Mohon tunggu...
Muhammad Syarief
Muhammad Syarief Mohon Tunggu... -

Ayah dari dua orang putri. Berteduh sementara di bawah langit kota Depok. Bersama istri tercinta merangkai kehidupan bersama untuk akhir yang mulia. InsyaaAllah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Menurutku

10 Januari 2010   06:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:32 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_51447" align="alignright" width="300" caption="Suara rakyat, menjaminkah?"][/caption] Merujuk kepada penafsiran demokrasi yang diajarkan ketika SD dulu, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Sebelumnya, tulisan ini saya sampaikan sebagai wujud rasa bingung atas apa yang terjadi dengan kita saat ini. Sekaligus ingin menerapkan bukti dari sebuah penelitian, bahwa seorang yang memiliki hobi menulis itu, ia akan memiliki mental lebih kuat ketimbang yang tidak suka menulis. Hmm...menurutku mungkin karena ia bisa lebih leluasa menuliskan unek-unek dalam dirinya dalam bentuk tulisan, sehingga ia merasa lebih lepas setelah meluapkan segala kegelisahannya itu. Baik, kita sambung dengan tema yang ingin saya utarakan di sini. Saya mencoba menuliskan kerancuan yang dilihat secara zohir dari kasat mata demokrasi dicampur dengan unek-unek yang saya miliki. Pemahaman kekuasaan tertinggi di tangan rakyat menurut saya amat sangat lemah sekali. Ambil simple dengan masyarakat kita di Indonesia. Mengapa para koruptor itu masih saja bertengger sebagai pejabat negara, dalam hal ini wakil rakyat. Jawabannya tentu karena mereka dipilih oleh rakyat. Mengapa pejabat yang sudah bobrok mentalnya, masih di sukai rakyat? Ini yang saya tak habis pikir. Saya rucutkan jadi dua kemungkinan, pertama, ia memiliki kepentingan, deal-deal lan proyek misalnya. Kedua, si pemilih memang masih buta dengan apa itu makna pemimpin, sehingga ia pun cuek dengan siapa pun yang terpilih, tentu ini karena si pemilih berpendidikan rendah, kemungkinan lainnya, silahkan ditambahkan. Kalau ukuran konglomerat, mungkin deal-deal lan proyek, untuk orang awam bisa jadi disogok dengan uang. Jadi wajar, kalau yang terpilih adalah pemimpin yang "rusak" secara moral dan identitas. Setelah terpilih, mereka hidup dengan kepentingan pribadi. Ke luar negeri mampir kesana kemari, naik haji bawa keluarga, padahal semua dalam rangka tugas dan memakai uang rakyat. Lama-lama keluar kata "bullshit" kalau dengar para pemimpin rakyat itu bicara, dan ini titik rawan dari kehancuran sebuah negara. Kenapa, karena kepercayaan kalau sudah hilang kepada pemimpin, jangan harap ia akan bertahan lama. Rakyat dengan dalih kepemimpinan tertinggi di tangannya, tentu bisa saja memberontak menurunkan sang pemimpin. Jadi ada hal mendasar untuk menyelamatkan itu semua. Paling penting, rakyat ini harus cerdas, berilmu, berwawasan luas, sehingga pemimpin yang dipilih bukan sembarangan. Dan juga beriman, pasalnya, yang mencegah korupsi itu menurutku karena keimanan yang dimiliki seseorang, agama mana pun kuyakin mengharamkan korupsi. Maka dari itu seharusnya masalah pendidikan menjadi agenda terbesar pemerintah, sehingga bisa dipastikan, dalam 10 tahun mendatang, masyarakat kita adalah masyarakat terdidik. minimal semua mengenyam pendidikan hingga SMA. Yakin deh, Indonesia makin maju. Saya khawatir saja ada yang berkepentingan membodohkan bangsa ini, karena kalau pintar, mereka tak bisa dimanfaatkan lagi. Mungkin juga dikhawatirkan karena negara kita terbesar dalam kuantitas muslimnya. Tentu saja ini akan mengkawatirkan negara-negara yang selalu memandang remah "agama" atau mereka yang anti dengan komunitas Islam. Apajadinya kalau kalau kampanye terorisme yang dinisbatkan ke Islam ternyata terbukti salah total, dan justru lahir "kembali" sebuah peradaban terdepan dari orang Islam yang "taat" dengan agamanya. Bicara Islam, saya jadi tertawa geli dengan apa yang terjadi di Swiss. Sebulan lalu saya membaca berita, bagaimana untuk membahas izin pembangunan menara masjid saja, pemerintah menggelar referendum. Tentunya karena mereka mengaku penjunjung demokrasi, sehingga semua dikembalikan ke rakyat. Padahal di saat bersama mereka mengaku penjunjung kebebasan berekepresi, sehingga ketika terjadi penghinaan dengan adanya karikatur nabi mereka pun berhujah dengan alasan yang sama. Tapi bagaimana kalau hal itu terjadi di negara mayoritas muslim misalnya? Saya gak jamin mereka tak akan diam saja. Mereka yang teriak kebebasan dalam beragama, tapi mereka sendiri yang melanggarnya. Pelaku demokrasi yang tidak demokratis. Oh iya, ada lagi yang menarik dari demokrasi. Sebenarnya siapa saja bisa jadi anggota parlemen, hata tukang becak dan pemabok sekalipun. Toh yang diliat suara kan? Buatlah ada komunitas pecinta minuman haram itu, kalau dihitung-hitung dari sabang ke marauke tentu sudah sudah bisa menggolkan diri ke parlemen. Buat saja partai tukang becak, nanti juga gol, dan seterusnya lah. Jadi sebenarnya memang lemah banget demokrasi itu. Tapi ada kemungkinan baik juga, misalnya membuat partai komunitas orang-orang yang baik misalnya, jadi anggota parlemen mereka juga orang-orang yang amanah. Bagaimana dengan Anda, mencintai demokrasi, anti atau mungkin, yah...dinikmati saja lah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun