Perubahan iklim dunia telah berpengaruh besar terhadap sektor pertanian sehingga menimbulkan beragam permasalahan seperti perubahan musim kemarau dan penghujan serta munculnya serangan hama dan penyakit tanaman yang sulit dikendalikan. Kondisi ini menimbulkan permasalahan pangan di Indonesia yang perlu dicarikan solusinya. Jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah dengan laju rata-rata 1,49% per tahun, diperkirakan pada 100 tahun Indonesia merdeka, yakni pada tahun 2045 akan mencapai 450 juta jiwa membutuhkan kecukupan pangan yang kuat dan memadai.
Jika sektor pertanian hanya mengandalkan pengelolaan sumber daya alamnya secara konvensional maka ketahanan pangan tentu akan rapuh. Diperlukan upaya modernisasi dan penerapan teknologi yang tepat dalam pengelolaan sumber daya alam di sektor pertanian sehingga mampu mengatasi dampak pemanasan global seperti adanya pergeseran musim yang tidak menentu, timbulnya kekeringan pada masa tertentu, bahaya banjir yang mengancam di berbagai daerah dan meningkatnya serangan hama dan penyakit yang mengakibatkan gagal panen.
Selama ini upaya untuk meningkatkan produksi tanaman pangan selain dengan perbaikan dan pergiliran varietas adalah dengan memacu lahan-lahan pertanian agar subur dengan pemupukan. Seiring dengan desain varietas modern yang responsif terhadap pupuk anorganik, lahan juga diberi pupuk anorganik sesuai dengan tingkat kesuburannya. Hanya saja pengembalian bahan organic (jerami, gulma dan pupuk kandang) ke lahan pertanian cenderung semakin ditinggalkan seiring dengan respon dan kepraktisan yang tinggi yang dimiliki oleh pupuk anorganik dibandingkan dengan pupuk organic. Akibatnya lahan pertanian memiliki ketergantungan yang berkepanjangan terhadap pupuk dan pestisida anorganik. Â
Agar lahan pertanian tidak memiliki ketergantungan yang berkepanjangan terhadap pupuk dan pestisida anorganik maka teknologi ramah lingkungan diperkenalkan oleh para peneliti dan penyuluh. Prinsip dasar penerapan teknologi ramah lingkungan adalah menyuburkan lahan dan menyehatkan tanaman. Salah satu system budidaya tanaman yang ramah lingkungan adalah SRI (System of Rice Intensification). Â Metode SRI Organik Indonesia selengkapnya merujuk pada tiga landasan pengembangan. Rujukan pertama adalah membuat tanaman padi memiliki banyak anakan. Rujukan kedua menghilangkan genangan air di sawah karena sekalipun padi mampu beradaptasi baik dengan air, tetapi padi bukanlah tanaman air. Rujukan ketiga mengganti konsep pemupukan dengan konsep baru yaitu melengkapi tanaman dengan bioreaktornya sendiri (Purwasasmita dan Sutaryat, 2012).
 Rujukan pertama dilakukan dengan menanam bibit padi muda umur 7 hari yang masih membawa keping biji sebagai bekal makanannya. Disamping itu bibit ditanam secara dangkal, tunggal (satu bibit untuk satu titik tanam), berjarak renggang (> 30 cm) antara satu titik tanam dengan satu titik tanam lainnya. Implikasi dari hal ini adalah berkurangnya jumlah benih padi yang diperlukan secara drastis dari semula butuh 30-50 kg per ha menjadi 3-5 kg per ha.
Rujukan kedua dilakukan dengan membuat kondisi air macak-macak. Karena jika terendam kebutuhan udara untuk akar akan dipenuhi dari daun dengan mengubah pipa kapiler yang biasa membawa cairan dari akar ke daun menjadi ruang yang lebih besar untuk membawa udara dari daun ke akar. Implikasinya fungsi akar akan berkurang tinggal -1/2 nya saja yang akan mengganggu keseimbangan mahluk hidup yang hidup di sekitar akar.
Rujukan ketiga dipenuhi dengan menggunakan bahan organic (kompos/pupuk kandang) sebagai generator siklus ruang dan mikroorganisme local (MOL) sebagai generator siklus kehidupan yang akhirnya menjadi siklus nutrisi yang sangat andal.
Percobaan di lapangan menanam padi dengan menggunakan bahan organic dan MOL tanpa menggunakan pupuk dan pestisida kimia selama 24 musim tanam mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas produknya secara sangat signifikan dan berkelanjutan.  Hal ini bisa dijelaskan dengan mekanisme rekayasa intensifikasi proses yang menyediakan ruang proses yang lebih kecil sehingga mampu mempercepat proses peningkatan produktivitas dan membuka peluang proses menjadi lebih selektif sehingga mampu meningkatkan kualitas produk  (Purwasasmita dan Sutaryat, 2012).
Penjelasan yang lebih sederhana adalah dengan pemberian pupuk organic lahan menjadi gembur, ruang udara tersedia cukup memadai, pertukaran oksigen dalam tanah lancar. Saat MOL diberikan mikroorganisme dapat berespirasi dengan baik karena oksigen tersedia secara memadai. Mikroorganisme memiliki energy yang cukup untuk mengurai pupuk atau bahan organic menjadi produk hara yang tersedia untuk diserap oleh perakaran tanaman. Dengan demikian lahan menjadi subur dan tanaman tumbuh sehat, memiliki anakan  maksimal (> 40 anakan)  sehingga dapat berproduksi tinggi (> 10 ton per ha).  Â
Di dalam tanah hidup beragam jenis organisme yang dapat dibedakan menjadi jenis hewan (fauna) maupun tumbuhan (flora), baik yang berukuran mikro maupun makro. Organisme yang hidup dalam tanah ada yang bermanfaat, ada yang mengganggu dan ada yang tidak bermanfaat tetapi tidak mengganggu pertumbuhan tanaman. Beberapa jenis organisme yang mengganggu pertumbuhan tanaman antara lain nematode parasit, Pythium dan Fusarium. Sedangkan yang bermanfaat antara lain cacing tanah, bakteri yang dapat merubah CO (beracun) menjadi CO2, pengikat N dari udara, algae meningkatkan kadar bahan organic tanah dan pengikat N udara, Actinomycetes penghasil antibiotic yang sangat bermanfaat bagi peningkatan imunitas tanaman.
Kadar bahan organic yang penting dan dapat meningkatkan kesuburan tanah adalah humus yang dibentuk tidak saja dari proses penghancuran bahan organic kasar menjadi bahan organic halus tetapi juga merupakan proses pembentukan senyawa-senyawa baru (sintesis) dari hasil dekomposisi bahan organic (Hardjowigeno, 1989). Humus yang terdapat dalam tanah juga menjadikan tanah memiliki kemampuan untuk menahan air lebih baik, serta menjaganya dari risiko erosi. Bahan organik sebagai penyusun humus tersebut berasal dari sampah-sampah organik yang terurai dan menghasilkan partikel-partikel kecil bermuatan negatif. Kemudian partikel-partikel kecil bermuatan negatif tersebut bertugas untuk menyerap nutrisi seperti kalsium dan magnesium yang dibutuhkan oleh tanaman. Oleh karena itu, pada umumnya tanah kaya humus memiliki ciri-ciri berwarna gelap dengan bintik-bintik putih. (https://rimbakita.com/tanah-humus/).
Lapisan humus dalam tanah pertanian harus menjadi perhatian serius terutama pada budidaya tanaman ramah lingkungan. Kadarnya tergantung dari interaksi antara bahan organic dengan organisme decomposer yang akan mengurai sekaligus mensintesis senyawa-senyawa baru yang bermanfaat untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Keberadaan lapisan humus membantu penyerapan hara oleh perakaran tanaman dalam kondisi yang optimum sehingga mendorong pertumbuhan dan perkembangan tanaman menjadi sehat, mampu menyimpan air yang cukup lama sehingga adaptif terhadap cekaman kekeringan yang terjadi pada era perubahan iklim seperti sekarang ini.
Dengan demikian teknologi ramah lingkungan yang bertumpu pada upaya menyuburkan lahan dan menyehatkan tanaman pada akhirnya dapat menunjang budidaya tanaman dengan baik sehingga mampu berproduksi tinggi meskipun didera oleh perubahan iklim dalam bentuk antara lain cekaman kekeringan, serangan hama dan penyakit karena lahan memiliki retensi yang tinggi dalam menyimpan air dan tanaman memiliki imunitas alami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H