A.LATAR BELAKANG
Diskursus tentang masalah birokrasi di Indonesia saat ini, tidak dapat dilepaskan dari pengaruh praktek birokrasi semasa Orde Baru yang efeknya masih dirasakan sampai kini. Publik harus membayar mahal untuk satu jenis layanan, ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian siapa yang bertanggung jawab dalam hal mengurus pelayanan, adalah contoh kecil rusaknya birokrasi.
Wajah penyelenggaraan birokrasi akan tercermin pada hasil produk yang berupa adanya standar pelayanan terhadap publik atau masyarakat. Dalam rangka merasionalisasikan birokrasi akan dapat terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak terkait dengan penyelenggaraan publik. Sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak dan sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik. Dimana pelayanan publik harus sesuai dengan pengaturan dan perlindungan serta kepastian hukum bagi masyarakat. Profesionalitas, partisipatif, persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, keterbukaan, akuntabilitas, penyedia fasilitas, dan perlakuan khusus bagi kelompok yang menyandang keterbatasan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan sekaligus keterjangkauan, hanya bisa diwujudkan manakala kesadaran akan tanggung jawab pejabat publik sebagai pelayan publik telah tertanam dalam diri setiap pejabat. Atas dasar itu, muncullah keinginan untuk memperbaiki tatanan birokrasi dengan tajuk gagah bernama Reformasi Birokrasi, yang dalam tulisan ini selanjutnya disebut reformasi birokrasi.
Reformasi birokrasi dirasakan semakin mendesak karena pada awalnya produk hukum yang ada tidak dapat berjalan dengan baik. Reformasi birokrasi merupakan upaya-upaya untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi buruknya birokrasi di Indonesia sebagai bagian dari usaha perbaikan kehidupan bangsa. Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintah terutama menyangkut aspek organisasi, tatalaksana, peraturan perundang-undangan, SDM aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, pola pikir dan budaya kerja aparatur.
Jika waktunya dihitung bersamaan dengan era reformasi secara umum, maka dapat dikatakan pelaksanaan reformasi birokrasi di Indonesia sudah dimulai pada tahun 1998 sejak berakhirnya kepemimpinan Presiden Soeharto. Adanya reformasi menuntut perubahan di berbagai lini kehidupan, baik sosial, ekonomi, politik, hukum termasuk dalam konteks pemerintahan. Perubahan ini sebagai konsekuensi dari harapan akan cita-cita untuk membawa Indonesia keluar dari masalah. Kemudian Presiden SBY mempertegas komitmennya untuk menuntaskan agenda reformasi birokrasi sebagai bagian dari program kerja Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II.
Adapun institusi yang bertanggungjawab untuk melaksanakan urusan pemerintahan di bidang reformasi birokrasi adalah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB). Meskipun reformasi birokrasi semestinya menjadi tanggung jawab bersama, tetapi pemerintah, melalui Kemenpan dan RB diharapkan menjadi lokomotif penggerak kebijakan di bidang reformasi birokrasi tersebut. Setidaknya ada 8 (delapan) area perubahan yang telah ditetapkan Kemenpan RB sebagai indikator dalam reformasi birokrasi yaitu: organisasi, tata laksana, kelembagaan, peraturan perundang-undangan, SDM Aparatur, akuntabilitas, pelayanan publik, pola pikir (mindset), dan budaya kerja.
B.PERUMUSAN MASALAH
Tahun demi tahun berlalu, pimpinan negara berganti, zaman berubah, namun apabila ditanya sejauh mana reformasi birokrasi dirasakan pengaruhnya masyarakat atau apakah reformasi birokrasi sudah sesuai dengan tujuan yang diharapkan yaitu memperbarui tatanan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, maka dapat dipastikan jawabannya akan beragam.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dan dengan menggunakan acuan 8 (delapan) area perubahan sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1.Apakah reformasi birokrasi di Indonesia dapat dikatakan gagal?
atau sebaliknya
2.Apakah reformasi birokrasi di Indonesia dapat dikatakan berhasil?
C.BIROKRASI, REFORMASI BIROKRASI, DAN TUJUAN REFORMASI BIROKRASI
Secara harfiah, birokrasi berasal dari kata “bureau” yang berarti meja atau kantor; dan kata “kratia” (cratein) yang berarti pemerintah/rakyat. Pada mulanya, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada suatu sistematika kegiatan kerja yang diatur atau diperintah oleh suatu kantor melalui kegiatan-kegiatan administrasi. Dalam konsep bahasa Inggris secara umum, Birokrasi disebut dengan “civil service”. Selain itu juga sering disebut dengan public sector, public service, atau public administration. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, birokrasi adalah: (1) sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah yang berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan; (2) cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya.
Max Weber, menyatakan bahwa birokrasi merupakan organisasi formal bersifat hierarki, yang ditetapkan oleh aturan-aturan legal rasional untuk mengoordinasikan pekerjaan orang-orang untuk kepentingan pelaksanaan tugas administrasi agar mencapai tujuan dengan lebih efektif dan efisien. Ciri birokrasi ialah adanya sebuah pembagian kerja secara hierarkis dan rinci yang didasarkan pada aturan-aturan tertulis yang diterapkan secara impersonal, yang dijalankan oleh staff yang bekerja full time, seumur hidup dan professional, yang sama sekali tidak turut memegang kepemilikan atas “alat-alat pemerintahan” atau pekerjaan, maupun keuangan jabatannya. Mereka hidup dari gaji dan pendapatan yang diterimanya dan tidak didasarkan secara langsung atas dasar kinerja mereka.
Kemudian apabila dikaitkan dengan Reformasi, kata Reform menurut Oxford Advanded Learners Dictionary adalah “change that is made to a social system, an organization, etc. in order to improve or correct it”. Rumusan tersebut menggambarkan bahwa pada dasarnya reformasi adalah “mengubah, meningkatkan, memperbaiki atau membuat sesuatu menjadi ‘lebih baik’ dari sesuatu yang sudah ada”. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, reformasi adalah “perubahan radikal” untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) di suatu masyarakat atau negara.
Menurut Weber sebagaimana dikutip Setiyono, RB merupakan upaya-upaya strategis dalam menata kembali birokrasi yang sedang berjalan sesuai prinsip-prinsip span of control division of labor, line and staff, rule and regulation, and professional staff.Reformasi birokrasi merupakan perubahan (transformasi) yang terencana, yang berfokus pada perubahan kelembagaan yang berdampak pada perubahan ketatalaksanaan dan kultur birokrasi. Sedangkan menurut Eko Prasojo, pada dasarnya, konsep reformasi birokrasi merupakan suatu kegiatan penataan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan agar tercapai suatu tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).
Bentuk reformasi birokrasi di negara berkembang yang pada umumnya dilakukan melalui dua strategi, yaitu: (1) merevitalisasi kedudukan, peran dan fungsi kelembagaan yang menjadi motor penggerak reformasi administrasi, (2) menata kembali sistem administrasi negara baik dalam hal struktur, proses, sumber daya manusia serta relasi antara negara dan masyarakat.Sedangkan secara umum tujuan reformasi birokrasi adalah membangun aparatur negara yang efektif dan efisien serta membebaskan aparatur negara dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan perbuatan tercela lainnya agar birokrasi pemerintah mampu menghasilkan dan memberikan pelayanan publik yang prima.
Sederhananya, RB dimaknai sebagai suatu perubahan terencana guna menciptakan good governance. Di Indonesia, isu tentang RB masih terus diperbincangkan di banyak kesempatan dan oleh berbagai kalangan, baik dalam forum seminar, sidang kabinet sampai rapat-rapat dinas di tingkat pemerintah daerah, bahkan secara terbuka dan meluas di media massa. Namun sampai saat ini nampaknya belum ada suatu formula RB yang tepat untuk dapat diterapkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi pemerintah kita saat ini, atau dapat dikatakan kita sedang mencari bentuk ideal dari RB itu sendiri.
D.KEGAGALAN REFORMASI BIROKRASI
Birokrasi sebagai suatu sistem yang dijalankan oleh manusia, akan berkembang sesuai dengan perilaku manusia yang menjalankannya. Dengan demikian wujud birokrasi merupakan cerminan dari para pengelolanya. Sehingga, walaupun upaya reformasi birokrasi dilakukan melalui pendekatan yang sama, namun hasil tidak selalu sama pada setiap negara. Hal ini disebabkan kuatnya pengaruh sosial budaya masyarakat terhadap birokrasi, meskipun di beberapa negara justru birokrasi dapat mengintervensi perilaku dan kultur individu.
Yang menjadi masalah adalah yaitu kita belum dapat menemukan ukuran sejauhmana reformasi birokrasi itu dianggap berhasil atau gagal. Syarat keberhasilan suatu reformasi birokrasi bukanlah sekedar perubahan dalam tataran sistem dan struktur birokrasi saja, namun harus meliputi perubahan perilaku dan budaya pejabat publik dan masyarakat pada umumnya. Disisi lain, pemerintah harus dapat menciptakan stabilitas politik agar proses reformasi dapat berjalan dengan efektif, yaitu dengan menciptakan birokrasi yang profesional dan netral dari pengaruh politik.
Dari 8 (delapan) area perubahan sebagaimana dikemukakan di atas, penulis berpendapat bahwa area-area yang gagal di-reform, adalah sebagai berikut:
1.Organisasi
Dapat dikatakan bahwa organisasi pemerintahan belum tepat fungsi dan tepat ukuran. Hal ini dapat ditandai dengan masih banyak satuan-satuan kerja dalam organisasi yang jumlahnya lebih banyak dan lebih besar daripada fungsi yang harus dijalankannya, atau istilahnya “kaya struktur-miskin fungsi”. Struktur-struktur yang dibentuk, hanyalah akal-akalan untuk membagi-bagi “kue” kekuasaan dalam jabatan-jabatan tertentu, sedangkan urgensinya masih dapat dipertanyakan.
Permasalahan organisasi bukan hanya pada jumlah PNS yang terlalu banyak, tetapi juga pada disparitas atau ketidakmerataan yang terjadi. Memang ciri ini tak dapat dilepaskan dari kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan, yang membuat diversitas (keberagaman) dan disparitas (ketidakmerataan) kian kentara. Disparitas dalam manajemen birokrasi di Indonesia bukan hanya dari sisi jumlah SDM-nya, tetapi juga kompetensi, dan kemampuan dukungan anggaran. Banyak lagi SDM yang memiliki kompetensi, kemampuan, dan keterampilan namun diberikan jabatan yang tidak sesuai bahkan tidak sedikit pula SDM yang tidak memiliki kompetensi apa-apa namun diberikan tanggung jawab atau kewenangan.
Dari aspek beban kerja, banyak satuan kerja yang secara beban kerja seharusnya dikerjakan oleh banyak SDM, namun justru SDM yang ditempatkan di satuan kerja tersebut sedikit, tidak sesuai dengan beban kerjanya, sehingga hasil program kerja tidak optimal. Sebaliknya, banyak juga satuan kerja yang secara beban kerja tidak memerlukan banyak SDM, namun jumlah SDM-nya melimpah ruah, sehingga banyak yang menganggur dan tidak mengerjakan apa-apa. Hal ini terjadi karena organisasi yang dibentuk tidak sesuai dengan kebutuhan dan tidak mempertimbangkan fungsi-fungsi yang akan dilaksanakannya.
2.Peraturan Perundang-undangan
Terdapat permasalahan klasik terkait peraturan perundang-undangan, yaitu masih banyaknya peraturan perundang-undangan, khususnya di bidang aparatur negara, yang tumpang tindih, inkonsisten, tidak jelas, dan multitafsir. Sedikit banyak, hal ini merupakan implikasi dari pembagian kewenangan yang kurang jelas kepada institusi-institusi yang menangani masalah aparatur negara. Dapat kita ambil contoh, kewenangan yang dimiliki Kemenpan RB dan Badan Kepegawaian Negara dalam merumuskan kebijakan. Kemenpan RB beranggapan yang berhak merumuskan kebijakan umum hanyalah Kementerian bukan LPNK, sedangkan Badan Kepegawaian Negara beranggapan bahwa berdasarkan undang-undang yang mengatur mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, LPNK juga dapat merumuskan kebijakan. Ketidaksepahaman terkait kewenangan ini berimplikasi pada ketidaksingkronan produk peraturan perundang-undangan yang dibuatnya.
Selain itu, masih ada pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, baik yang sederajat maupun antara peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan di bawahnya atau antara peraturan pusat dengan peraturan daerah. Di samping itu, masih banyak peraturan perundang-undangan yang belum disesuaikan dengan dinamika perubahan penyelenggaraan pemerintahan dan tuntutan masyarakat, yang belakangan ini direspon Rancangan Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara.
3.Akuntabilitas
Dalam kaitan dengan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi, kondisinya masih banyak dikeluhkan masyarakat. Meskipun perlahan mengalami peningkatan, capaian tersebut masih menunjukkan kapasitas kelembagaan/efektivitas pemerintahan di Indonesia tertinggal jika dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara lain. Kondisi ini mencerminkan masih adanya permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan, seperti kualitas birokrasi, pelayanan publik, dan kompetensi aparat pemerintah.
Selanjutnya, berdasarkan penilaian terhadap Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), pada tahun 2009 jumlah instansi pemerintah yang dinilai akuntabel baru mencapai 24%. Memang terdapat peningkatan yang cukup signifikan dari LAKIP tahun 2012, di mana terdapat 3 (tiga) instansi pemerintah yang mendapat penilaian sangat baik (predikat A). Gambaran di atas mencerminkan kondisi birokrasi kita saat ini. Akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, kualitasnya masih perlu banyak pembenahan termasuk dalam penyajian laporan keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan K/L dan Pemda masih banyak yang perlu ditingkatkan menuju opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
4.Pelayanan Publik
Dalam hal pelayanan publik, pemerintah belum dapat menyediakan pelayanan publik yang berkualitas sesuai dengan tantangan yang dihadapi, yaitu perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat. Hal ini dapat dilihat dari hasil survey integritas yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2009 yang menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik Indonesia baru mencapai skor 6,64 dari skala 10 untuk instansi pusat, sedangkan pada tahun 2008 skor untuk unit pelayanan publik di daerah sebesar 6,69. Skor integritas menunjukkan karakteristik kualitas dalam pelayanan publik, seperti ada tidaknya suap, ada tidaknya Standard Operating Procedures (SOP), kesesuaian proses pelayanan dengan SOP yang ada, keterbukaan informasi, keadilan dan kecepatan dalam pemberian pelayanan, dan kemudahan masyarakat melakukan pengaduan.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik menegaskan, bahwa negara berkewajiban melayani setiap warga negara untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya, seperti pendidikan dan kesehatan. Namun kenyataannya kualitas pelayanan publik dirasa belum membaik. Karena dirasakan langsung oleh masyarakat, maka masyarakat dapat menilai langsung bagaimana pemerintah melalui institusi-institusi terkait melaksanakan pelayanan publik.
Pelayanan publik erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, dari pagi hingga malam hari. Kita dapat ilustrasikan sebagai berikut: Mulai dari sektor transportasi di pagi hari. Keberadaan bus Transjakarta atau kereta Commuterline yang dibungkus dalam bentuk badan layanan umum (BLU) pun tidak sekeren namanya. AC mati, sering terlambat, armada tidak memadai. Siang hari mengurus perpanjangan SIM, maka luar biasanya antrenya, kecuali melewati “jalur istimewa” bagi yang memiliki akses berlebih. Menjelang sore, ketika mendaftar pernikahan ke KUA maka “biaya administrasi” menunggu. Malam hari kembali ke rumah, melewati sepanjang jalan protokol, ternyata lampu penerangan jalan tak ada satupun yang menyala.
Dari ilustrasi sederhana tersebut, dapat dengan mudah kita ukur sejauh mana pelayanan publik yang sudah diberikan pemerintah kepada masyarakat. Pelayanan publik yang prima dalam arti pelayanan yang cepat, tepat, adil, dan akuntabel, ditandai oleh pelayanan tidak berbelit-belit, informatif, akomodatif, konsisten, cepat, tepat, efisien, transparan dan akuntabel, menjamin rasa aman, nyaman, dan tertib, kepastian (persyaratan biaya waktu pelayanan dan aturan hukum), dan tidak dijumpai pungutan tidak resmi, dapat dikatakan belum sepenuhnya terwujud. Pelayanan publik belum dapat mengakomodasi kepentingan seluruh lapisan masyarakat dan belum memenuhi hak-hak dasar warga negara/penduduk. Penyelenggaraan pelayanan publik belum sesuai dengan harapan bangsa berpendapatan menengah yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat.
5.Pola Pikir (Mindset) dan Budaya Kerja
Penulis berpendapat bahwa pola pikir dan budaya kerja birokrat belum sepenuhnya mendukung birokrasi yang efisien, efektif dan produktif, dan profesional. Selain itu, birokrat belum benar-benar memiliki pola pikir yang melayani masyarakat, belum mencapai kinerja yang lebih baik (better performance), dan belum berorientasi pada hasil (outcomes).
Sistem birokrasi di Indonesia sudah mengakar kuat, termasuk kaitannya dengan pola pikir dan budaya kerja yang sudah tertanam dalam diri birokrat sejak lama, membuatnya sulit diubah. Adagium populer yang berlaku sejak lama bagi seorang PNS di republik ini antara lain yaitu “PGPS=Pinter Goblok Penghasilan Sama” yang tergabung dalam Brigade 804 (datang jam 8, kinerja 0, pulang jam 4) sedikit banyak menggambarkan birokrasi kita. Bukan rahasia lagi apabila terdapat sindiran berupa: “Buat apa kita capek-capek mikirin kerjaan, lha wong dia yang kerjanya seharian main catur aja penghasilannya sama dengan kita!”.
Ada pula yang selalu menyalahkan sistem birokrasi yang telanjur dianggap bobrok sehingga seorang birokrat tinggal mengikuti sistem yang ada. Sikap perilaku seperti itu sedikit banyak telah tertanam dalam diri birokrat kita, yang berimplikasi pada kinerja yang dihasilkan menjadi buruk. Banyak sintesa, walaupun belum terbukti kebenarannya, yang menyatakan budaya kerja yang buruk yang dilakukan oleh birokrat disebabkan karena mereka digaji terlebih dahulu sebelum bekerja, lain halnya misalnya dengan swasta atau korporasi dimana seseorang harus bekerja terlebih dahulu baru dibayar.
Pemberian tunjangan kinerja (remunerasi) memang sedikit memperbaiki pola pikir dan budaya kerja birokrasi, namun karena sifatnya parsial dan belum merata (di seluruh institusi pemerintah), maka pola pikir dan budaya kerja yang buruk masih sangat banyak ditemukan dalam tubuh birokrasi kita.Setelah ramai pemberitaan mengenai rekening gendut kepolisian, kini muncul kasus rekening gendut pegawai negeri sipil (PNS) berusia muda. Akibatnya, menurut sebagian kalangan, kebijakan remunerasi dan reformasi birokrasi yang digaungkan pemerintah untuk menekan dan mengatasi masalah korupsi di Kementerian/Lembaga dinilai telah gagal.
E.KEBERHASILAN REFORMASI BIROKRASI
Rasanya tidak cukup adil, apabila usaha-usaha yang telah dilakukan pemerintah untuk melakukan bureaucracy reform nirapresiasi. Berdasarkan pertimbangan seobjektif mungkin, penulis berpendapat bahwa 3 (tiga) dari 8 (delapan) area perubahan reformasi birokrasi dapat dikatakan cukup berhasil. Berikut ulasannya:
1.Kelembagaan
Sektor kelembagaan dapat dikatakan sebagai area perubahan yang berhasil direalisasikan. Diawali oleh Kementerian Keuangan yang telah melakukan restrukturisasi kelembagaan melalui perubahan, pembentukan, dan penggabungan unit-unit kerjanya. Diikuti oleh Kemenpan RB yang memangkas beberapa unit eselon I dan eselon II di lingkungannya. Demikian halnya yang dilakukan oleh Lembaga Administrasi Negara dan Badan Kepegawaian Negara, yang menghapus beberapa jabatan bahkan sampai tingkat eselon IV. Baru-baru ini, ada 6 Kementerian/Lembaga yang mengusulkan restrukturisasi kelembagaan yaitu Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Kementerian BUMN.
Reformasi kelembagaan ini erat kaitannya dengantujuan efisiensi pemerintahan, salah satunya dengan menekan belanja pegawai/pejabat yang menduduki jabatan-jabatan tertentu. Dengan jumlah jabatan yang semakin rasional, maka kinerja yang dihasilkan juga sejalan dengan beban yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, efektivitas pun dapat terwujud, karena semakin sedikitnya alur tata kerja yang ditempuh sebagai konsekuensi dari dihapusnya jabatan-jabatan tertentu dalam organisasi.
Puncaknya adalah ketika pemerintah menghapuskan (gabung atau bubar) 10 (sepuluh) Lembaga Non Struktural (LNS)yang keberadaannya dianggap “ada dan tiada”. Alasan lain pembubaran atau penggabungan LNS yaitu karena tugas dan fungsinya tumpang tindih dengan lembaga lain, lembaganya sudah tidak aktif, bahkan ada yang belum pernah dibentuk. Adapun LNS yang digabungkan atau dibubarkan antara lain adalah Komisi Hukum Nasional (KHN) serta P3D dialihkan ke Kementerian Hukum dan HAM, Dewan Buku Nasional (tugas dan fungsinya dialihkan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional (DEPANRI) yang tugas dan fungsi perumusan kebijakannya dialihkan ke Kementerian Riset dan Teknologi, dan beberapa LNS yang lain.
2.Tata Laksana
Tata laksana erat kaitannya dengan manajemen organisasi. Awalnya, Kementerian Keuangan telah memberikan contoh perubahan ketatalaksanaan dengan membuat ribuan Standard Operating Procedure (SOP) sebagai pedoman untuk menghilangkan red tape practicesdalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, yang kemudian diikuti oleh institusi-institusi lainnya.
Saat ini, ketatalaksanaan aparatur pemerintah disederhanakan, ditandai oleh mekanisme, sistem, prosedur, dan tata kerja yang tertib, efisien, dan efektif, melalui pengaturan ketatalaksanaan yang sederhana. Adagium populer “kalau bisa diperlambat, kenapa harus cepat?” perlahan memudar. Standar operasi, sistem, prosedur, mekanisme, tata kerja, hubungan kerja dan prosedur kerja dituangkan dengan jelas bahkan dibungkus dengan aturan formal. Proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi dan pengendalian dilakukan dengan seksama.
Penerapan perkantoran elektronis dan pemanfaatan teknologi informasi (e-government) juga mulai banyak dipraktekkan. Beberapa yang populer antara e-LPSE untuk pengadaan barang dan jasa, SAPK untuk pelayanan kepegawaian, pelayanan imigrasi online, dan lain sebagainya. Birokrasi kian ditata menjadi efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan hemat. Paperless principe yang lazim digunakan di perusahaan swasta juga banyak di-adopt oleh birokrasi kita.
Fenomena lain yang juga menarik ialah banyaknya unit organisasi pemerintah yang mempunyai potensi penerimaan keuangan negara, yang statusnya didorong menjadi unit korporatisasi dalam bentuk Badan Layanan Umum (BLU), BHMN, BUMD, Perum, Persero, UPT, UPTD, atau bentuk lainnya.
3.SDM Aparatur
Profesionalisme SDM aparatur yang didukung oleh sistem rekrutmen dan promosi aparatur yang berbasis kompetensi, transparan, dan mampu mendorong mobilitas aparatur antardaerah, antarpusat, dan antarapusat dengan daerah, serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang sepadan diharapkan dapat dicapai dari reformasi di sektor ini. Penulis berpendapat, di area SDM Aparatur perubahan demi perubahan telah banyak dilakukan. Diawali dari sistem rekrutmen yang relatif bersih dan minim (karena belum dapat dikatakan bebas) dari KKN, yang telah dimulai sejak medio 2000-an.Dewasa ini, dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, rekrutmen calon birokrat bahkan dilakukan dengan menggunakan komputer sebagai alat bantu (computer assisted test), sehingga tidak dapat direkayasa. Hal ini semata-mata dilakukan untuk mendegradasi kemungkinan kecurangan, penyimpangan, manipulasi, maupun tindak KKN dalam pelaksanaan rekrutmen.
Kemudian pengangkatan dalam jabatan berdasarkan prinsip meritokrasi. Siapa yang kompeten, dia yang diangkat. Diperkuat lagi dengan alat bantu assessment center, untuk dapat mengukur layak atau tidaknya seseorang menduduki suatu jabatan. Yang paling aktual, adalah pengangkatan jabatan menggunakan sistem “open bidding” atau lelang jabatan, yang jauh hari sebelum Jokowi-Ahok mempopulerkannya, Pemerintah Kabupaten Jembrana telah lebih dahulu melakukannya. Melalui open bidding, dibuka akses seluas-luasnya kepada siapa saja yang kompeten, untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam birokrasi.
Selanjutnya perihal disiplin dan kinerja. Pemerintah telah mengatur secara tegas kewajiban dan larangan yang mesti dipatuhi oleh setiap birokrat, termasuk hukuman-hukumannya. Efeknya, kasus-kasus pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh birokrat pun semakin berkurang. Kinerja birokratpun kian diperhatikan. Seperti halnya karyawan di sektor swasta, birokrat kita diwajibkan menetapkan sasaran kinerja setiap tahunnya. Target-target yang telah ditetapkan akan dievaluasi, dan hasilnya digunakan sebagai bahan pembinaan karir birokrat yang bersangkutan, termasuk dalam hal pemberian remunerasi.
Terakhir, pengembangan jabatan-jabatan tertentu yang bersifat keahlian dan profesional terus digencarkan. Dulu berlaku istilah, “birokrat kita adalah ahli segala bidang”. Seorang Sarjana Agama bisa menjadi Kepala Dinas Pemakaman, Kepala Dinas Cipta Karya, dan sebagainya, yang “berbeda” jalur dengan latar belakang pendidikannya. Kemudian terdapat juga situasi, di mana seorang birokrat bingung dengan job description-nya dan apa yang harus dikerjakannya. Kini setiap birokrat diarahkan untuk memangku jabatan-jabatan tertentu sesuai pendidikan, kompetensi, dan keahlianya. Misal, bagi yang ahli pertanian, maka dia dapat memangku jabatan keahlian Penyuluh Pertanian, yang expert di bidang bahasa dan sastra, maka dia diarahkan untuk menduduki jabatan Penerjemah. Bagi yang peduli terhadap kondisi hukum di tanah air, khususnya Hukum Tata Negara, wa bil khusus mengenai peraturan perundang-undangan, maka dia dapat saja menjadi seorang Perancang Peraturan Perundang-undangan.
F.KESIMPULAN
Sebagai sebuah proses, reformasi birokrasi yang telah, masih, dan terus berjalan, tentu tidak dapat dilepaskan dari kekurangan-kekurangan (kegagalan) dan kelebihan-kelebihan (keberhasilan) yang didapatinya. Apabila kita melihat proses reformasi birokrasi yang tengah berjalan di Indonesia, sulit rasanya untuk tidak mengatakan bahwa upaya konkrit dalam melaksanakan reformasi birokrasi memang sudah dilakukan dan dapat kita observasi. Namun prosesnya tidaklah mudah. Perlu komitmen yang kuat, bahkan dukungan elit politik dan birokrasi untuk mengawal jalannya reformasi merupakan syarat mutlak.
Satu pelajaran penting dari praktik reformasi birokrasi di banyak negara adalah bahwa proses tersebut butuh waktu yang panjang. Perlu berabad-abad untuk mencapai kemajuan seperti yang mereka rasakan sekarang. Oleh karenanya, sangat wajar apabila yang kita temukan sekarang lebih banyak kegagalan dibandingkan keberhasilan, karena kita baru melakukannya dalam hitungan puluhan tahun, meskipun terasa sudah cukup lama.
B.G. SARAN
Selain komitmen yang kuat dari elit politik dan birokrasi untuk menyelesaikan agenda reformasi, kontrol atas perilaku birokrat juga dapat diberikan oleh kekuatan lain di luar seperti pers, NGO, atau lembaga independen lainnya. Melalui kontrol yang sehat, diharapkan tercipta kondisi birokrasi yang ideal, yakni tata pemerintahan yang baik dengan birokrasi yang profesional, berintegritas tinggi, serta dapat menjadi pelayan masyarakat sekaligus menjadi abdi negara.
Kemudian terhadap birokrat-birokrat yang masih memiliki idealism untuk memperbaiki negeri, seyogianya tidak terjebak pada sikap pesimistis apalagi menyerah pada sistem yang ada. Hal tersebut justru menjadi tugas bersama, untuk terus diperbaiki. Meminjam sindiran seorang pejabat negara yang peduli terhadap birokrasi: “Yang ikut-ikutan mengalir di sungai itu cuma sampah, ikan aja berenang melawan arus!”.
DAFTAR PUSTAKA
Prasojo, Eko. Makalah Reformasi Birokrasi dan Good Governance: Kasus Best Practices dari Sejumlah Daerah di Indonesia, 2008. Jakarta: Kementerian PAN dan RB
Sedarmayanti.2009. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan KepemimpinanMasa Depan.Bandung: Refika Aditama.
Setiyono, Budi. 2004. Birokrasi Dalam Perspektif Politik dan Administrasi. Semarang: Puskodak Undip.
Suaedi, Falih. 2010. Revitalisasi Administrasi Negara (Reformasi Birokrasi dan e-government).Yogyakarta: Graha Ilmu
Thoha, Miftah.2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Jakarta : Kencana
http://acch.kpk.go.id/pub_rst-survey-integritas-2009
http://economy.okezone.com/read/2013/03/08/320/772890/redirect.
http://edukasi.kompas.com/read/2011/11/16/1246136/PNS.dari.10.LNS.yang.Dihapus.Tidak.Dipecat
http://m.okezone.com/read/2013/03/08/320/772890http://www.rmol.co/read/2011/07/17/33274/4-Lembaga-Non-Struktural--Dihapus,-6-Lagi-Dilebur-
http://oald8.oxfordlearnersdictionaries.com/dictionary/reform_2
Sedarmayanti. Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Birokrasi, dan Kepemimpinan Masa Depan. (Bandung: Refika Aditama, 2009). hlm. 71
Miftah Thoha.. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. (Jakarta : Kencana,2008). hlm. 36
Istilah yang digunakan Kementerian PAN dan RB untuk menunjuk permasalahan-permasalahan atau aspek-aspek yang perlu diubah dalam reformasi birokrasi.
Sedarmayanti. Op.cit. hlm.68
Oxford Advanded Learners Dictionary online, http://oald8.oxfordlearnersdictionaries.com/dictionary/reform_2, diakses pada 3 Oktober 2013 jam 20.00
Budi Setiyono. Birokrasi Dalam Perspektif Politik dan Administrasi. (Semarang: Puskodak Undip, 2004). hlm. 17
Falih Suaedi. Revitalisasi Administrasi Negara (Reformasi Birokrasi dan e-government). (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010) hlm. 14
Eko Prasojo. Reformasi Birokrasi dan Good Governance: Kasus Best Practices dari sejumlah Daerah di Indonesia, 2008. Makalah disampaikan pada Seminar Reformasi Birokrasi Gelombang II, 16 September 2008 di Kementerian PAN-Jakarta, hlm.2
Sedarmayanti. Op.cit. hlm.75