Ketiga, eksistensi amicus curiae dalam pengembangan Mahkamah Konstitusi.Â
Terbentuknya Mahkamah Konstitusi dalam pergeseran ketatanegaraan paska reformasi dan perubahan UUD 1945 mendorong munculnya praktik baru dalam dunia peradilan di Indonesia, hal ini tampak dengan memberikan ruang keterlibatan yang luas bagi court watchdog yakni dengan menggandeng amicus curiae atau the friend of court pada jejaring institusi perguruan tinggi serta dibentuknya asosiasi pengajar dalam wadah APHAMK yang juga sejatinya dibentuk bukan tanpa dasar, namun betul-betul ditujukan untuk membangun kemaslahatan dan menjadi mitra akademis dalam menjawab perkembangan dinamis dalam praktik peradilan Mahkamah Konstitusi.Â
Dalam perkembangan terakhir, gencarnya pelibatan Hakim Konstitusi dan seluruh peneliti dilingkungan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi untuk terlibat dalam budaya akademik dan kolaborasi akademik. Tentunya hal-hal ini, refleksi positif dalam rangka menguatkan partisipasi publik kemajuan dunia peradilan, termasuk dalam meneguhkan dan menguatkan pondasi Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan konstitusi.
Keempat, perkembangan peradilan etik.Â
Harus diakui bahwa dalam menjalankan peran, seluruh lembaga negara yang ada tidak terkecuali Mahkamah Konstitusi diperhadapkan dengan persoalan etik profesi yang disebut oleh Ketua Mahkamah Konstitusi-Hakim Konstitusi Periode 2003-2008, Jimly Asshiddiqie, dengan menjamurnya lembaga negara menjadikan peluang bagi praktik kelembagaan yang koruptif, bahkan mencakup KKN tidak terhindarkan, sehingga amat penting untuk dibentuk suatu mekanisme dan peradilan yang fokus pada aspek penegakan etik profesi pada lembaga negara yang ada.Â
Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi dengan Sapta Hutama Karsa yang diberlakukan paska PMK Nomor 9/PMK/2006 Tahun 2006 silam, mendorong pentingnya Hakim Konstitusi maupun seluruh penyelenggara dalam Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi untuk menjunjung tinggi integritas dan menjalankan kode etik dengan sebaik-baiknya. Noda hitam yang terjadi dengan kasus korupsi Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi-Hakim Konstitusi Moh. Akil Mochtar (pada Oktober 2013) dan Mantan Hakim Konstitusi Patrialis Akbar (pada Januari 2017), serta pelanggaran etik oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat (pada awal 2018), menjadi catatan penting untuk menata jalan Mahkamah Konstitusi untuk konsisten dengan penegakan etik, dalam integritasnya.Â
Perdebatan mengemuka saat Putusan MK 5/PUU-IV/2006 terkait soal batasan wewenang Komisi Yudisial dalam mengawasi Hakim, yakni dibatasi oleh Mahkamah hanya untuk mengawasi Hakim Agung, tidak Hakim Konstitusi. Kemudian, munculnya Perppu Nomor 1 Tahun 2003 yang menjadi UU Nomor 4 Tahun 2014 dan kemudian dibatalkan dengan Putusan MK 1-2/PUU-XII/2014 terkait pembentukan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi/MKMK. Akhirnya, dengan UU Nomor 7 Tahun 2020, Putusan MK 56/PUU-XX/2022 Â dan PMK Nomor 1 Tahun 2023 tentang MKMK, mendorong penataan dan penguatan bagi institusi penegakan dan mekanisme internal dalam penegakan etik profesi Hakim Konstitusi.
Kelima, hubungan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga negara lainnya.Â
Aspek ini menjadi krusial terlebih hubungan kelembagaan ini akan bersinggungan dengan legal compliance terhadap Putusan MK, dinamika judicial restraint vis-Ã -vis judicial activism pada Mahkamah Konstitusi, bahkan pergeseran paradigma Mahkamah dalam hal ini perubahan sikap/tafsir dalam beberapa periode kepemimpinan.Â
Secara faktual, masih terdapat persoalan utama yakni terkait rekruitmen Hakim Konstitusi, kendatipun sejumlah penelitian juga telah mengungkap hal ini, akar persoalan tampak secara politik hubungan Hakim Konstitusi dengan lembaga pengusulnya, baik presiden, Mahkamah Agung maupun DPR/Parlemen. Hubungan tersebut dapat merenggang dan menguat bergantung pada seberapa besar legal compliance terhadap substansi Putusan MK, demikian halnya, keberanian sikap Hakim Konstitusi dalam mengambil sikap bahwa pengujian norma tersebut sebagai open legal policy dengan judicial restraint-nya atau mengambil sikap demi tegaknya keadilan substantif dan nilai maupun norma konstitusi dengan judicial activism-nya.Â
Bahkan dalam perkembangan terakhir, isu pencopotan Hakim Konstitusi Aswanto dan ditetapkannya Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah pada November 2022 silam, maupun dalam sejumlah Putusan MK yang hendak diambil terdapat sikap hendak menolak atau bahkan memberi ancaman terhadap kewibawaan Hakim Konstitusi maupun institusi Mahkamah Konstitusi oleh DPR/Parlemen, Mahkamah Agung ataupun Pemerintah/Presiden dalam beberapa tahun terakhir, menjadi kritik dan bukti terhadap sangat kritisnya dan seriusnya implikasi hubungan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga pengusul dapat berakibat terhadap kewibawaan Mahkamah dan Hakim Konstitusi, untuk tetap bersedia dalam komitmen meneguhkan keadilan susbtantif.