Keropak masjid baik yang beredar dinamis saat hari Jum'at maupun yang statis merupakan tempat penampungan dana umat yang cukup efektif untuk membiayai operasional dan program-program masjid yang dikelola Dewan Kemakmuran Mesjid (DKM). Setiap jama'ah mesjid menyisihkan sebagian rezkinya dengan memasukannya kedalam keropak masjid sebagai bentuk infaq atau shadaqah dengan maksud mengharap ridha Allah SWT semata.
Sebagai dana infaq atau shadaqah yang tersimpan pada keropak masjid kedudukan dan pendayagunaannya berbeda dengan dana zakat yang dibatasi secara rigid dengan 8 ashnaf (QS.9 : 60). Artinya pendayagunaan  dana keropak masjid lebih fleksibel sehingga bisa digunakan untuk kepentingan operasional masjid dan pembiayaan program-program masjid termasuk dijadikan sebagai sumber pembiayaan berkah untuk mengentaskan kemiskinan dan mengatasi pengangguran anggota masyarakat yang ada di sekitar masjid maupun di luar kawasan masjid.
Tidak sedikit takmir masjid mengumumkan saldo kas masjid yang bersumber dari keropak dan diluar kerompak dalam jumlah puluhan atau bahkan ratusan juta rupiah. Pertanyaanya saldo yang berjumlah puluhan atau ratusan juta itu disimpan dimana, di Bank atau dirumah bendahara takmir masjid?. Seandainya uang kas masjid itu disimpan di Bank, pertanyaan lanjutannya apakah perbankan ramah terhadap program-program pengentasan kemiskinan dan pengangguran yang dilakukan secara swadaya oleh anggota masyarakat? Â
Belum lagi jika dibalik saldo kas masjid yang jumlahnya puluhan atau ratusan juta rupiah itu juga sama tidak ramahnya terhadap nasib anggota masyarakat yang boleh jadi sedang kesusahan secara ekonomi dan finansial. Maka kita patut merenung pada pesan Rasulullah SAW yang mengecam "seseorang yang didapati tidur kekenyangan sementara disekitarnya terdapat tetangganya yang tidak tidur karena kelaparan. Demikian juga mengecam seseorang yang bangun pagi-pagi tetapi hanya memikirkan urusannya sendiri sama sekali tidak pernah memikirkan urusan orang banyak". Â
Bayangkan jika seseorang itu misalnya pengurus takmir masjid  yang setiap Jum'at mengumumkan dengan penuh rasa bangga bahwa saldo kas masjidnya berjumlah puluhan atau bahkan ratusan juta tetapi saldo kas masjid yang besar itu sama sekali tidak pernah menyentuh anggota masyarakat yang hidupnya merana karena miskin dan menganggur.
Atau bayangkan  jika seseorang itu misalnya pejabat atau pengusaha (kaum aghniya/kaum kaya) yang dalam setiap obrolan di teras masjid setelah shalat selalu memperdengarkan kesuksesannya dalam mengumpulkan harta kekayaan, tetapi hidupnya dikelilingi tetangga yang miskin dan pengangguran yang boleh jadi hari-harinya dipenuhi dengan rasa lapar dan haus.
Maka tidak ada jalan, selain jalan dakwah untuk mengingatkan kepada keduanya agar hatinya tersentuh dan fikirannya terbuka.Â
Saldo kas yang bersumber dari keropak masjid dan harta kekayaan yang bersumber dari kaum aghniya itu perlu didayagunakan menjadi sumber pembiayaan bagi usaha-usaha yang dilakukan oleh fakir miskin dan  para pengangguran yang ada di sekitar masjid dan tempat tinggal kaum aghniya tersebut, antara lain dalam bentuk syirkah.
Syirkah adalah bentuk kerjasama usaha yang Allah SWT hadir meridhai selagi kedua pihak yang bersyirkah menjaga amanahnya. Demikian juga Allah SWT akan murka jika keduanya saling berkhianat. Bentuknya bisa syirkah mudharabah jika salah satu pihak sebagai pemodal dan pihak yang lainnya sebagai pengelola.
Setidaknya ada tiga tahapan dalam mengentaskan komunitas miskin atau pengangguran. Pertama, pada kondisi apa komunitas itu berada. Jika dalam kondisi darurat, umpanya sedang ditimpa kelaparan maka dana keropak masjid atau dana perorangan (kaum aghniya) digunakan untuk mengatasinya dalam bentuk donasi (diambil dari dana zakat, atau dana infaq atau shadaqah murni) tanpa pengembalian.Â
Kedua, pada kondisi dimana komunitas memiliki potensi usaha maka terlebih dahulu diberikan pelatihan keterampilan dan aturan main yang jelas bagi komunitas. Sehingga saat dana keropak masjid atau dana perorangan (kaum aghniya) digunakan untuk membiayai usahanya disertai pengembalian, komunitas mampu mengembalikannya. Pada tahap ini takmir masjid bekerjasama dengan kaum aghniya merekrut remaja masjid yang berpendidikan dan terlatih untuk menjadi relawan pendamping usaha komunitas. Juga perlu merekrut para ustadz yang berpendidikan dan terlatih untuk menjadi relawan pendamping spiritual komunitas dalam bentuk mentoring agar komunitas yang sedang memutar dana usaha tetap amanah.