seattle adalah 6246 mil. Dua jam lagi jelang mendarat di Bandara Tacoma SeaTac. Saya bisa tidur sebentar, tapi nyenyak. Tapi, beberapa lama tak bisa tidur; karena di sebelah saya ada seorang anak muda; sebut saja Ronny namanya; masih usia 18 tahun, Arsenalmania. Ronny tidak sedang berlibur ke Seattle, tapi habis berlibur di Indonesia dan kini kembali melanjutkan studinya di Green River Community College di Auburn, Seattle.
Awalnya saya mengajak dia bicara bahasa Inggris, karena wajahnya yang oriental, dan hampir lebih dari 50% penumpang pesawat Taipei - Seattle itu memang berwajah oriental. Tahunya dia anak Jakarta.
Menarik obrolannya, karena Ronny bilang, kalau dia 'nekat'merantau ke Amerika Serikat di usia 16 tahun; melakukan riset tentang pendidikan di Seattle (pilihannya Seattle, karena dia suka elektronika dan teknologi, idolanya saja Thomas Alva Edison). Setelah cukup data, maka, ditinggalkannya bangku kelas 1 SMA di Indonesia, dan melanjutkan studi di college; kuliah sambil ikut High School Completion, untuk mendapat 'sertifikat' menyelesaikan SMA.
Ketika saya tanya, "kok milih studi di Amerika?"
"Cari suasana belajar yang beda aja" katanya.
Saya yakin, bukan soal suasana belajar; karena ketika obrolan dilanjutkan, ternyata juga bicara soal ketidakpuasan dengan sistem pendidikan Indonesia, yang dikatakannya "kalau ada yang mampu kuliah, kenapa harus menghabiskan 2 tahun sebagai siswa SMA?".
Hmmm... pemikiran yang bagus, dan lebih bagus lagi, Ronny tak menyerah dengan keadaan, tapi mengambil keputusan, menuliskan takdirnya sendiri.
Ada hal lain yang juga menjadi benang merah dari saya dengan Ronny. Nyatanya, Opa Ronny, sejak usia pensiun mulai menjadi community organizer di sebuah gereja di Bogor; mengurusi anak-anak yatim dan miskin; beragama Kristen tentunya. Sama dengan saya, yang juga mengurusi Pondok Yatim Menulis.
Saya langsung mengambil kesimpulan, mungkin saja ketulusan Opa-nya mengurusi anak-anak tak beruntung itu memberi berkat kepada cucunya, sehingga hidup cucunya menjadi lebih baik lagi. Saya yakin, jika kita mengurusi urusan Tuhan, maka Tuhan akan ikut mengurusi urusan kita... Saya yakin itu.
Opa-nya Ronny mengurusi urusan Tuhan; dan Tuhan pun ikut mengurusi urusan keturunan Opa-nya Ronny.
Itu saya sampaikan, dan layaknya anak muda yang lebih percaya bahwa segala sesuatu pasti ada kontribusi dari usaha pribadi, serba kalkulasi dari kerja keras, Ronny manggut-manggut saja.
Hmmm
Membayangkan Ronny yang melintasi samudera di jelang usia dewasa; saya melirik buku Dream From My Father-nya Obama. Disana bercerita soal keputusan Obama untuk mengikuti ibunya; Stanley Ann Dunham, melintasi Samudera Pasifik, untuk hidup bersama suaminya; Lolo Soetoro.
Obama bukan hanya sekedar ingin menemui Lolo Soetoro, ayah tirinya; tapi karena mencintai ibunya. Obama melintasi samudera karena mencintai ibunya. Dan ibunya lah yang menjadi sumur tak pernah kering yang menyirami karakter Obama.
Membayangkan Obama kecil naik pesawat, menyeberangi samudera; hampir sehari penuh (mungkin lebih); tentu bukan tentang anak yang akan bertamasya; akan tetapi seorang anak yang sedang menjemput takdirnya.
Karena, ketika tiba di Indonesia, Obama belajar banyak tentang toleransi dan memotret praktis dari kemiskinan. Toleransi dan kemiskinan yang sejak 70-an sudah dilihat Obama kecil sebagai masalah utama Indonesia; yang uniknya, hingga kini di Abad 21; itu tetap menjadi masalah utama; bahkan setelah Obama kecil menciptakan sejarah sebagai Presiden ke-44 AS.
Indonesia mungkin tak menjadi pilihan yang dikunjungi Obama jika saja ia tak mencintai ibunya, dan ibunya tak mencintai ayah tirinya.Ini terbukti, ketika Obama usia SMA; tak mau mengikuti ibunya kembali ke Indonesia untuk melakukan tugas lapangan. Obama meragukan apa yang bisa didapatnya di Indonesia dengan kondisi negara yang belum stabil betul.
Kekuatan cinta yang menjadi spirit Obama melintasi samudera. Dan itulah yang menjadi sumber dari tumbuhnya karakter Obama kecil; menjemput takdirnya yang kemudian menjadi pemimpin besar.
Banyak anak muda mengambil keputusan berani untuk mandiri; tinggal bagaimana mereka menjadikan karakternya sebagai solusi bagi banyak orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H